Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Jeritan Kemiskinan Kaum Pinggiran


Badannya tidak lagi tegap sebagaimana waktu muda dulu, guratan wajahnya nampak sudah mulai mengerut dan tua, karena harus bekerja setiap hari sebagai buruh dari sawah satu kesawah lain, demi mencari nafkah dan sesuap nasi.
Pancaran sinar matahari yang demikian panas tidak lagi dihiraukan, membakar kulit hitamnya dengan keringat dingin  bercucuran membasahi sekujur tubuh kurusnya


"ya beginilah saya kerjakan selama hidup nak bersama suami, menjadi buruh kasar dari sawah satu ke sawah lain, dari tempat satu ke tempat lain, siang dan malam bahkan sampai berbulan bulan. Kalau tidak begini dari mana kami bisa cari uang dan beras untuk makan. Sawah tidak punya" kata Jumirah wanita paruh baya asal desa terare Lombok Tengah tersebut.

Jumirah mungkin satu dari sekian banyak masyarakat Kota Mataram yang hidup di bawah garis kemiskinan. Di tengah gegap gempita Pemda NTB memasang iklan pencitraan dan klaim yang terkadang terkesan di lebih lebihkan tentang penurunan angka kemiskinan.

Namun dalam realitanya masih banyak masyakat NTB harus hidup berkubang dalam kemiskinan dan kemelaratan sebagai masyarakat yang terpinggirkan. Kisah Jumirah merupakan fakta miris betapa kemiskinan masih tetap tumbuh subur di tengah masyarakat. Bahkan dua anak Jumirahpun harus mengubur dalam cita citanya menlanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.

Anak saya sekolah hanya sampai SD dan terpaksa tidak melanjutkan kejenjang  SMP, karena terkendala biaya. Janganka mau sekolah, untuk biaya hidup sehari hari saja, susahnya minta ampun. Terang Jumirah pasrah.

"Begini sudah jadi orang miskin, tidak ada yang bisa kita perbuat, selain pasrah dan berusaha membanting tulang sekuat tenaga demi bertahan hidup, berharap dari pemerintah mana mungkin orang miskin kayak kita ini mau diperhatikan" Tutur Jumirah dengan mata berkaca kaca.

Sent from my BlackBerry® via Smartfren EVDO Network

Eliana, Sengsara Membawa Nikmat

Eliana


Berkunjung dari kantor satu ke kantor lain hampir menjadi rutinitas yang tidak pernah absen ia lakukan. Setiap pagi hingga menjelang siang Ibu tiga anak ini berkeliling menjajakan sayuran kepada pegawai dinas pemerintah Kota Mataram, dengan sepeda tua yang senantiasa setia menemani.

Profesi itu dijalani Ibu Eliana, wanita paruh baya kelahiran Otak Desa Dasan Agung Mataram  ini sejak masih muda. Kondisi ekonomi keluarga, memaksa Eliana harus ikut membanting tulang memenuhi kebutuhan hidup sehari hari termasuk membiayai anaknya yang masih sekolah, bersama suami yang sehari hari hanya
berprofesi sebagai kuli bangunan.

"Dulu sebelum saya menjual sayur sayuran, saya sempat jualan nasi bungkus dan snack ke kantor dan kampus, tetapi sekarang sudah tidak lagi, karena kurang pembeli, setelah itu saya putuskan jual sayuran sampai sekarang" cerita Eliana.

Penghasilan yang didapat dari hasil menjual sayuranpun tidak seberapa, paling banyak 30.000, itu juga kalau tidak di bon (hutang). Terkadang malah tidak dapat apa apa. Karena lebih banyak dihutang ibu pegawai itu, kata Eliana sambil menyeka keringat dingin yang bercucuran dari wajahnya.

"meski keuntungan yang saya dapatkan dari menjual sayuran tidak seberapa, dan sering diutang, saya merasa bersukur  kebutuhan keluarga termasuk biaya sekolah anak saya bisa terpenuhi, meski pas pasan. Ini mungkin yang dinamakan sengsara membawa nikmat. Kata Eliana pada lombokita senin (26/11) sambil berlalu
Sent from my BlackBerry® via Smartfren EVDO Network

Ayo Menulis