Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Pendidikan (Kita) Miskin Keteladanan

googel
Saya sangat mencintai dunia pendidikan, teramat sangat. Namun fenomena dunia pendidikan yang kian makin tidak karuan, sehingga saya memiliki cara tersendiri untuk memberontak, salah satunya dengan menulis. (Ahmadi Sofyan, penulis buku “desperadoes kampus).

Pepatah bijak mengatakan “guru dan dokter tidak akan berguna nasihatnya, maka terimalah bodohmu jika kau tentang sang guru, dan terimalah sakitmu kalau kau tentang sang dokter, atau ada istilah “guru ditiru dan digugu”. pepatah tersebut beberapa waktu lalu boleh saja pernah menjadi salah satu kalimat paling sakti dan demikian sakral, dalam dunia pendidikan. Tetapi tidak untuk sekarang ini.

Carut marutnya sistem dan gagalnya para pelaku pendidikan menghadirkan keteladanan bagi peserta didik, telah membuka ruang untuk melakukan otokritik. Pernahkah kita mendengar bagaimana seorang guru dalam berbagai kesempatan apel pagi, sebelum dan menjelang ahir belajar, demikian getol dan tidak bosan-bosannya memberikan petuah kepada siswanya agar senantiasa rajin belajar di rumah.

Tetapi tidak jarang apa yang dinasehatkan berbanding terbalik dengan prilaku mereka (guru) yang terkadang lebih malas ketimbang sisiwa untuk belajar. Seorang guru yang melarang siswanya untuk merokok, namau giliran mereka merokok, kerapkali alasa sudah bisa mencari uang menjadi dalih pembenaran.

Guru Bahasa Indonesia yang demikian pintar dan lihainya mengajarkan siswa bagaimana membuat kerangka tulisan yang baik, namun gagal menghadirkan karya sebagai bukti untuk mempertanggung jawabkan apa yang diajarkan.

googel
Atau seorang dosen, doktor bahkan profesor dalam berbagai kesempatan seminar, whokshop dan di setiap menyampaikan materi perkuliahan seringkali tampil sebagai pribadi yang kharismatik, berwibawa dan bijaksana mengingatkan mahasiswanya agar senantiasa rajin belajar dan banyak-banyak membaca buku.

Mengajarkan kepada mahasiswa agar senantiasa kreatif menciptakan lapangan kerja sendiri dengan berwira usaha, karena kuliah tidak mesti harus berorientasi menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tetapi prilaku yang ditampilkan, terkadang tidak mampu menggambarkan apa yang selama ini didakwahkan.

Sebagian guru terkadang justru lebih tidak kreatif, miskin karya. Banyak“guru besar” yang semestinya menjadi tokoh panutan dalam dunia pendidikan, seringkali tidak mampu menampilkan keteladanan dan kebijaksanaan, predikat sebagai “guru besar” yang didapatkan terkadang lebih dikarenakan tuntutan kepangkatan dan keperluan jabatan, bukan semata-mata lahir karena tuntutan keilmuan.

Parahnya lagi, keberadaan kampus semakin santer diwarnai dengan kegiatan berbau politis, ketimbang akademis. Bagaimana mungkin menuntut peserta didik agar senantiasa berprilaku baik, dalam segala hal, sementara prilaku gurunya terkadang tidak lebih baik, bahkan mungkin lebih buruk, tidak kreativ melakukan transformasi pengetahuan, miskin wawasan dan berprilaku tidak jujur.

Menjelang ujian nasional berlansung misalnya, demi menjaga nama baik sekolah, berbagai upaya sudah pasti akan dilakukan dengan mengajarkan siswa untuk melakukan ketidak jujuran. Atau seorang dosen yang dalam setia suksesi pemilihan pimpinan di lingkungan kampus, hanya karena berbeda kepentingan, ambisi kukuasaan, seringkali memunculkan permusuhan dan mengkotak-kotakkan diri dalam berbagai kelompok kesukuan.

googel
Lantas apakah salah kemudian kalau ilmuan konserpatif sekelas Paul Freir, Muhammad Ikbal atau aktivis Sok Hok Gie melemparkan kritik yang menohok dan demikian pedas terhadap dunia pendidikan kita, kalau dalam kenyataannya para praktisi, akademisi dan pelaku pendidikan kita gagal menghadirkan keteladanan, melahirkan pribadi-pribadi pembelajar, bukan penghafal yang hanya bisa meniru, membeo dan membebek.

Untuk itu mewujudkan pendidikan yang berkarakter menuju NTB beriman dan berdaya saing, rasanya tidak cukup sebatas catatan di atas kertas, dengan membangun sederetan sekolah dengan status RSBI/SBI, memasang iklan setiap hari di media masa tidak pula dengan memajang baliho besar di setiap sekolah dengan foto-foto.

Pendidikan kita membutuhkan sosok pendidik yang cerdas dan mencerdaskan, pendidik yang memiliki kapasitas yang benar-benar mumpuni dan bisa diandalkan untuk mengelola lembaga pendidikan secara profesional, guna melahirkan pribadi-pribadi yang tidak hanya pintar, namu berkarakter dengan keperibadian yang luhur, sikap empati dan memiliki kepekaan social yang tinggi terhadap sesama.

Dan ini akan bisa terwujud manakala pemerintah, dalam melakukan perekrutan dan penempatan posisi-posisi penting dan strategis di instansi pendidikan tidak tebang pilih atau karena kedekatan emosional, tetapi benar-benar dilakukan secara proporsional, memiliki kapasitas, reputasi dan trac recot yang baik dalam bidang pendidika.

Bukankah Rasulullah sebagai suri tauladan yang baik mampu mengajarkan keteladanan. Nabi melakukan perubahan tidak dengan memasang iklan, tidak hanya sekedar omongan dan tidak pula dengan memasang baliho besar-besaran di setipa pinggir jalan. Tetapi beliau melakukannya lansung dengan mempraktikkan melalui tingkah laku dan perbuatan.

Sekarang ini satu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa karakter masyarakat merupakan gambaran lembaga pendidikan pada umumnya. Karena itu apa yang terjadi di lembaga pendidikan, begitulah yang terjadi dimasyarakat. Lembaga pendidikan merupakan tempat belajar dan mengajar, tempat menerima dan memberi pelajaran.

Lembaga pendidikan merupakan tempat aktivitas fisik dan psikis, berupa membaca, mendengar, mengamati dan melihat segala macam objek belajar sehingga membawa pengaruh kepada peserta didik dalam bersikap, bertingkah laku dan berbuat dalam kehidupan sehari-harinya. Pendidikan menempati peran yang sangat strategis sebagai modal besar peradaban Bangsa.

Lebih lanjut orang akan setuju untuk mengatakan bahwa dunia pendidikan dapat didentikan sebagai pabrik yang senantiasa menghasilkan prodak, berupa sumber daya manusia. Bagus tidaknya prodak yang di hasilkan akan bergantung pada kualitas mesin dan profesionalitas para pengelolanya.

Sarjana dan Jaminan Masa Depan


Seorang CEO Oracle Corp, Lerry Ellison orang kedua terkaya di dunia. seorang yang drop out dari kampus Pada suatu kesempatan, ia diundang untuk memberi pidato pembukaan kelas 2000 Universitas Yale dan ‘diseret turun’ dari panggung sebelum ia menyelesaikan pidatonya. Berikut petikan pidatonya. “Lulusan Yale University, saya minta maaf bila anda telah mengalami prolog seperti ini sebelumnya, namun saya ingin anda melakukan sesuatu untuk diri Anda sendiri. Tolong lihatlah sekeliling anda dengan baik. Lihatlah teman di sebelah kiri dan kanan anda.


Sekarang pikirkan ini, 5 tahun dari sekarang, 10 tahun dari sekarang, bahkan 30 tahun dari sekarang, kemungkinannya adalah orang di sebelah kiri Anda akan menjadi pecundang. Orang di sebelah kanan anda juga akan jadi pecundang. Dan anda di tengah? Apa yang Anda harapkan? Pecundang, pecundang, cum laude pecundang. Nyatanya ketika saya melihat ke hadapan saya sekarang, saya tidak melihat seribu harapan untuk masa depan yang cerah. Saya tidak melihat pemimpin masa depan dalam seribu industri. Saya melihat seribu pecundang”. (Valentino Dinsi, dkk, Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian, 2008).

Barangkali bagi kalangan mahasiswa, terlebih bagi mereka yang sudah wisuda, menyandang gelar sarjana dan belum mendapatkan pekerjaan. Membaca petikan pidato yang disampaikan Lerry Ellison di atas, bisa jadi dianggap sebagai bumerang dan momok paling menakutkan, ditengah kerisauan hati memikirkan pekerjaan yang tidak kunjung didapatkan. Gelar sarjana yang selama ini diperjuangkan dengan biaya mahal, menguras banyak tenaga, pikiran dan keringat basah bercucuran tidak banyak memberikan bantuan, mendapatkan apa yang selama ini menjadi impikan dan dicita-citakan.

Namun inilah realita kehidupan yang memang tidak bisa terbantahkan. Diabad ke-20 orang mungkin bisa berbangga hati di mana gelar akademik dari universitas sangat penting, tapi tidak lagi di abad 21, sebagaimana yang dikatakan Lerry Ellison. Dimana gelar akademik tidak terlalu banyak dibutuhkan, sebaliknya keterampilan, keahlian dan kemampuan membaca peluang mengembangkan usaha, menjadai trend baru di tengah semakin sulitnya lapangan pekerjaan.

Ijazah dan gelar kesarjanaan yang disandang, tidak lagi bisa dijadikan sebagai ukuran sebuah kesuksesan. Sekarang ini jumlah sarjana semakin banyak berjejalan, namun tidak berbanding lurus dengan dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Akibatnya kebanyakan sarjana malah terjebak menjadi pengangguran. Selain memang karena tidak memiliki keterampilan, orientasi sebagian besar sarjana masih terkungkung dengan hasrat menjadi karyawan dan pegawai pemerintahan.

Berdasarkan informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) nasional jumlah pengangguran intelektual di Indonesia dari level sarjana sampai doctor untuk tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 30 %. Di NTB sendiri jumlah pengangguran intelektual selama tahun 2011 ini tercatat sebesar 40 %. Sebuah angka yang cukup pantastis. Belum lagi dari kalangan yang tidak berpendidikan, sudah barang tentu angka pengangguran akan semakin tidak mampu terbendungkan.
PT sendiri selaku penghasil sarjana seakan lepas tangan dengan kualitas lulusan yang dihasilkan. Tidak ada semacam perhatian dan upaya perbaikan mengenai oriontasi pendidikan yang diberlakukan, sebagai bentuk pertanggung jawaban. PT tidak lebih dipandang sebatas pasar/pabrik industri yang hanya bisa menjual dan memproduksi. Tidak peduli apakah sarjana yang dihasilkan mampu berkompetisi atau tidak.

Akibatnya kebanyakan PT justru hanya mampu menghasilkan sarjana yang cuma bisa menjajakan ijazah mencari kerja,dari instansi pemerintah satu ke instansi pemerintahan lainnya, bukan sarjana pencipta lapangan pekerjaan. Sebuah kenyataan pahit dan bertolak belakang dengan gegap gempitanya suara kepala daerah dan partai politik menyuarakan kata “perubahan” bak dewa penyelamat, melalui janji-janji politinya pada pemilukada beberapa waktu lalu di tengah keputusasaan masyarakat berkubang dengan kemiskinan dan kemelatan.

Program pemberantasan kemiskinan, penyediaan lapangan pekerjaan, pendidikan dan kesehaatan gratis kerap dipergunakan sebagai iming-iming yang dipandang efektif dan paling menggiurkan untuk mendapatkan simpati masyarakat. Namun dalam perjalaanannya janji-janji tersebut pada ahirnya hanya menjadi retorika basi yang sampai detik ini tidak banyak memiliki arti, dan tidak kunjung terealisasi.

Lucunya lagi beberapa program kerja yang dicanangkan pemprop dan sebagian pemkab justru tidak memiliki relevansi dengan pemberantasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebut saja pembangunan mega proyek Islamic center (IC) yang dicanangkan pemprop NTB menghabiskan anggaran dana sampai ratusan triliunan rupiah. Coba dana sebesar itu di manfaatkan untuk program kerja yang sifatnya lebih merakyat.

Seperti pemberantasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan melalui pemberian bantuan dana, termasuk menyediakan lapangan pekerjaan sebagai usaha menekan angka pengangguran, tentu akan lebih efektif dan dirasakan manfaatnya secara lansung oleh masyarakat bawah. Namun pemerintah nampaknya lebih senang dan bangga dengan simbol-simbol ketimbang program kerja yang lebih rill dan merakyat.

Pantas kalau beberapa program kerja pemerintah seringkali dipelesetkaan dengan kepanjangan yang terkadang mengundang ketawa, trekadang juga mengundang emosi para pejabat dan wakil rakyat. Sebut saja program BSS yang sering dipelesetkan menjadi Bumi Sejuta Simbol, Bumi Sejuta Selogan dan program Bicara Sana Sini. Belum lagi program kerja lain, di antaranya program PIJAR, visit Lombok – Sumbawa, Absano Adono Akino dan program Sarjana Membangun Desa. yang dinilai masik belum efektif dan kurang maksimal manfaatnya dirasakan secara lansung oleh masyarakat.

Karena itu abad 21 sebagaimana yang dikatakan Lerry Ellison, adalah abad di mana gelar kesarjanaan tidak terlalu banyak diharapakan merajut mimpi dan kesuksesan, karena sarjana sudah semakin banyak berjejalan menjadi pengangguran. Kini saatnya keterampilan, kealian dan kemampuan membaca pluang usaha harus mulai dimanfaatkan. Sekali lagi bagi para calon mahasiswa baru yang hendak mendaftarkan diri ke PT. Kalau nawaitu anda menempuh pendidikan sampai jenjang PT hanya untuk mengejar selembar ijazah dan gelar kesarjanaan, yang anda harapkan bisa memberi pekerjaan menjadi pegawai pemerintahan dan institusi pendidikan.

Maka saya anjurkan kepada anda untuk mengurungkan niat anda masuk PT. karena tidak akan ada yang anda dapatkan selain kekecewaan dan pada ahirnya anda akan terjebak menjadi sarjana pengangguran. Lebih baik uang yang anda hambur-hamburkan untuk menyogok masuk PT maupun biaya kuliah selama empat tahun lamanya, ada baiknya dimanfaatkan untuk membangun usaha. Ingat ini abad 21 bukan abad 20

Akan tetapi kalau niat anda masuk PT untuk tujuan keilmuan, mencari wawasan dan mengasah keterampilan, maka tidak ada salahnya anda memantapkan keyakinan, itung-itung menambah pengalaman untuk melihat lansung bagaimana bobroknya institusi pendidikan yang dilakukan oleh para intelektual pilihan.[]

Visi Loteng Bersatu, Semoga Bukan Mimpi

Beriman, sejahtera dan bermutu (Bersatu). Demikian visi pasangan Suhaili FT dan Normal Suzana (maiq-meres) pada kampanye Pemilukada Lombok Tengah beberapa waktu lalu, di hadapan para pendukung, simpatisan dan segenap lapisan masyarakat.Yang kemudian dijabarkan dalam tujuh komitmen perubahan, antara lain pendidikan gratis untuk orang miskin dari SD sampai SMA sederajat, persalinan gratis bagi seluruh ibu hamil, mempasilitasi lahirnya 250 koprasi unggulan dan sepuluh 10 ribu wirausaha, pembangunan pos keamanan terpadu, peningkatan alokasi dana desa yang berorientasi percepatan pembangunan desa, reformasi birokrasi dengan berdiri terdepan sebagai teladan dan santunan kematian bagi masyarakat.

Terpilihnya pasangan maiq meres sebagai pasangan bupati dan wakil bupati pada Pemilukada bumi Tatas Tuhu Trasna Loteng kemarin, tentunya tidak terlepas dari adanya niat baik, keinginan dan secercah harapan dari masyarakat Paling tidak di bawah kepemimpinan mereka akan mampu membawa sedikit perbaikan terhadap kesejahteraan hidup masyarakat. Di atas pundak merekalah, (pasangan maiq meres) masyarakat menaruh harapan besar, melalui janji-janji politik yang disampaikan, saat melakukan kampanye pada Pemilukada beberapa waktu yang lalu.

Kini masyarakat menunggu realisasi janji-janji politik tersebut. Dan momomen seratus hari kepemimpinan mendatang akan menjadi catatan penting, sekaligus uji kelayakan bagi pasangan maiq meres, mengenai sejauh mana komitmen dan keseriusan mereka melakukan perubahan di Loteng melalu penjabaran dan pelaksanaan visi misi yang pernah dijanjikan, “Lombok Tengah Bersatu”.

Momen seratus hari kepemimpinan maiq meres mendatang, juga akan mempertaruhkan citra dan nama baik mereka dimata masyarakat dalam masa kepemimpinannya lima tahun mendatang, maupun untuk bisa terpilih pada pemilukada selanjutnya, apakah maiq meres mampu tampil sebagai pemimpin pelayan rakyat atau semakin menambah penderitaan rakyat?. Ditengah semakin memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan partai politik sekarang ini sejatinya merupakan ajang bagi maiq meres untuk membuktikan kepada masyarakat, kalau mereka terpilih sebagai pemimpin semata-mata bukan karena ambisi mendapatkan kursi, melainkan hadir membawa misi perubahan.

Misi Perubahan.

Perubahan dan perbaikan secara struktural kelembagaan pemerintahan maupun kemasyarakatan, mungkin saja akan tercapai manakala pasangan maiq meres berani melakuakan terobosan secara radikal, berani melepaskan atribut-atribut atas nama kesukuan, kelas bangsawan, kelompok ataupun golongan. Hal inilah yang tidak pernah berani dilakukan oleh kebanyakan kepala pemerintahan, ketika kursi kekuasaan mengalami peralihan. Sikap arogan, mutasi besar-besaran balas dendam atas nama pribadi dan golongan senantiasa di kedepankan serta menjadi pemandangan yang tidak mengenakan, akibatnya kekompakan, kebersamaan dan rasa kekeluargaan dalam menjabarkan visi misi pemerintahan seringkali tidak jalan dan cendrung stagnan.

Walhasil lima tahun masa pemerintahan berjalan, bukannya banyak terjadi perubahan, malahan banyak program kerja yang mengalami kegagalan. Lihat saja Lombok Tengah dalam masa pemerintahan duet antara H. L. Wira Atmaja - L. Suprayitno, hampir tidak ada perubahan yang cukup membanggakan. Karena hubungan antara Bupati dengan wakilnya tidak mengalami keharmonisan. Akibatnya rumusan dan rancangan setiap program kerja yang akan dijalankan sudah barang tentu mengalami gangguan, karena tidak adanya kesepahaman dalam setiap pengambilan kebijakan secara kelembagaan struktur pemerintahan, maupun sosial kemasyarakatan.

Kasus penggelembungan data base guru honorer yang mencuat beberapa bulan yang lalu, penempatan pejabat secara tidak profesional di lingkungan pemerintahan merupakan salah satu bukti, betapa sistem yang ada di birokrasi pemerintahan Kabupaten Lombok Tengah selama ini masih sangat bobrok. Belum lagi masalah kemiskinan, pendidikan, kesehatan, angka pengangguran yang semakin tidak terbendungkan pembangunan infrastruktur jalan, sebagai penopang kegiatan prekonomian, yang seharusnya menjadi prioritas paling diutamakan, tidak banyak mengalami perubahan.

Karena pemegang kekuasaan dalam pengambilan setiap kebijakan jarang dilakukan atas dasar kebijaksanaan, dan standar kelayakan. Hasil kerja yang didapatkan pun seringkali tidak mampu memberikan kepuasan. Penempatan jabatan yang tidak di dasarkan profesionalisme kerja turut berkontribusi menciptakan kegagalan, akibat etos kerja pegawai dan karyawan yang seringkali serampangan. Malahan sebagian pejabat kelas penjilat di lingkungan pemerintahan Loteng kesenangannya melaksanakan kerja berdasarkan ABS alias Asal Bapak Senang. Kondisi ini tentunya semakin memperburuk keadaan.

Politik Golongan.

Bicara soal kesukuan, kelas bangsawan dan golongan ada hal menarik yang patut menjadi sorotan. Kalau Kabupaten Lombok Timur selama ini dinilai banyak kalangan, pengangkatan dan penempatan pejabat pemerintahannya banyak dilakukan atas nama ormas keagamaan. Maka Loteng selama lima tahun roda pemerintahan berjalan, mulai dari pemilihan, penempatan pejabat pemerintahan, pengambilan kebijakan sampai perekrutan karyawa selain atas nama golongan, ternyata banyak dilakukan berdasarkan kelas bangsawan.

Karena itu masa kepemimpinan pasangan maik meres benar-benar diharapkan akan mampu memposisikan diri sebagai penengah, merangkul semua unsur dan elemen masyarakat untuk membangun masa depan Loteng kearah yang lebih baik, tanpa harus melihat unsur organisasi, golongan dan kelas bangsawan. Melainkan lebih mengedepankan profesionalisme kerja dalam menciptakan keselarasan dan keharmonisan hubungan dalam bingkai suasana kedamaian, persaudaraan dan kebersamaan.

Sebagaimana yang disampaikan Gubernur NTB TGH. Zainul Majdi dalam sambutannya saat melantik pasangan Suhaili FT-Normal Suzana, sebagai pasangan bupati dan wakil bupati Loteng beberapa waktu lalu. Meminta mengharapkan mereka supaya mampu merangkul dan bekerja secara profesional, menjaga kekompakan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab dalam memajukan Loteng, melakukan mutasi dan menempatkan pejabat secara objektif dan proporsional.

Objektif! Apakah iya Gubernur sudah konsisten atau malah inkonsisten dengan masukannya. Sudahkah Gubernur melakukan pengangkatan dan penempatan pejabat pemerintahan di lingkungan pemerintah Propinsi NTB secara objektif dan profesional? Wallah hualam. Kini Segudang pekerjaan menunggu pasangan maik meres untuk segera dirampungkan persoalan ekonomi, pendidikan, kesehatan, tingginya angka kemiskina, perbaikan infrastruktur yang belum memadai, dan masalah pengangguran kerja yang cendrung meningkat. Semoga hasil kejanya memajukan Loteng seindah jargon maiq meres []

Karya Ilmiah Skripsi, Sebuah Otokritik

Beberapa bulan lalu seorang teman pernah curhat, bagaimana dia hampir saja tidak bisa wisuda, dan sedikit schok, karena terancam tidak lulus dalam ujian skrispsi, sebut Andy sebagai nama inisialnya. Oleh dosen penguji, skripsi yang ditulis Andy, pada bagian hasil penelitian, terjadi sedikit ketidak sesuian dengan motodologi penelitian, yang kemudian sedikit berpengaruh terhadap lembar observasi dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sehingga skripsi Andy dinilai sebagai hasil plagiatan.

Belakangan diketahui, dari pengakuan Andy di depan kedua penguji dan pembimbingnya. Kurang sempurnanya hasil penelitian yang dilakukan, ternyata di sebabkan karena masa Andy melakukan penelitian bertepatan dengan salah satu suksesi di kampus, dan kebetulan waktu itu Andy terpilih sebagai ketua. Awalnya Andy menolak untuk menerima posisi tersebut, karena mau focus melakukan penelitian. Namun atas permintaan salah seorang pejabat kampus dan adanya jaminan terhadap skripsinya Andy pun tidak kuasa menolak, dan mengiyakan permintaan pejabat kampus tersebut.

Saat ujian skripsi berlansung Andy sempat diancam tidak lulus oleh penguji tetapi karena dinilai telah berkontribusi membela kubu seorang pejabat dalam salah satu suksesi pemilihan di kampus, maka atas permintaan pejabat kampus tersebut kepada penguji, Andy kemudian divonis bebas dari ancaman tidak lulus ujian skripsi. Lain Andy, lain pula dengah Smodah, yang oleh salah seorang dosen bagian akademik, dimarahin gara-gara terlalu lama menyelesaikan skripsinya., sebut saja ibu IM.

“Kamu ini bagaimana sih, kok skripsimu tidak kunjung ACC. Siapa sih dosen pembimbingmu, biar saya omelin nanti. Itu saja beberapa teman-temanmu, atas rekomendasi dari ibu X bisa wisuda. Padahal kalau mau jujur, skripsi mereka tidak ada apa-apanya, dan jauh dari kata sempurna, buktinya mereka bias wisuda” tutur Smodah menirukan ucapan pejabat akademik tersebut beberapa waktu lalu.

Yah! Cerita dua mahasiswa diatas mungkin satu dari sekian banyak kisah mahasiswa yang dalam menuntaskan penulisan skripsi yang katanya merupakan simbol intlektual mahasiswa untuk dikatakan sebagai seorang akademisi, terkadang harus siap melewati proses cukup panjang, menguras tenaga dan mengundang emosi. Namun tidak sedikit dari mereka karena dinilai banyak berkontribusi, urusan skripsi bisa dinegoisasi. Demikianlah Skrpsi bisa menjadi pekerjaan yang membebani, manakala tidak memiliki kedekatan emosi dan pandai bernegoisasi

Skripsi juga tidak jarang dijadikan sebagai alat kepentingan politik oleh sebagian dosen dan pejabat kampus untuk melakukan tekanan dan aksi balas dendam terhadap mahasiswa, khusnya kalangan aktifis kampus yang dinilai pro terhadap lawan politiknya. Kasus Andy merupakan salah satu bukti, sekaligus gambaran nyata, bagaimana bobroknya birokrasi kampus. Kalau saja Andy tidak memiliki kedekatan emosi, dan dipandang telah berkontribusi, bisa jadi nasibnya akan sama dengan mahasiswa lain. Terus terbebani dengan skripsi yang hanya dihargai sebagai pembungkus trasi.

Walhasil keberadaan skripsi sebagai karya ilmiah dikalangan mahasiswa pelan-pelan tidak lagi dipandang sebagai simbol intlektual seorang akademisi. Pengerjaannya pun seringkali dilakukan setengah hati. Penulisan skripsi lebih banyak dilakukan karena tuntutan profesi mengejar selembar ijazah dan gelar kesarjanaan. Dan pada ahirnya skripsi hanya akan menjadi karya yang tidak memiliki banyak arti.

Paling-paling dihargai sebagai refrensi oleh mahasiswa yang kerjaannya cuma bisa mengcopy, selebihnya hanya bisa berfungsi sebagai pembungkus trasi dan menjadi tumpukan sampah perpustakaan yang semakin menjejali. Wajar kemudian kalau keabsahan dan keilmiahan skripsi sebagai karya ilmiah seringkali dipertanyakan, karena memang selain kebanyakan skripsi yang ditulis mahasiswa merupakan hasil plagiatan, dari sisi pemahaman mengenai masalah penelitian memang masih tergolong memperihatinkan.

Banyak diantara mahasiswa harus mengalami kebingungan ketika akan melakukan proses penelitian di lapangan. Hasinya pun seringkali tidak memuaskan, karena dilakukan dengan asal-asalan, karena bisa jadi merupakan hasil plagiatan. Di sisi lain persentase kehadiran sebagian dosen-dosen selama memberikan arahan dan bimbingan kepada mahasiswa selama penulisan skripsi dan proses penelitian berlansung, terkesan masih kurang diperhatikan, dan hanya sekedar menggugurkan kewajiban.

Entah karena alasan kesibukan, kemalasan atau memang karena tidak paham masalah penelitian. Apalagi mereka yang memang sudah asik dengan nikmatnya jabatan, bimbingan skripsi kepada mahasiswa pun seringkali dilakukan sebagai pekerjaan sampingan. Meski tidak sedikit di antara dosen yang memang serius memberikan bimbingan. Berbicara soal penelitian sekarang ini memang seakan menjadi sesuatu hal yang kurang menarik diperbicangkan. Dilingkungan kampus misalnya sebagian dosen malah lebih banyak di sibukkan mengkotak-kotakkan diri dalam berbagai suku, kelompok dan golongan, yang dianggap dapat memperlancar kepentingan.

Disisi lain hampir dalam setiap kesempatan, tema pembicaraan senantiasa lebih banyak menyangkut persoalan seputar bagaimana menambah penghasilan dan tunjangan, entah melalui jabatan sampai mencari usaha sampingan, ketimbang menyibukkan diri mengembangkan keilmuan, dengan memperbanyak kegiatan penelitian. Kalau dosen saja tidak banyak tertarik dengan masalah penelitian, bagaimana mahasiswa tidak ikut-ikutan, kalau tidak karena tuntutan kepangkatan/jabatan mungkin dosen paling malas melakukan penelitian. Tidak salah kalau penulis buku “Laskar Pelangi” Andrea Hirata mengatakan, kalau orang yang paling pemalas di dunia ini adalah dosen.

Sekarang ini jumlah dosen, doktor dan profesor di Perguruan Tinggi (PT) semakin banyak berjejalan, namun seringkali tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas lulusan, apalagi aktifitas penelitian. Ini terbukti dari semakin membanjirnya sarjana penganguran, bahkan yang paling memalukan malah tidak laku di pasaran. Keberadaan doktor dan profesor yang semaki berjubelan di kebanyakan PT memang patut dipertanyakan. Apa karena dorongan jabatan?, menambah tunjangan, atau memang murni karena keilmuan.

Lantas masih pantaskah karya ilmiah skripsi dibanggakan, sebagai simbol keilmuan seorang akademisi kalau penelitian yang dilakukan mahasiswa hasilnya masih serampangan, kalau bimbingan yang diberikan oleh sebagian orang yang sepantasnya dijadikan panutan masih dilakukan sambilan di tengah kesibukan mengurus jabatan, kalau skripsi yang ditulis merupakan hasil plagiatan. Atau memang skripsi hanya pantas di hargai sebatas pembungkus trasi dan tumpukan sampah perpustakaan yang semakin menyesaki. Apakah anda tidak menyetujui, silahkan komentari.

Mengkaji Ulang UU Otonomi Daerah

Bergulirnya UU Otonomi Daerah (Otda) tahun 2004 lalu, sedikitnya telah membawa angin segar, bagi daerah di seluruh tanah air, untuk mengelola berbagai sumber daya yang ada secara mandiri. Bagaimana tidak selama kurun waktu yang cukup panjang, semua kebijakan yang menyangkut tata kelola pemerintahan di daerah senantiasa dihantui campur tangan dan intervensi pemerintah pusat.


Akibatnya sebagian daearah bukannya mengalami banyak kemajuan, justru semakin mengalami keterpurukan, karena tata kelola pemerintahan yang dijalankan tidak lagi mampu berjalan maksimal. Berbagai sumberdaya, kekayaan yang ada di daerah seringkali menimbulkan banyak masalah, karena pengelolaannya tidak dilakukan secara profesional.

Selain terampasnya kebebasan putra daerah menjalankan pemerintahan daerahnya secara mandiri. Sistem pemerintahan sentralisasi secara tidak lansung menghambat percepatan pembangunan dalam bidang ekonomi, sosial budaya dan pendidikan. Karena secara sosiologis yang lebih tahu dan paham mengenai kondisi daerah pada dasarnya adalan masyarakat setempat.

Dampak Otonomi Daerah.

Otonomi Daerah di satu sisi, harus diakui telah banyak membawa dampak positif bagi daerah, khususnya bagi daerah-daerah yang tadinya tertinggal, terisolasi. dan kurang mendapatkan perhatian serius dari pemerintah pusat, belakangan mulai nampak mengalami kemajuan. Namun di sisi lain Otda sedikitnya telah menimbulkan efek kurang baik, bagi keberlansungan pemerintahan, khususnya pemerintah daerah, di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Hal dipicu oleh pemaknaan Otda oleh sebagian kecil masyarakat, khususnya dari kalangan elit politik lokal yang menginginkan kekuasaan, tidak lagi memandang Otda sebagai medium bagi putra daerah mengelola dan memperbaiki daerah secara mandiri. Namun Otda oleh sebagian elit-elit politik di daerah, belakangan semakin santer dimanfaatkan sebagai alat mendapatkan kekuasaan.

Atas nama Otda, atas nama kepentingan masyarakat, dalih percepatan pembangunan daerah secara adil, merata dan profesional, elit-elit politik lokal secara ramai-ramai berteriak meminta pemekaran secara besar-besaran. Ini tentu sangat kontra dengan hajatan utama pemerintah pusat memberlakukan Otda. Sehingga keberadaan Otda lambat laun justru semakin jauh dari cita-cita awal, sebagai bagian dari ihtiar bersama memajukan daerah.

Otda telah menjadikan masyarakat tekotak-kotak dalam konflik kepentingan atas nama kelompok kesukuan, fanatisme kedaerahan. Dampak paling menghawatirkan dari Otda setidaknya semakin membuka ruang bagi daerah, khususnya daerah yang selama ini merasa didiskriminasikan oleh pemegang kebijakan dalam setiap agenda pembangunan, meminta membuat pemerintahan sendiri.

Selain berdampak terhadap stabilitas politik dan pemerintahan, Otda juga berdampak besar terhadap prekonomian, khususnya prekonomian pemerintah daerah. Tercatat semenjak digulirkan pada tahun 2004 lalu, Otda telah mengundang gelombang besar aspirasi masyarakat di semua daerah meminta kepada pemerintah pusat melakukan pemekaran, membentuk propinsi, kabupaten-kota baru secara otnom. Walhasil pemerintah mau tidak mau harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk mendanai proses pemekaran sampai terbentuknya pemerintahan baru dalam sebuah daerah.


Dan yang paling merasakan dampak negatif dari pemekaran ini, sudah pasti merupakan Pemerintah Daerah (Pemda), tempat berlansungnya proses pemekaran. Selain bisa mengganggu konsentrasi pemerintah induk di daerah menjalankan agenda maupun program kerja yang sudah dicanangkan. Kegiatan pemekaran juga telah berdampak buruk terhadap APBD Pemda, tempat berlansungnya pemekaran. Pos anggaran yang seharusnya dimanfaatkan untuk pemberantasan kemiskinan, menjalankan kegiatan pembangunan, harus mengalami pengurangan, karena lebih banyak tersedot untuk membiayai daerah yang akan dimekarkan.


Di NTB misalnya dampak besar dari pemekaran Kabupaten Lombok Utara, (KLU) secara tidak lansung telah membunuh dan memiskinkan kabupaten induk (Lombok Barat). Tercatat biaya pemekaran KLU, dari proses persiapan sampai terbentuknya pemerintahan KLU secara otonom, semuanya bersumber dari APBD Kabupaten induk, akibatnya pemkab Lobar harus mengalami defisit anggaran hingga Rp.50 miliar. Dan harus terseok-seok memulihkan kembali anggaran.


Sebuah ongkos besar yang terkadang tidak sebanding dengan kinerja Pemerintah Kabupaten baru yang dimekarkan. Pemekaran dalam perjalanannya juga sangat rawan dengan konflik kepentingan yang berpotensi memunculkan perpecahan di tengah masyarakat. Ini merupakan buah dari pemekaran yang terkesan terlalu dipaksakan. Tuntutan pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa (PPS), pemekaran KLS, misalnya disinyalir banyak kalangan, diindikasikan merupakan bagian dari akal-akalan beberapa gelintir elit politik lokal untuk mendapatkan kekuasaan, bukan semata-mata demi memperjuangkan kepentingan masyarakat.


Dampak lain dari pemekaran, masih lemah dan kurang kreatifnya Pemda, khususnya daerah pemekaran, untuk mengembangkan PAD secara mandiri. Kebanyakan Pemda Struktur pendapatannya masih sangat bergantung pada bantuan keuangan pemerintah pusat yang dikemas dalam dana perimbangan, berupa DAU DAK, dana bagi hasil pajak, dan dana bagi hasil bukan pajak. Akibatnya posisi PAD dalam pos pendapatan APBD terbilang sangat kecil.

Peneliti bidang Otonomi Daerah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lili Romli mengatakan, Pemda memang kurang terobosan untuk meningkatkan PAD. Pemda lebih senang mencari cara mudah dengan meningkatkan retribusi daerah, yang mengakibatkan biaya ekonomi tinggi. “Pemda senang membebankan pajak ke masyarakat, padahal duitnya dihabiskan untuk mereka”, Otonomi Daerah kata Lili, membuat pemda seenaknya sendiri mengatur anggaran. (Republika, Selasa 12 Juli 2011).


Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mensinyalir tunjangan pejabat daerah yang berlebihan merupakan bentuk korupsi terselubung. Kordinator investigasi dan advokasi Fitra Ucok Sky Khadafi, mengatakan para pejabat itu menggerogoti APBD dengan bersembunyi dibalik perda yang mengatur tentang tunjangan berdasarkan PAD. Faktanya kata dia, tunjangan pejabat dan PNS alokasinya bahkan melebihi kemampuan daerah mendapatkan PAD. (Republika Sabtu 9 Juli 2011).

Otda dalam perjalanannya telah menimbulkan kerugian cukup besar bagi keberlansungan pemerintahan. Baik secara politis, ekonomis maupun psikologis. Dari itu kajian ulang dan penghapusan UU otonomi daerah menjadi penting dilakukan pemerintah. Persentase daerah yang sudah ada sekarang ini, rasanya sudah cukup representatif dalam menjalankan ikhtiar pemerintah pusat, melaksanakan agenda pembangunan bagi daerah, terlepas dari adanya diskriminasi kebijakan dari setiap kepala daerah atas nama kesukuan, kelompok ormas keagamaan dan fanatisme kedaerahan. Semoga.

IC Dan Politik Pencitraan

"Pembangunan Islamic Center (IC) NTB yang telah lama menjadi impian masyarakat akan segera dimulai. Kehadiran IC tersebut diharapkan menjadi pusat pembangunan peradaban masyarakat yang islami, yang maju, beriman dan berdaya saing. Disamping itu, diharapkan gedung IC tersebut dapat menjadi Landmark NTB, bahkan menjadi simbol kebangkitan peradaban islam di wilayah Indonesia bagian timur.

NTB yang mayoritas penduduknya muslim, kemudian pulau Lombok yang dikenal dengan Pulau Seribu Masjid, sangat wajar kalau kemudian mendambakan adanya sebuah symbol, sebuah landmark, yang akan menjadi kebanggaan masyarakat, bangunan yang kemudian dapat bermanfaat bagi peningkatan keimanan dan ketakwaan umat". Kurang lebih demikianlah pernyataan kepala BAPEDA Propinsi NTB Dr. Rosiadi, M.Si dalam salah satu kesempatan di harian umum Lombok Post (19/03/2010).

Masyarakat mungkin bisa berbangga hati dengan kehadiran pembangunan IC, sebagai salah satu tanda untuk mempertegas keberadaan NTB dengan Pulau Lombok yang dikenal sebagai Pulau seribu masjid. Sekaligus sebagai media pengembangan dakwah dan pendidikan berwawasan keislaman. Hal ini sejalan dengan visi misinya pemerintahan baru, NTB Bersaing. Apresiasi dan penghargaan besar Sepantasnyalah masyarakat berikan terhadap hajatan pemerintah mencanangkan program pembangunan simbol kebesaran islam.

Namun terlepas dari simbol-simbol kebesaran tersebut. Wacana realisasi pembangunan IC sejatinya sempat memunculkan perdebatan panjang, pro dan kontra mulai dari kalangan elit politik, sampai masyarakat bawah mengenai keberadaan IC untuk ditempatkan sebagai program prioritas atau sampingan, mengingat alokasi anggaran yang dibutuhkan tidak sedikit, untuk pembangunan mega peroyek sekelas IC yang sudah barang tentu akan menelan anggaran dana sampai puluhan, bahkan ratusan miliar, yang sebagian pendanaanya dialokasikan dari APBD?. Bagaimana korelasi antara kehadiran IC dengan kesejahteraan masyarakat?, Apakah mungkin moral dan ahlak masyarakat akan bisa dibina manakala tingkat kesejahtraan masih jauh dari harapan?.

Ketika petani tembakau masih berteriak-teriak menghujat kebijakan pemerintah memberlakukan konversi minyak tanah ke batu bara, ketika masyarakat lombok selatan menjerit berharap bisa diperhatikan secara adil yang seringkali dilanda kekeringan, pembangunan infrastruktur sebagai penopang kegiatan prekonomian tidak pernah mendapat perhatian, ketika listrik sebagai penerangan tidak pernah mampu memberikan kenyamanan dan kepuasan, kegiatan pembangunan yang tidak mengalami pemerataan, dan masih banyak berputar di wilayah perkotaan, senantiasa menjadi kesenjangan yang seringkali tidak mampu mendatangkan rasa keadilan.

Mungkinkah kehadiran IC dapat bermanfaat bagi peningkatan keimanan dan ketakwaan, menuju masyarakat NTB Bersaing. Iwan fals dalam salah satu lirik lagunya mengatakan. Wahai pemimpin kami yang baru, turunkan harga, berikan kami kesejarteraan. Masalah moral, masalah ahlak, kami yang urus, urus saja moralmu, urus saja ahlakmu, biarkan kami cari sendiri. Iwan Fals mungkin ada benarnya.

Bagaimana mungkin moral dan ahlak masyarakat akan bisa diperbaiki, kalau masih dihantui persoalan isi perut dan kesejahteraan hidup, bukankah kemiskinan melahirkan kekufuran. Sebuah kebijakan yang sepintas lalu cukup membanggakan, namun disisi lain dinilai banyak kalangan sebagai sebuah kebijakan yang kurang tepat sasaran. Bagaimana tidak, kalau saja dana sebesar itu dialokasikan untuk peningkatan kualitas pendidikan, pelayanan kesehatan, pembangunan infrastruktur jalan dan pemberian bantuan dana bagi pengembangan pertanian, koprasi dan UKM.

Tentu akan memberikan manfaat lebih besar bagi kesejahteraan masyarakat, ketimbang menjalankan pembangunan yang memboroskan anggaran, yang manfaatnya paling-paling hanya bisa dinikmati cuman oleh beberapa gelintir orang beruang. Toh masjid saja yang tersebar disetiap pelosok kampung dan jalan dengan arsitek yang begitu megah dan menghabiskan dana ratusan, bahkan miliaran rupiah, tidak lebih hanya sebatas simbol pajangan, dan jarang diberdayakan untuk kegiatan keagamaan. Karena tokoh rohaniawan yang seharusnya sebagai teladan dan pemberi pencerahan malah sibuk mengadu keberuntungan melalui kursi kekuasaan.

Lantas masihkah simbol-simbol keagamaan dibutuhkan, kalau yang sudah ada saja, jarang diberdayaka?. Diawal pembahasan mengenai alokasi anggaran yang akan dihabiskan. Pembangunan IC sempat menjadi bahan perdebatan yang cukup menegangkan antara dewan dengan pelaksana kebijakan (eksekutif), karena anggaran yang akan dihabiskan di perkirakan lebih besar, di bandingkan sektor lainnya. Beberapa diantaranya sektor pendidikan dan kesehatan yang semestinya menjadi prioritas terdepan untuk di perhatikan.

Politik Pencitraan

Banyak kalangan ormas menilai pembangunan IC dinilai tidak tepat sasaran, dan hanya akan mehambur-hamburkan anggaran. Bagi mereka kehadiran pembangunan IC tidak lebih hanya bagian dari usaha membangun pencitraan Mengingat secara sosiolois penerimaan masyarakat NTB terhadap ketokohan/kepemimpinan seseorang lebih rentan dilakukan melalui simbol dan pendekatan keagamaan. Modal inilah yang dimiliki Gubernur NTB sekarang ini.

Selain lahir dari ormas islam yang memiliki pengaruh besar di NTB. Secara ketokohan TGB, juga memiliki kharisma cukup besar sebagai seorang tokoh rohaniawan yang dipercaya sebagai pembawa sabda tuhan untuk misi kemanusiaan dan kemaslahatan. Dengan posisinya sekarang ini, bukan tidak mungkin akan dijadikan sebagai modal sosial melenggang memenangkan pemilukada pada periode selanjutnya.

Meski dalam masa kepemimpinannya sekarang ini, tingkat kharisma TGB sedikit mengalami pergeseran, khususnya pasca diberlakukannya kebijakan pemerintah terhadap konversi minyak tanah ke batu bara bagi petani tembakau, dan sederetan program kerja lain, beberapa diantaranya pemberantasan angka kemiskinan, dan pembangunan infrastruktur jalan dinilai masih jauh dari harapan.

Ya, terlepas dari berbagai kelebihan dan kekurangan program kerja yang sudah dicanangkan. Mudah-mudahan akan bisa menjadi bahan masukan dalam melakukan perbaikan, dan tidak terjebak pada kegiatan pencitraan, dan terhanyut dalam klaim keberhasilan yang ditandai dengan banyaknya penghargaan yang diberikan, bukan melihat pada seberapa besar capaian yang sudah dilakukan.[]. Muda-mudahan!

Puasa Mengasah Kepekaan Sosial.

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa. Sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. (Qs. Al Baqarah : 183)

Puasa dalam kaitannya dengan ibadah, kalau dikaji secara lebih mendalam pada dasarnya mengandung makna/nilai-nilai pendidikan yang sangat luas. Selain merupakan bentuk pengabdian seorang hamba kepada sang pencipta. Puasa juga mengandung sederetan pesan moral tentang sendi-sendi kehidupan dan nilai kemanusiaan. Karena itu ibadah puasa semestinya tidak hanya tuntas/cukup pada pemaknaan menahan diri dari perkara yang sifatnya menyangkut kebutuhan jasmani, lapar dan dahaga.

Yang terpenting dari itu, bagaimana dengan berpuasa mampu menjadikan kita sebagai pribadi-pribadi yang senantiasa memiliki sikap empati dan kepekaan sosial terhadap sesama. Inilah makna sejati dari kata “taqwa” sebagaimana keterangan ayat di atas, dalam kaiatanya dengan kewajiban manusia melaksanakan ibadah puasa. Seorang yang melaksanakan ibadah puasa, baru pantas menyandang predikat “taqwa,” ketika ia mampu melakukan prubahan besar terhadap keperibadiannya, mampu mendatangkan mamfaat bagi sesama.

Pengamat sosial Prof. Dr Komarudin Hidayat, dalam bukunya “Psikologi Agama,” mengatakan agama ibarat pakaian, meski dalam banyak sisi keduanya memiliki banyak perbedaa, namun dalam sisi lain keduanya sama-sama mendatangkan rasa nyaman. Seorang yang beragama, mestinya jiwa dan badannya menjadi sehat, kehormatan dirinya terjaga, dan prilaku serta tutur katanya enak di pandang dan didengar. Kalau ketiga hal tadi tidak di temukan, pasti ada yang salah dengan dirinya, atau ukuran pakaiannya yang tidak pas, mestinya dengan beragama, mampu mendatangkan rasa nyaman terhadap dirinya dimana pun ia berada.

Demikian halnya dengan puasa. Dengan berpuasa semestinya mampu menjadikan sesorang sebagai pribadi yang jujur, memiliki kepedulian, dan solidaritas sosial tinggi dan sikap saling toleran terhadap sesama. Kalau dengan berpuasa kepribadian semacam ini tidak mampu kita cerminkan, maka puasa yang kita laksanakan bisa termasuk sebagai sebuah kegagalan. Inilah poin terpenting yang selama ini masih belum mampu kita petik dari pelaksanaan ibadah puasa.

Banyak orang melaksanakan ibadah puasa seringkali bukan atas dasar kesadaran untuk menciptakan perubahan, melainkan tidak lebih hanya sebatas menggugurkan kewajiban. Sehingga tidak sedikit orang sukses melaksanakan puasa hanya dari sisi ritual semata, namun gagal menangkap makna substansialnya. Nabi Muhammad SAW dalam salah satu haditsnya bersabda : “betapa banyak di antara umatku yang berpuasa, namun hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga, dan tidak sedikit di antara umatku yang gemar beribadah, tapi hanya merasakan lelahnya saja.”(HR. Ahmad).

Karena itu puasa semestinya mampu menempa dan menggembleng keperibadian seorang yang berpuasa sebagai sosok manusia yang senantiasa memiliki kepekaan sosial terhadap nasib sesama di tengah pergaulan hidup bersama masyarakat. Saling menghargai, memberi dan berbagi. Sebagai bentuk kepedulian terhadap penderitaan yang mereka hadapi. Dengan berpuasa, mampu menjadikan seseorang tampil sebagai sosok pemimpin yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dalam setiap tindakan.

Sebab puasa pada hakikatnya, mengajarkan tentang keadilan. Ini tercermin dari adanya kewajiban melaksanakan ibadah puasa di antara umat muslim, tidak membedakan antara miskin-kaya, tua-muda dan sama-sama merasakan lapar dan dahaga. Sebuah ajaran yang begitu sarat dengan nilai keteladanan, yang semestinya mampu diimplementasikan para pemegang kebijakan/tokoh agamawan dalam setiap tindakan yang mampu dipertanggung jawabkan, sesuai dengan apa yang pernah dijanjikan/.

Sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW dalam memperlakukan masyarakat kecil dan golongan lemah yang tertindas. Dengan membangkitkan harga diri dan nilai-nilai kemanusiaan mereka. Beliau hidup di tengah mereka dalam kondisi sama-sama lapar dan tidur di atas pelepah daun kurma. Demikian dekatnya Nabi dengan rakyat miskin, sampai-sampai Nabi berkata kepada para sahabatnya. Kalau kalian mencari aku, maka “carilah aku di tengah orang-orang yang lemah di antara kalian.”

Ahirnya semoga ibadah puasa sekarang ini, mampu kita jadikan sebagai momentum melakukan perbaikan terhadap setiap tindakan yang dilakukan, hanya untuk satu tujuan, terciptanya kemaslahatan berlandaskan nilai kejujuran dan keadilan. Intelektual muslim Azumardi Azra dalam artikelnya “merayakan kedermawanan bulan ramadhan” di harian umum Republika (28/07) mengatakan datangnya bulan ramadhan setidaknya mampu melahirkan energi positif bagi setiap muslim, menjadi orang yang sangat dermawan, memiliki kepekaan sosial tinggi. Meski hanya berlansung pada bulan ramadhan. Setidaknya telah mampu menjadi wahana pemersatu/mempererat jalinan ikatan emosional dengan sesama. Andai saja kedermawanan bulan ramadhan bisa tetap dilestarikan, persoalan kemiskinan kesenjangan sosial dalam kehidupan masyarakat sedikit tidak akan mampu dihilangkan.

Ayo Menulis