Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Semangat Itu Selalu Ada

http://www.turmuzitur.blogspot.com/
Ayomenulis. Beberapa minggu tidak menulis, mengisi blog ayomenulis, rasanya kosong dan seperti ada yang hilang dalam hidupku. Padahal satu bulan kemarin saya sudah berkomitmen untuk tetap menulis dan mendokumentasikan apa saja dari setiap pristiwa, yang saya lihat, alami, rasakan, pikirkan dan lakukan. Tapi apa daya, sebesar apapun keinginan dan komitmen melakukan sesuatu. Turmuzi tetaplah Turmuzi, yang tidak sempurna dengan segala keterbatasan dan kekurangan dimiliki.

Jujur selama beberapa minggu fakum tidak menulis, ada banyak isu, cerita menarik, catatan, pristiwa dan kejadian menarik lain sebenarnya telah saya lewatkan begitu saja, tetapi rasa malas yang demikian besar menghinggapi keinginan untuk menuliskan berbagai pristiwa tersebut membuat saya tidak mau pusing memikirkan hal tersebut dan memilih menghindar dengan memikirkan yang lain.

Tapi semakin aku menghindarkan diri dari keinginan untuk tidak menulis, meski hanya untuk sementara waktu karena faktor rasa malas, maka rasa gelisah seakan ada sesuatu yang hilang dalam hidupku, semakin kuat pula menghinggapi pikiranku. Terlebih di setipa membuka facebook saya melihat selalu ada saja teman-teman bloger lain rajin mengisi blognya dengan tulisan dan isu-isu dan pristiwa terupdate, menjadikan saya selain merasa tertinggal juga sedikit iri tidak bisa tetap menulis setiap harinya.

Maklum dalam beberapa tahun terahir , trend penggunaan media jejaring sosial berupa, kompasiana, facebook, twitter termasuk bloger sebagai wadah mengekpresikan pikiran, ide, gagasan sampai catatan harian demikian kencang dilakukan teman-teman. Sebab publikasi tulisan di media online, selain bisa memberikan ruang seluas-luasnya untuk berekspresi, dengan jangkauan luas, yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu.

Peluang tulisan yang diposting melalui media online juga lebih besar bisa dilihat dan dibaca oleh sekian juta pengguna jejaring sosial yang ada, ketimbang publikasi melalui media cetak, yang jangkauan pembacanya tidak terlalu luas. Itulah kenapa banyak orang termasuk media online seakan berlomba-lomba menjadi terdepan dalam menyuguhkan berita, pristiwa dan informasi menarik dan teruptodate, agar mendapatkan tempat istimewa dihati pengguna internet.

Meski begitu, keinginan untuk selalu menjadi yang terdepan dan terbaik menyuguhkan pemikiran dan informasi, bagi masyarakat melalui dunia maya, khususnya bagi pengguna bloger, tidak selalu sesuai diinginkan. Dalih, semangat, kesibukan dan rasa malas kerap menjadi tantangan yang tidak terelakkan menghinggapi setiap penulis dan pengelola bloger, termasuk saya untuk tetap menulis. Tetapi seberat apapun rintangan menghambat, saya selalu meyakini, bahwa memang semangat itu selalu ada! Selama ada keinginan untuk mau melakukan apa yang dinginkan.

Dilema Perguruan Tinggi

http://www.turmuzitur.blogspot.com/
Ayomenulis. Begadang sampai larut malam, mengutak atik blog dan menulis artikel untuk postingan blog ayomenulis hari ini, belum sepenuhnya bisa hilang dari kebiasaan. Tadi malam sehabis pulang berkunjung dari rumah salah seorang senior di Perumnas, saya sempatkan diri membuka situs web berita kompas.com, sekedar melihat berita terbaru dan menarik di rubrik news.

Dari sekian berita tersebut, ada salah satu berita yang cukup menarik perhatian saya, melibatkan tokoh besar, yang juga mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud. MD. sebagai narasumber. Berita tersebut mengulas mengenai keprihatinan dan pandangan Mahfud MD, tentang kasus korupsi yang hampir sebagian besarnya melibatkan lulusan Perguruan Tinggi (PT). Mahfud menilai banyaknya kasus korupsi yang melibatkan sebagian lulusan PT, akibat sebagian institusi PT telah gagal melahirkan lulusa yang berahlak.

"Bila dicermati, yang melakukan tindak korupsi kebanyakan orang-orang pandai yang hatinya tumpul. 80 persen koruptor merupakan sarjana. Ini membuktikan bahwa institusi perguruan tinggi di negara ini gagal mencetak lulusan yang berakhlak. Sekarang ada ribuan orang pintar tetapi sedikit yang berakhlak. Fenomena ini yang harus segera diperbaiki dalam sistem pendidikan di PT" tegas Mahfud.

PT dalam beberapa tahun terahir memang sedang santer menjadi sorotan dan bahan perbincangan publik. Sorotan tersebut muncul, sebagian bukan lagi karena prestasi, melainkan karena kasus korupsi yang berujung caci maki. Mulai dari kasus korupsi fisik institusi PT, yang melibatkan tokoh akademisi disegani dengan menyandang gelar bergengsi, termasuk alumni yang terlibat lansung dalam lingkaran birokrasi dan menjadi politisi.

Predikat sebagai kaum akademisi dengan gelar bergengsi ternyata tidak tidak sepenuhnya bisa dijadikan sebagai tolak ukur terbebas dari kasus korupsi. Sekarang ini keberadaan sebagian PT, terutama di NTB sudah mulai nampak kelihatan abu-abu, dan nampaknya sudah lumayan sulit bisa membedakan identitas dan jenis kelamin sebagian PT, sebagai institusi pusat kegiatan akademis atau politis. Sebab kedua aktivitas tersebut hampi berlansung di sebagian PT

Beberapa PT di NTB justru lebih santer dengan aktivitas politis, baik di internal PT dalam membuat dan menentukan kebijakan, senantiasa di warnai praktik diskriminatif, tindak kecurangan dan nepotisme, mengkotak-kotakkan diri atas nama kelompok suku dan golongan. Lebih parah di lingkungan eksternal PT juga demikian mudahnya dikendalikan segelintir orang. PT begitu dengan mudahnya bisa diplintir dan digerus ke dalam ranah politik.

Dalam suksesi Pemilukada Gubernur dan wakil Gubernur NTB kemarin misalkan, meski nampak dilakukan secara abu-abu sejumlah dosen dari beberapa PT swasta maupun negeri berstatus PNS, malah lebih disibukkan ikut terlibat melakukan kampanye menjadi timses salah satu pasangan calon Gubernur, ketimbang menunaikan tugas dan tanggung jawab melaksanakan tri dharma PT melakukan pengajara.

Lebih konyol salah seorang pejabat paling penting di salah satu PT ternama malah sampai membuat statement dukungan di media, dengan membawa nama institusi dan atribut lembaga pendidikan yang dipimpin, dikemas dengan kegiatan kuliah umum. Dihadapan dosen, karyaman, penjabat kampus dan mahasiswa yang hadir berkata “siapa sih tidak menginginkan calon pemimpin ganteng.

Sebuah statement, bagi saya selain sangat konyol dan tidak pantas, secara tidak lansung merusak citra diri dan PT sebagai institusi akademis di mata publik, semestinya bersikap netral. Kalau sudah begitu, lambat laun PT tidak ubahnya seperti lembaga politis, mencari kekayaan dan jabatan, bukan lagi sebagai lembaga tempat melakukan pengajaran, pengabdian dan penelitian.

Tidak heran dari sisi kualitas lulusan dihasilkan tidak banyak mengalami kemajuan, menumpuk menjadi penganguran di setiap sudut dan pojok perkampungan. Tidak jauh berbeda dengan sebagian besar tenaga pengajar, dari sekelas master, doktor sampai guru besar, juga tidak banyak mengalami kemajuan, terlebih dari sisi keilmuan.

Apalagi bisar berpartisipasi dan berperan aktif dalam membantu pemerintah mengatasi berbagai persoalan di tengah masyaraka. Sebagian doktor dan guru besar malahan tidak ubahnya bagaikan mahluk individual, demikian asing dari dunia luar dan hanya pintar berkoar-koar di dalam kandang.

Besarnya persentase doktor dan guru besar dihasilkan, sebagian tidak lagi murni dilakukan karena tuntutan keilmuan melainkan sebatas memenuhi tuntutan jabatan dan kepangkatan. Dalam setiap kesempatan forum diskusi maupun seminar, saya terkadang merasa lucu juga melihat beberapa doktor dan profesor berbicara, kelihatan nampak kaku dan kurang menarik untuk didengarkan.

Kalau citra dan suasana semacam ini di lingkungan PT, terus tetap terbangun, untuk melahirkan lulusan berahlak dan berkarakter baik, sebagaimana dikemukakan Mahfud. MD dalam ulasan di atas, rasanya sulit akan mampu tercapai, kalau prilaku sosok yang dijadikan sebagai keteladanan dan dijadikan panutan, belum sepenuhnya mampu mengalami perbaikan.

Sebab, memperbaiki dan menata lembaga pendidikan tinggi secara profesional, sebagai lembaga, pusat kegitan akademis, dengan kualitas lulusan bisa diandalkan, tidak cukup dilakukan sambilan dan diukur dengan banyaknya tenaga pengajar bergelar doktor dan guru besar dihasilkan, melainkan dengan sikap keteladanan dan kebijaksanaan

Wisatawan Butuh Kenyamanan Bukan Bualan

http://www.turmuzitur.blogspot.com/
Ayomenulis. Beberapa hari belakang, tidak tau saya merasa malas sekali menulis, mengisi blog ayomenulis dan kompasia.com/turmuzi. Padahal baru bulan kemarin saya sudah berjanji pada diri sendiri untuk tetap mengupdate blog saya dengan tulisan ringan dan catatan harian termasuk perjalanan.

Pagi ini saya sebenarnya, juga sedang tidak ingin menulis, tetapi saat membuka email, ada pesan masuk berupa komentar tulisan saya di kompasiana.com/turmuzi, berjudul “Eksotisme Wisata Air Terjun Sendang Gile”. Tulisan tersebut saya posting 5 Juni 2013. Setelah kompasiana.com/turmuzi, saya buka ternyata memang ada komentar dari kompasiana bernama Yuyun. Berikut komentar Yuyun.

“Saya Yuyun dari Jakarta pada bulan Mei ‘1 ‘2013 saya ke Sindeng Gile bersama teman dekat saya yang kebetulan warga negara asing.Memang Rp. 5.000 yang saya tahu dari penduduk tapi kenyataannya saya harus membayar 175.000 / orang untuk memasuki 2 air terjun yaitu Sindang Gile dan Tiu Kelep..

Saya terkejut bukan main..Rp. 350.000 saya harus membayar hanya untuk melihat kedua air terjun itu yang sememntara saya tahu untuk lokal bayar 5000 dan tourist 10.000 juga bayar guide yg kurang lebih Rp. 60.000.

Saya kecewa bukan main,supir saya membawa saya langsung ke tourist information di dekat pintu masuk..Begitu mahalnya?? apa karena saya membawa tourist ?? Ini permainan orang-orang yang tidak bertanggung jawab yg hanya menarik uang dari tourist-tourist yang akan berkunjung ke 2 air terjun tersebut.

Saya sempat debat dengan orang di tourist information tersebut..bagaimana tidak? saya masuk kawasan Rinca Island saja tidak segitu bayarnya?? ini bener benar tidak masuk akal !! saya sempat emosi jiwa..namun tourist saya membayar uang tersebut karena dia berpikuir ” Kita cukup sekali kesini”

Saya minta,untuk orang-orang yanng bertanggung jawab di kawasan sendang gile tolong di check lagi harga harga tersebut yang dinilai kurang wajar apalagi untuk local yang membawa tourist juga harus membayar uang tersebut !! Bagaimana wisata Lombok akan maju kalau hanya untuk melihat 2 air terjunsaja sudah membayar sangat mahal???

Intinya kami berdua untuk masuk ke dua air terjun tersebut harus membayar tiket masuk Rp. 175.000 / orang berikut snack,buah pisang,water mineral dan guide ! D. Di luar batas kewajaran..jadi hati-hati jika turis local yang akan membawa turis asing harus membayar sama”

Membaca komentar Yuyun di halaman bawah kompasiana.com/turmuzi tersebut, terus terang sebagai orang NTB, saya sedikit merasa keberatan juga dengan komentar negatifnya terhadap wisata NTB, khususnya wisata air terjun sendang gile. Tetapi disisi lain, kalau mau jujur masalah keamanan dan praktik pungutan liar (pungli) memang masih saja berlansung, dari instansi pemerintahan sampai objek vital lain seperti tempat wisata.

Terlepas benar tidaknya komentar dilontarkan Yuyun dari Jakarta tersebut mengenai praktik pungli di wisata air terjun sendang gile, memang tidak terlalu jauh dengan realitas di lapangan. Untuk mendatangkan dan meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara ke NTB, memang tidak cukup hanya dengan gencar membuat iklan pencitraan semata, promosi besar melalui media massa, maupun dengan menggelar even besar. Terpenting bagaiman keamanan dan profesionalisme layanan diberikan, bisa memuaskan wisatawan.

Lukiskan Bukan Katakan

Ayomenulis. Judul tersebut saya kutif dari materi pelatihan cara menulis kreatif yang saya ikuti sekitar tahun 2008, dengan pembicara Farid Gaban, pemimpin redaksi majalah Universitas Paramadina dan mantan pemimpin redaksi Republika. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap detik, setiap menit, jam, hari, bulan dan tahun setiap kita sudah pasti memilik, mengalami berbagai kejadian dan pristiwa dalam kehidupan.

www.turmuzitur.blogspot.com
Kita tidak pernah tau suatu hari nanti, dari semua kejadian dan semua pristiwa yang pernah kita alami, rasakan tersebut, akan menjadi sesuatu hal penting dan berguna bagi generasi berikut di masa akan datang. Sedikit sekali di antara kita, yang mau mendokumentasi/mengabadikan semua kejadian dialami tersebut dalam bentuk tulisan. Semua pristiwa tersebut menguap begitu saja dan terkubur seiring perputaran waktu terus berlalu.

Tadi malam sekitar pukul 23.00, saat saya sedang asik chating dengan salah seorang kawa juga guru blog saya, Mahesa nama krennya bagaimana strategi menjadikan blog banyak pengunjung, sekali lagi dari sekian kali, Direktur Lembaga Studi Kemanusiaan (LenSA) NTB, Akhdiansyah (Yongky) meminta saya mengajari cara menulis, dan berbagi pengalaman dengan teman-teman Gerakan Mahasiwa Dompu (GMD), terutama bagi beberapa teman GMD yang baru saja pulang dari negara Jiran Malaisia, mengkuti program pertukaran pemuda, menuliskan berbagai pengalaman didapatkan selama di Malaisia.

Diminta begitu, terus terang saya sebenarnya merasa sedikit bingung bercampur kurang akrab dengan istilah mengajar cara menulis. Karena sekali lagi saya ingin mengatakan untuk memulai menulis sebenarnya tidak butuh terlalu banyak teori, dan memang tidak teori baku untuk bisa menulis, yang ada hanyalah pengalaman dan kemauan mempraktikkan. Apalagi sekedar menuliskan berbagai kejadian dialami dalam kehidupan sehari-hari.

Banyak orang demikian pandai berbicara, memiliki banyak gagasan, pengetahuan dan ide brilian tetang berbagai hal yang sebenarnya bisa bermanfaat dan dibutuhkan banyak orang dalam kehidupan, tetapi tidak adanya upaya untuk mendokumentasikan semua kejadian tersebut dalam bentuk tulisan mengakibatkan semua gagasan berilian tersebut berlalu tidak tersisakan.

Karena itu ayomenulis, “lukiskan, bukan katakan” pikirkan kemudian tuliskan apa yang dirasakan dan yang dibayangkan, tidak tau cara menulis, bingung apa hendak mau dituliskan, sedang tid mood, tidak memiliki banyak waktu, laptop tidak ada, tidak berbakat dan tidak pernah mengikuti pelatihan, hanyalah sebagian kecil yang kerap dijadikan dalih pembenaran bagi mereka yang gengsi dan dilanda kemalasan. Karena menulis, bukan bakat bawaan, tidak tebatas oleh waktu, mengganggu pekerjaan tidak harus sering mengikuti pelatiahan.


Menulis hanya masalah kemauan untuk mencoba. Yang pasti pilihannya ada dua, ingin bisa menulis dengan banyak melakukan latihan, atau justru lebih senang menjadi pecundang, yang kegemarannya hanya pandai mencari alasan pembenaran, menutupi ketidakmampuan 

Menggapai Sebuah Impian

Ayomenulis. Pagi itu suasana nampak begitu cerah, mengiringi terbitnya sang mentari dari ufuk timur. Sayup-sayup terdengar suara kicauan burung begitu merdu, dari dahan pohon satu ke dahan pohon yang lain  seakan ikut bernyanyi menyambut indahnya suasa pagi.    Di sebuah  desa terpencil di bagian Medan Sumatra Selatan, nampak seorang gadis keluar dari rumah ciri khas adat Batak, berbentuk sebuah panggung tinggi yang terbuat dari kayu-kayu jati yang kokoh.

Rumondang nama gadis tersebut. Seorang gadis desa keturunan Tionghoa yang semasa kecilnya terpaksa harus di tempuh seorang diri, tanpa ayah dan ibu. Sebab Rumondang sudah di tinggalkan oleh ibunya semenjak masih berumur satu tahun. Bukan di tinggal ke alam baka, akan tetapi di tinggal entah ke mana. Dengan kondisi seperti ini Rumondang seringkali mengalami pergolakan batin menghadapi kenyataan hidupnya sendiri, yang tidak pernah bisa dia pahami, apa sesungguhnya makna dari semua ini.

Terkadang kalau mengingat kembali perjalanan hidupnya sewaktu masih kecil, Rumondang tidak akan melupakan hari-harinya ketika masih kanak-kanak. Prilaku nenek dan saudara-saudara ayahnya yang seringkali menyakiti perasaannya. Bahkan bukan saja secara batiniah, yang di kaitkan dengan ibunya sebagai wanita tidak bertanggung jawab terhadap keluarga dan anaknya, demi mengejar ambisi harta semata, akan tetapi juga penganiyayan terhadap Rumondang tidak jarang di lakukan dalam bentuk fisik.

Secara singkat, buku ini mengisahkan tentang pergolakan batin seorang gadis keturunan Tionghoa,yang semasa kecilnya harus menerima kenyataan pahit menimpa dirinya sebagai anak yang tidak pernah bisa menikmati kebahagiaan dan menerima kasih sayang dari orang tuanya seperti kebanyakan anak-anak lainnya. Orang tua yang semestinya patut di jadikan teladan, malah berbeda haluan, dan terhanyut mempetahankan kemauan, dan egoisme masing-masing. Hingga pada ahirnya keluarga pun jadi berantakan.

Ini dapat terlihat dari ketidak sepahaman pandangan di antara kedua orang tua Rumondang yang sama-sama keras kepala mempertahankan prinsip hidup masing-masing, yang mereka klaim akan lebih baik dan menguntungkan. Dengan kondisi semacam ini, seringkali membuat Rumondang merasa jenuh, sedih dan kecewa sekali dengan kedua orang tuanya yang sama-sama egois. Tidak patut di jadikan oleh anaknya, bahkan oleh siapapun. Apalagi di beri penghargaan segala.

  Di satu sisi sosok sang ayah Sitor Siregar terhanyut menikmati hidupnya sebagai seorang seniman, yang belum lama ini begitu berbahagia dan sangat bangga, di anugrahi Poetri Award. Kumpulan puisinya sering mendapat banyak penghargaan, baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Sanggarnya yang terletak di pesisir Depok semakin banyak di kunjungi oleh banyak seniman dan budayawan. Baik para seniornya, seangkatan maupun para pemula yang mengaguminya.

Sementara sang ibu Siao Lien asyik berjuang bisnisnya yang sempat terpuruk dilanda krismon. Di Paris dia berhasil mendapatkan kontrak penting dari beberapa investor asing. Para lelaki bule sangat mengagumi kecantikan dan kelembutan kulitnya yang baksusu. Suatu perpaduan antara keindahan sempurna dengan kejeniusan seorang wanita timur. Sosok Wu Siao Lien  alias Maharani Sanjaya adalah lambang keberhasilan seorang pembisnis wanita di tanah air. Kejeniusanya mengembangkan bisnis, mulai dari usaha kecil-kecilan di rumah hingga berkembang pesat, hingga kini memiliki jaringan luas ke mancanegara.

Wu Siao Lien  terus melenjit, terbang ke awan menyentuh langit, meningalkan akar dan tanah yang sering di akuinya sebai sesuatu yang tak pernah bisa dimilikinya. Berangkat dari kondisi semacam inilah Rumondang benar-benar merasakan kondisi keluarganya benar-benar sudah berada di ambang kehancuran.

Secara singkat buku yang berjudul Lukisan Rembulan ini ingin memberikan sebuah gambaran kepada kita bagaimana kisah tentang seorang gadis yang begitu tabah menghadapi bahtera yang melanda kehidupannya. Di tengah-tengah kondisi keluarganya (ibu dan ayah) yang sedang tercerai berai mempertahankan idealisme dan pendirian masing-masing. Rumondang tetap sabar menghadapi kenyataan hidup yang di rasakan begitu pahit untuk di alami seorang diri.

Ini terbukti dari tekad dan kemauanya yang begitu besar untuk melanjutkan pendidikan sampai jenjang lebih tinggi, dengan bermodalkan prestasi yang di miliki, demi menggapai cita-citanya. Di samping terus berusaha untuk mempersatukan kembali orang tuanya yang sedang tercerai berai. Hingga pada suatu masa ketika Rumondang mencapai puncak kariernya yang gilang gemilang berawal dari Seorang yang ingin selalu menegakkan keadilan (Pengacara) sampai menjadi seorang jaksa terkemuka dan di kenal banyak orang, Rumondang mampu menyatukan kembali orang tuanya, setelah mengalami pristiwa naas yang hampir merenggut nyawanya, sewaktu mengungkap sebuah isu besar tentang penjualan manusia.  

Dalam pemaparan buku ini, pada dasarnya tidak terlalu sesuai dengan judulnya, yaitu  “Lukisan rembulan”, karena melihat dari jalan cerita yang ada, buku ini sesungguhnya lebih banyak bercerita tentang bagaimana perjalanan kehidupan seorang gadis yang begitu tegar menghadapi gejolak hidupnya sampai menjadi orang besar. Karena semenjak kecil tidak pernah mendaptkan kebahagiaan dan kasih sayang dari orang tuanya yang bercerai berai karena ketidak sepahaman. 

Ayo Menulis