Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Pahlawan Pangan yang Terpinggirkan


Geliat pembangunan di Kota Mataram dalam beberapa tahun terahir mengalami peningkatan cukup signifikan. Pembangunan bidang infrastruktur termasuk salah satu bidang pembangunan yang kerap menjadi banyak sorotan, karena sifat fisik yang mudah dilakukan maupun, seringkali menimbulkan persoalan. Tercatat dalam beberapa tahun terahir laju pembangunan infrastruktur, terutama bangunan perumahan, ruko dan perkantoran terus bermunculan.

Bangunan perumahan paling dominan menghabiskan hampir sebagian besar lahan di Kota Mataram. Lahan pertanian termasuk lahan paling besar terkena imbas laju pertumbuhan bangunan perumahan. Hampir disetiap sudut Kota Mataram, bangunan perumahan, milik sejumlah perusahaan pengembang bisa ditemukan, dengan ukuran dan tipe bangunan cukup beragam.

Pembangunan bidang infrastruktur dalam ditengah kehidupan masyarakat memang sudah menjadi tuntutan tidak terelakkan untuk dilakukan, terlebih ditengah lingkungan kehidupan masyarakat perkotaan. Tingkat pertumbuhan populasi penduduk yang berkembang demikian tinggi, mengakibatkan kebutuhan masyarakat akan ketersedian infrastruktur perumahan dalam skala besar sangat dibutuhkan

Menjadi sangat na’ifan kemudian kalau laju pertumbuhan pembangunan perumahan mampu dihentikan, karena memang merupakan bagian kebutuhan tidak terlakkan. Namun tidak berarti laju pertumbuhan bangunan tidak bisa ditekan, kalau saja pengawasan, implementasi undang-undang dan prodak perda yang mengatur masalah ijin mendirikan bangunan (IMB) mampu direalisasikan secara maksimal oleh pemkab maupun pemkot suatu daerah

di Kota Mataram pertumbuhan bangunan perumahan dari perusahaan pengembang, maupun yang dilakukan perorangan sampai saat ini sudah demikian menghawatirkan dan menjadi ancaman bagi keberdaan areal lahan pertanian dari kepunahan. Prodak hukum, berupa UU dan perda diberlakukan Pemkot tentang IMB melalui Dinas Tata Kota tida terlalu berpengaruh apa-apa menahan laju pertumbuhan bangunan perumahan.

Terbukti laju pertumbuhan bangunan justru semakin membabi buta. Entah karena ketidak tegasan dalam memberlakukan aturan belaka, atau mungkin ada permaianan di balik meja kerja. Hampir di setiap sudut Kota Mataram pertumbuhan bangunan perumahan sudah sedemikian merajalela. Jalan lingkar selatan misalkan, tempo hari semasa pemerintahan almarhum walikota mataram, H. Muhamad Ruslan, kawasan ini sempat diwacanakan akan dijadikan sebagai kawasan hijau  paru-paru Kota.
Aroma nuansa alam yang masih asri dan masih alami, dengah hamparan sawah dipenuhi tanaman padi hijau, kawasan ini juga masih belum banyak dijejali bangunan perumahan, maupun perkantoran sebagaimana sekarang.

Meski baru sebatas wacana, dan belum sempat terealisasi, ide H. Ruslan ini tergolong cukup cemerlang dan patut mendapatkan apresiasi. Mengingat dengan menjadikan jalan lingkar selatan sebagai kawasan paru-paru Kota, selain bisa dijadikan sebagai kawasan bagi masyarakat Kota Mataram bisa menghirup udara segar, maupun rekreasi. Pemkot Mataram secara tidak lansung juga telah melindungi areal pertanian masyarakat, dari ancaman penggusuran dan kepunahan akibat pembangunan.

Namun rencana tersebut urung terealisasi, seiring masa pemerintahan H. Ruslan periode tahun kedua berahir, dan tampilnya Ahyar Abduh sebagai Walikota dengan Mohan Roliskan, sebagai wakil walikota. Kebijakan tersebut kemudian tidak dilanjutkan. Walhasil luas areal lahan pertanian yang dikelola masyarakat hampir setiap tahun mengalami penyempitan.

Bisnis Pembangunan perumahan BTN oleh sejumlah PT dan CV, paling berkontribusi besar menyebabkan terjadinya penyempitan hampir sebagian besar areal lahan pertanian masyarakat Kota Mataram. Para pelaku bisnis property seakan melenggang bebas tanpa kendali, menjalankan bisnisnya secara membabi buta,  merampas dan merampok areal pertanian masyarakat, tanpa mengenal kata ampun.

Kondisi ini sedikitnya telah menimbulkan trauma dan ketakutan tersendiri bagi masyarakat petani Kota Mataram dari ancaman penggusuran dan hilangnya lapangan pekerjaan. Dan hal sebenarnya telah berlansung lama, bahkan sejumlah tokoh masyarakat, bersama puluhan petani Kota Mataram pernah melakukan musyawarah, dan sempat melaporkan sejumlah PT pemilik bisnis perumahan BTN, ke Pemkot Mataram. Karena dinilai merugikan petani.

Alih-alih mau dibela apalagi nasib diperjuangkan. Pemkot Mataram mudah saja menilai kalau pertumbuhan bangunan tidak bisa dikendalikan, karena sudah merupakan kebutuhan, dan preogatif pemilik lahan. Logikanya Pemkot termasuk DPR sebagai pemegang kebijakan, apa yang tidak bisa dilakukan, kalau memang mereka serus membela dan memperjuangkan kepentingan petani. Indikasinya, kemungkinan ada permaianan dan muatan kepentingan.
   
Ite jari petani leq mataram ne nani bingung, endeqte taon yaq entan, sere solit bae, Nani lamung yaqte jual tanaq ne, enggaq-enggaqn arane pengadik adiq dengan toaq, embe bangket araq sekediq endah. Embe bae taoqke yaq peteang senine anaq impan kaken, soal ite ne enggaqne entan tao pete pengaken penelen lengan bangket, jari petani, anangte yaq tao ape maraq dengan lalo bedagang atau jari PNS, ape laginte malik yaq jari datu maraq dengan-dengan saq sugih tie. Ite saq jari dengan jeleng ni nani jaq pokoqte mauq mangan dait taon sekolahang anaqte bae, uah cokop

“Kita jadi petani di Mataram ini sekarang bingung, tidak tau harus bagaimana, makin sulit saja. Sekarang sawah kita hanya sedikit, dan satu-satunya harta warisan peninggalan orang tua. Sekarang kalau sawah ini saya jual, paling harganya berapa, terus dimana saya bisa mencari kebutuhan hidupi sehari-hari istri dan anak. Soalnya hanya ini yang bisa kita lakukan mencari sesuap nasi dengan bekerja menggarap sawah.

Bagaimanapun pengembangan kawasan perumahan di Kota Mataram secara umum memang tidak bisa dihindari, karena telah menjadi kebutuhan uatam masyarakat, terlebih kebutuhan akan tempat tinggal semakin tinggi. Tapi bukan berarti hal tersebut tidak cukup menjadi solusi. Pemkot melalui Dinas Tata Kota dengan prodak UU dan perda dimiliki semestinya mampu menggunaan kewenangan membatasi pemanfaatan ataupun penjualan lahan pertanian.  

Kalau areal persawahan terus dibiarkan dipenuhi bangunan perkantoran dan perumahan, tanpa pengendalian. Bisa dibayangkan bagaiman wajah Kota Mataram lima sampai sepuluh tahun kedepan.  Yang tadinya memiliki banyak areal persawahan sebagai sumber swasembada pangan, sebagai kawasan hijau, paru-paru Kota dan lokasi wisata alam. Bisa jadi yang tersisa hanya tinggal kenangan

1 komentar :

31 Desember 2013 pukul 03.18

bagus, sya sanggat tertarik

Reply

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis