Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Eksploitasi Lahan Atas Nama Pembangunan

Petani Desa Sembalun, Lombok Timur menanam bawang putih/foto : turmuzi
 Salah satu persoalan yang menjadi bahan pembicaraan dan kajian di acara Musyawarah Nasional alim ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Lombok beberapa waktu lalu adalah masalah ekonomi dan kesejahteraan, terutama terkait pengelolaan dan penguasaan lahan di tengah masyarakat yang masih diwarnai ketimpangan dan praktik kecurangan

Keberadaan lahan, sebagaimana amanat Undang - undang seharusnya sebesar - besarnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, justru dimonopoli dan dikuasai beberapa gelintir orang kaya, kaum pemodal, melanggengkan kekuasaan, menciptakan ketimpangan di tengah masyarakat

Parahnya, eksploitasi, monopoli dan penguasaan lahan oleh para pemodal tersebut, sebagian dilakukan justru atas restu pemerintah, terutama pemerintah daerah, melalui kewenangan dimiliki demikian mudah mengeluarkan perizinan tanpa kendali. Atas nama pembangunan, menciptakan kesejahteraan masyarakat dan Investasi menjanjikan, masalah lahan dan perizinan bisa dikondisikan

Besiru dan Solidaritas Sosial Masyarakat Pedesaan

Selain kawasan hutan dan lahan pertanian, praktik eksploitasi lahan paling banyak berlangsung di kawasan pariwisata yang tidak jarang menimbulkan ketimpangan dan gesekan yang berujung terjadinya konflik dan sengketa lahan antara masyarakat sekitar kawasan dengan pengusaha dan pemerintah, melibatkan aparat keamanan

Sepanjang sejarah proseses penguasaan lahan atas nama pembangunan memang senantiasa menyisakan persoalan di tengah masyarakat. Alih - alih menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran, penguasaan, alih fungsi lahan justru semakin membuka lebar terjadinya ketimpangan dan kesenjangan sosial

Masyarakat korban pembangunan harus menelan pil pahit kehilangan lahan yang selama ini menjadi tumpuan sumber penghidupan dan menjadi kelas baru yang hidup dalam kemiskinan, terpinggirkan dalam ketidak berdayaam

Pembangunan bandara Lombok Internasional Airport (LIA), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika adalah sebagian kecil dari penguasaan lahan atas nama pembangunan oleh negara yang menyisakan banyak kisah memilukan dan konflik berkepanjangan dari masyarakat korban pembangunan

Mengutip hasil Munas dan Kombes NU, Sekitar 16 juta hektar tanah dikuasai 2.178 perusahaan perkebunan, 5,1 juta hektar di antaranya dikuasai 25 perusahaan sawit. Jumlah petani susut dari 31 juta keluarga tani menjadi 26 juta, dua pertiganya adalah petani yang terpuruk karena penyusutan lahan dan hancurnya infrastruktur pertanian. 15,57 juta petani tidak punya lahan

Kebijakan Redistribusi Lahan

Masyarakat NTB menerima sertifikat tanah dari Presiden Jokowi di KEK Mandalika/foto : turmuzi
Eksploitasi dan monopoli lahan secara berlebihan atas nama pembangunan yang kebanyakan dinikmati beberapa gelintir orang, selain bisa mengakibatkan semakin meningkatnya ketimpangan juga secara nyata mengancam sendi-sendi kehidupan kebangsaan

Rais Aam PBNU yang juga Ketua Majlis Ulama Indonesia, Prof. KH. Ma'ruf Amin dalam sambutan di acara Munas alim ulama dan Kombes NU di Mataram mengingatkan pemerintah, bahwa selain faktor pemahaman keagamaan, ketimpangan ekonomi merupakan lahan  subur bersemainya ekstrimisme dan  radikalisme di tengah masyarakat

Salah satu upaya mengikis ketimpangan serta mencegah eksploitasi dan monopoli lahan secara berlebihan, pemerintah perlu mengawal agenda pembaruan agraria, tidak terbatas pada program sertifikasi tanah, tapi redistribusi tanah untuk rakyat dan lahan untuk petani

Termasuk program pembaruan agraria meliputi, pembatasan penguasaan, kepemilikan, masa pengelolaan lahan, baik lahan pertanian maupun kawasan hutan, khususnya bagi perusahaan dan korporasi, yang selama ini tidak berjalan baik, dimana pemerintah belum memiliki komitmen kuat menjadikan tanah sebagai hak dasar warga negara

Kebijakan Presiden Jokowi terkait penerbitan izin pengelolaan dan pemanfaatan hutan oleh masyarakat menjadi perhutanan sosial saya kira sebagai kebijaka  tetap dan bagian dari upaya melakukan redistribusi lahan dan mengurangi ketimpangan sosial dengan tetap memastikan kelestarian lingkungan

Besiru dan Solidaritas Sosial Masyarakat Pedesaan

Petani Gogorancah Desa Mawun/foto : istimewa
Sebagai komunitas masyarakat yang masih memegang teguh tradisi, adat istiadat dan budaya, masyarakat pedesaan dalam menjalani kehidupan dan interaksi sosial dengan sesama juga senantiasa mengedepankan prinsip - prinsip kekeluargaan, sebagai bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat pedesaan dan masih tetap terjaga sampai sekarang

Nilai budaya dan prinsip kekeluargaan tersebut bisa dilihat serta tercermin dengan banyaknya terdapat praktik baik di tengah masyarakat pedesaan. Selain gotong royong, musyawarah dan mufakat, salah satu budaya baik yang masih  tetap ada dan bisa ditemukan di tengah masyarakat pedesaan adalah tradisi "besiru" (saling membantu) dalam menyelesaikan pekerjaan mengolah lahan pertanian, dari proses menggarap lahan hingga masa panen dilaksanakan

"Besiru" merupakan tradisi turun temurun yang berlangsung di tengah masyarakat pedesaan dari zaman nenek moyang dan terus diwariskan sampai sekarang, bahwa dalam mengelolaan lahan pertanian, kerjasama saling membantu sangat diperlukan untuk meringankan beban pekerjaan. Baca juga

Media Sosial dan Atas Nama Kebebasan
Impor Beras di Daerah Swasembada Beras
Buruh Migran, Besar Sumbangan, Minim Perhatian


Mengingat, hampir sebagian besar masyarakat pedesaan memiliki lahan pertanian, baik ladang maupun areal persawahan, dengan luasan mencapai hektaran, sehingga tidak memungkinkan bisa dikerjakan sendirian dan membutuhkan bantuan warga masyarakat lain dalam bentuk "besiru"

Pada masyarakat pedesaan sistim upah jarang dilakukan, bukan karena tidak ada uang, tapi karena hampir sebagian warga memiliki lahan pertanian garapan, itulah kenapa kebanyakan warga lebih memilih "besiru" daripada menerima upah ketika diajak warga lain menyelesaikan pekerjaan menggarap lahan yang hendak ditanami, supaya ketika giliran mengolah lahan sendiri, ada yang membantu mengerjakan

Pola kerja yang sama juga berlaku bagi  petani lain, sehingga bagi warga masyarakat terutama pemuda yang malas "besiru", maka ada semacam sangsi sosial tidak akan dibantu dan hanya akan ditonton ketika giliran mengolah lahan pertanian sendiri termasuk menanam sampai masa panen

foto : istimewa
Meski dilakukan dalam keseharian, "besiru" paling ramai dilakukan ketika masa tanam musim penghujan tiba, petani di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), terutama petani lahan tadah hujan bagian selatan yang menanam dengan pola tanam "najuk" atau Gogorancah (Gora) tua, muda, laki  dan perempuan, bahu membahu saling membantu, antara petani satu dengan petani lain

"Besiru" biasa dilakukan dari proses, membajak sawah, najuk, menyemai sampai musim panen tiba termasuk mengangkut hasil panen dari sawah sampai rumah masing - masing warga. Semua dilakukan dengan pembagian peran yang bisa dilakukan

Pada proses penanaman padi dengan pola tanam Gora misalkan, membuat lubang pada lahan sawah yang ditanami padi umumnya lebih banyak dikerjakan kaum laki - laki, sementara bagian pengisian lubang tanah menggunakan kayu merupakan bagian pekerjaan perempuan, demikian juga dengan proses penyemaian, hingga proses panen

Demikianlah petani pada masyarakat pedesaan membangun kebersamaan dengan sesama, bahwa "besiru" tidak saja sebatas aktifitas saling membantu membantu meringankan beban pekerjaan semata, tapi besiru menjadi simbol kekuatan ikatan persaudaraan dan solidaritas sosial masyarakat pedesaan

Pada tradisi "besiru" juga terdapat nilai kesetaraan di antara sesama petani, tidak ada perbedaan, tua muda, laki - laki dan perempuan semua bekerjasama saling membantu meringankan pekerjaan mengelola lahan pertanian yang ada, sesuai peran masing - masing

Di tengah gaya hidup sebagian besar masyarakat kekinian, khususnya masyarakat perkotaan yang cendrung individualis dan matrialitik. Tradisi "besiru" pada masyarakat pedesaan harus terus dijaga dan dilestarikan sebagai kekuatan serta modal sosial membangun kebersamaan dan persaudaraan. Karena tidak menutup kemungkinan praktik baik seperti besiru akan ditinggalkan seiring perubahan zaman

Media Sosial dan Atas Nama Kebebasan

Istimewa
Kehadiran media sosial terutama facebook dan twitter seakan menjadi surga kebebasan bagi masyarakat, terutama masyarakat moderen sekarang, tidak saja sekedar sebagai sarana menjalin pertemanan dan komunikasi, juga sebagai bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan sebagian masyarakat

Media mengekspresikan fikiran, gagasan pandangan hingga  kritikan tentang berbagai pristiwa maupun kebijakan dijalankan pemerintah. Media sosial juga seakan sebagai jawaban atas apa yang selama ini menjadi kegelisahan dan harapan sebagian besar masyarakat akan kehadiran media baru, media alternatif atas dominasi media mainstrim sebagai ruang ekspresi maupun mendapatkan informasi

Dalam perjalanannya, media sosial juga menjadi kekuatan yang sedikit banyak telah memberikan warna dan corak baru mempengaruhi dan berdampak cukup besar bagi kehidupan masyarakat, baik menyangkut pola komunikasi, pola fikir maupun kehidupan masyarakat secara ekonomi, politik dan sosial budaya

Bagi sebagian masyarakat, terutama masyarakat moderen, media sosial belakangan tidak sekedar dimanfaatkan  sebagai media menjalin pertemanan dan komunikasi biasa,  tapi telah menjadi media media komunikasi melakukan gerakan menggalang kekuatan di tengah masyarakat

Dari gerakan solidaritas sosial kemanusiaan, gerakan politik sampai gerakan propaganda berbau kebencian dan permusuhan di tengah masyarakat, melalui pengelolaan isu - isu sensitif yang mampu mengaduk emosi serta mempengaruhi fikiran masyarakat


Kebebasan yang Bertanggung Jawab

Istimewa
Media sosial di tengah masyarakat harus diakui di satu sisi telah memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat sebagai ruang ekspresi memberikan kemudahan dan keleluasaan bagi setiap orang atau masyarakat sebagai menjalin komunikasi pertemanan

Tapi di sisi lain, juga bisa menjadi ancaman kerukunan, kebhinekaan, menimbulkan permusuhan dan perpecahan di tengah masyarakat ketika tidak bijaka dalam pemanfaatan. Apalagi kalau sampai disalahgunakan melakukan propovaksi menebar kebencian dan permusuhan bernuansa isu Suku Agama Ras dan Antar Golongan (Sara)

Etika dan norma tidak lagi dipedulikan, atas nama kebebasan, seseorang terkadang demikian mudah melakukan penghakiman, mengafirkan orang lain yang dinilai tidak sefaham dan berbeda pandangan dengan dirinya. Interaksi media sosial juga menjadikan sebagian orang demikian sangat sensitif dan mudah terprovokasi

Tidak lagi bisa membedakan mana kritikan dan ujaran kebencian termasuk privasi orang lain yang jadi sasaran. Kebencian secara berlebihan juga terkadang menjadikan sebagian orang kehilangan nalar sehat untuk berfikir kritis tentang suatu persoalan, sensitif, mudah tersinggung

Mengkonsumsi informasi yang tersaji secara mentah, tanpa melakukan proses verifikasi atau mengkritisi kebenaran dari informasi didapatkan. Itu tidak saja banyak menimpa masyarakat awam, tapi juga mereka yang berpendidikan, sebagai korban maupun pelaku penebar ujaran kebencian dan informasi menyesatkan kepada masyarakat

Lahirnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) termasuk kebijakan pemerintah melakukan pemblokiran terhadap aplikasi telegram baru - baru ini, terlepas dari pro dan kontra di tengah masyarakat, membuktikan betapa media sosial dan kebebasan diberikan telah banyak disalahgunakan melampaui batas kewajaran, sehingga diperlukan aturan melalui UU

UUD 1945 memang telah menjamin kebebasan setiap warga negara untuk mengemukakan segala ide, pikiran atau pendapat secara bebas tanpa tekanan, Tapi tentu kebebasan yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan kebebasan yang kebablasan. Mari bijak bermedsos

Ayo Menulis