Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Mengkaji Ulang UU Otonomi Daerah

Bergulirnya UU Otonomi Daerah (Otda) tahun 2004 lalu, sedikitnya telah membawa angin segar, bagi daerah di seluruh tanah air, untuk mengelola berbagai sumber daya yang ada secara mandiri. Bagaimana tidak selama kurun waktu yang cukup panjang, semua kebijakan yang menyangkut tata kelola pemerintahan di daerah senantiasa dihantui campur tangan dan intervensi pemerintah pusat.


Akibatnya sebagian daearah bukannya mengalami banyak kemajuan, justru semakin mengalami keterpurukan, karena tata kelola pemerintahan yang dijalankan tidak lagi mampu berjalan maksimal. Berbagai sumberdaya, kekayaan yang ada di daerah seringkali menimbulkan banyak masalah, karena pengelolaannya tidak dilakukan secara profesional.

Selain terampasnya kebebasan putra daerah menjalankan pemerintahan daerahnya secara mandiri. Sistem pemerintahan sentralisasi secara tidak lansung menghambat percepatan pembangunan dalam bidang ekonomi, sosial budaya dan pendidikan. Karena secara sosiologis yang lebih tahu dan paham mengenai kondisi daerah pada dasarnya adalan masyarakat setempat.

Dampak Otonomi Daerah.

Otonomi Daerah di satu sisi, harus diakui telah banyak membawa dampak positif bagi daerah, khususnya bagi daerah-daerah yang tadinya tertinggal, terisolasi. dan kurang mendapatkan perhatian serius dari pemerintah pusat, belakangan mulai nampak mengalami kemajuan. Namun di sisi lain Otda sedikitnya telah menimbulkan efek kurang baik, bagi keberlansungan pemerintahan, khususnya pemerintah daerah, di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Hal dipicu oleh pemaknaan Otda oleh sebagian kecil masyarakat, khususnya dari kalangan elit politik lokal yang menginginkan kekuasaan, tidak lagi memandang Otda sebagai medium bagi putra daerah mengelola dan memperbaiki daerah secara mandiri. Namun Otda oleh sebagian elit-elit politik di daerah, belakangan semakin santer dimanfaatkan sebagai alat mendapatkan kekuasaan.

Atas nama Otda, atas nama kepentingan masyarakat, dalih percepatan pembangunan daerah secara adil, merata dan profesional, elit-elit politik lokal secara ramai-ramai berteriak meminta pemekaran secara besar-besaran. Ini tentu sangat kontra dengan hajatan utama pemerintah pusat memberlakukan Otda. Sehingga keberadaan Otda lambat laun justru semakin jauh dari cita-cita awal, sebagai bagian dari ihtiar bersama memajukan daerah.

Otda telah menjadikan masyarakat tekotak-kotak dalam konflik kepentingan atas nama kelompok kesukuan, fanatisme kedaerahan. Dampak paling menghawatirkan dari Otda setidaknya semakin membuka ruang bagi daerah, khususnya daerah yang selama ini merasa didiskriminasikan oleh pemegang kebijakan dalam setiap agenda pembangunan, meminta membuat pemerintahan sendiri.

Selain berdampak terhadap stabilitas politik dan pemerintahan, Otda juga berdampak besar terhadap prekonomian, khususnya prekonomian pemerintah daerah. Tercatat semenjak digulirkan pada tahun 2004 lalu, Otda telah mengundang gelombang besar aspirasi masyarakat di semua daerah meminta kepada pemerintah pusat melakukan pemekaran, membentuk propinsi, kabupaten-kota baru secara otnom. Walhasil pemerintah mau tidak mau harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk mendanai proses pemekaran sampai terbentuknya pemerintahan baru dalam sebuah daerah.


Dan yang paling merasakan dampak negatif dari pemekaran ini, sudah pasti merupakan Pemerintah Daerah (Pemda), tempat berlansungnya proses pemekaran. Selain bisa mengganggu konsentrasi pemerintah induk di daerah menjalankan agenda maupun program kerja yang sudah dicanangkan. Kegiatan pemekaran juga telah berdampak buruk terhadap APBD Pemda, tempat berlansungnya pemekaran. Pos anggaran yang seharusnya dimanfaatkan untuk pemberantasan kemiskinan, menjalankan kegiatan pembangunan, harus mengalami pengurangan, karena lebih banyak tersedot untuk membiayai daerah yang akan dimekarkan.


Di NTB misalnya dampak besar dari pemekaran Kabupaten Lombok Utara, (KLU) secara tidak lansung telah membunuh dan memiskinkan kabupaten induk (Lombok Barat). Tercatat biaya pemekaran KLU, dari proses persiapan sampai terbentuknya pemerintahan KLU secara otonom, semuanya bersumber dari APBD Kabupaten induk, akibatnya pemkab Lobar harus mengalami defisit anggaran hingga Rp.50 miliar. Dan harus terseok-seok memulihkan kembali anggaran.


Sebuah ongkos besar yang terkadang tidak sebanding dengan kinerja Pemerintah Kabupaten baru yang dimekarkan. Pemekaran dalam perjalanannya juga sangat rawan dengan konflik kepentingan yang berpotensi memunculkan perpecahan di tengah masyarakat. Ini merupakan buah dari pemekaran yang terkesan terlalu dipaksakan. Tuntutan pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa (PPS), pemekaran KLS, misalnya disinyalir banyak kalangan, diindikasikan merupakan bagian dari akal-akalan beberapa gelintir elit politik lokal untuk mendapatkan kekuasaan, bukan semata-mata demi memperjuangkan kepentingan masyarakat.


Dampak lain dari pemekaran, masih lemah dan kurang kreatifnya Pemda, khususnya daerah pemekaran, untuk mengembangkan PAD secara mandiri. Kebanyakan Pemda Struktur pendapatannya masih sangat bergantung pada bantuan keuangan pemerintah pusat yang dikemas dalam dana perimbangan, berupa DAU DAK, dana bagi hasil pajak, dan dana bagi hasil bukan pajak. Akibatnya posisi PAD dalam pos pendapatan APBD terbilang sangat kecil.

Peneliti bidang Otonomi Daerah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lili Romli mengatakan, Pemda memang kurang terobosan untuk meningkatkan PAD. Pemda lebih senang mencari cara mudah dengan meningkatkan retribusi daerah, yang mengakibatkan biaya ekonomi tinggi. “Pemda senang membebankan pajak ke masyarakat, padahal duitnya dihabiskan untuk mereka”, Otonomi Daerah kata Lili, membuat pemda seenaknya sendiri mengatur anggaran. (Republika, Selasa 12 Juli 2011).


Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mensinyalir tunjangan pejabat daerah yang berlebihan merupakan bentuk korupsi terselubung. Kordinator investigasi dan advokasi Fitra Ucok Sky Khadafi, mengatakan para pejabat itu menggerogoti APBD dengan bersembunyi dibalik perda yang mengatur tentang tunjangan berdasarkan PAD. Faktanya kata dia, tunjangan pejabat dan PNS alokasinya bahkan melebihi kemampuan daerah mendapatkan PAD. (Republika Sabtu 9 Juli 2011).

Otda dalam perjalanannya telah menimbulkan kerugian cukup besar bagi keberlansungan pemerintahan. Baik secara politis, ekonomis maupun psikologis. Dari itu kajian ulang dan penghapusan UU otonomi daerah menjadi penting dilakukan pemerintah. Persentase daerah yang sudah ada sekarang ini, rasanya sudah cukup representatif dalam menjalankan ikhtiar pemerintah pusat, melaksanakan agenda pembangunan bagi daerah, terlepas dari adanya diskriminasi kebijakan dari setiap kepala daerah atas nama kesukuan, kelompok ormas keagamaan dan fanatisme kedaerahan. Semoga.

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis