Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Sarjana dan Jaminan Masa Depan


Seorang CEO Oracle Corp, Lerry Ellison orang kedua terkaya di dunia. seorang yang drop out dari kampus Pada suatu kesempatan, ia diundang untuk memberi pidato pembukaan kelas 2000 Universitas Yale dan ‘diseret turun’ dari panggung sebelum ia menyelesaikan pidatonya. Berikut petikan pidatonya. “Lulusan Yale University, saya minta maaf bila anda telah mengalami prolog seperti ini sebelumnya, namun saya ingin anda melakukan sesuatu untuk diri Anda sendiri. Tolong lihatlah sekeliling anda dengan baik. Lihatlah teman di sebelah kiri dan kanan anda.


Sekarang pikirkan ini, 5 tahun dari sekarang, 10 tahun dari sekarang, bahkan 30 tahun dari sekarang, kemungkinannya adalah orang di sebelah kiri Anda akan menjadi pecundang. Orang di sebelah kanan anda juga akan jadi pecundang. Dan anda di tengah? Apa yang Anda harapkan? Pecundang, pecundang, cum laude pecundang. Nyatanya ketika saya melihat ke hadapan saya sekarang, saya tidak melihat seribu harapan untuk masa depan yang cerah. Saya tidak melihat pemimpin masa depan dalam seribu industri. Saya melihat seribu pecundang”. (Valentino Dinsi, dkk, Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian, 2008).

Barangkali bagi kalangan mahasiswa, terlebih bagi mereka yang sudah wisuda, menyandang gelar sarjana dan belum mendapatkan pekerjaan. Membaca petikan pidato yang disampaikan Lerry Ellison di atas, bisa jadi dianggap sebagai bumerang dan momok paling menakutkan, ditengah kerisauan hati memikirkan pekerjaan yang tidak kunjung didapatkan. Gelar sarjana yang selama ini diperjuangkan dengan biaya mahal, menguras banyak tenaga, pikiran dan keringat basah bercucuran tidak banyak memberikan bantuan, mendapatkan apa yang selama ini menjadi impikan dan dicita-citakan.

Namun inilah realita kehidupan yang memang tidak bisa terbantahkan. Diabad ke-20 orang mungkin bisa berbangga hati di mana gelar akademik dari universitas sangat penting, tapi tidak lagi di abad 21, sebagaimana yang dikatakan Lerry Ellison. Dimana gelar akademik tidak terlalu banyak dibutuhkan, sebaliknya keterampilan, keahlian dan kemampuan membaca peluang mengembangkan usaha, menjadai trend baru di tengah semakin sulitnya lapangan pekerjaan.

Ijazah dan gelar kesarjanaan yang disandang, tidak lagi bisa dijadikan sebagai ukuran sebuah kesuksesan. Sekarang ini jumlah sarjana semakin banyak berjejalan, namun tidak berbanding lurus dengan dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Akibatnya kebanyakan sarjana malah terjebak menjadi pengangguran. Selain memang karena tidak memiliki keterampilan, orientasi sebagian besar sarjana masih terkungkung dengan hasrat menjadi karyawan dan pegawai pemerintahan.

Berdasarkan informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) nasional jumlah pengangguran intelektual di Indonesia dari level sarjana sampai doctor untuk tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 30 %. Di NTB sendiri jumlah pengangguran intelektual selama tahun 2011 ini tercatat sebesar 40 %. Sebuah angka yang cukup pantastis. Belum lagi dari kalangan yang tidak berpendidikan, sudah barang tentu angka pengangguran akan semakin tidak mampu terbendungkan.
PT sendiri selaku penghasil sarjana seakan lepas tangan dengan kualitas lulusan yang dihasilkan. Tidak ada semacam perhatian dan upaya perbaikan mengenai oriontasi pendidikan yang diberlakukan, sebagai bentuk pertanggung jawaban. PT tidak lebih dipandang sebatas pasar/pabrik industri yang hanya bisa menjual dan memproduksi. Tidak peduli apakah sarjana yang dihasilkan mampu berkompetisi atau tidak.

Akibatnya kebanyakan PT justru hanya mampu menghasilkan sarjana yang cuma bisa menjajakan ijazah mencari kerja,dari instansi pemerintah satu ke instansi pemerintahan lainnya, bukan sarjana pencipta lapangan pekerjaan. Sebuah kenyataan pahit dan bertolak belakang dengan gegap gempitanya suara kepala daerah dan partai politik menyuarakan kata “perubahan” bak dewa penyelamat, melalui janji-janji politinya pada pemilukada beberapa waktu lalu di tengah keputusasaan masyarakat berkubang dengan kemiskinan dan kemelatan.

Program pemberantasan kemiskinan, penyediaan lapangan pekerjaan, pendidikan dan kesehaatan gratis kerap dipergunakan sebagai iming-iming yang dipandang efektif dan paling menggiurkan untuk mendapatkan simpati masyarakat. Namun dalam perjalaanannya janji-janji tersebut pada ahirnya hanya menjadi retorika basi yang sampai detik ini tidak banyak memiliki arti, dan tidak kunjung terealisasi.

Lucunya lagi beberapa program kerja yang dicanangkan pemprop dan sebagian pemkab justru tidak memiliki relevansi dengan pemberantasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebut saja pembangunan mega proyek Islamic center (IC) yang dicanangkan pemprop NTB menghabiskan anggaran dana sampai ratusan triliunan rupiah. Coba dana sebesar itu di manfaatkan untuk program kerja yang sifatnya lebih merakyat.

Seperti pemberantasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan petani dan nelayan melalui pemberian bantuan dana, termasuk menyediakan lapangan pekerjaan sebagai usaha menekan angka pengangguran, tentu akan lebih efektif dan dirasakan manfaatnya secara lansung oleh masyarakat bawah. Namun pemerintah nampaknya lebih senang dan bangga dengan simbol-simbol ketimbang program kerja yang lebih rill dan merakyat.

Pantas kalau beberapa program kerja pemerintah seringkali dipelesetkaan dengan kepanjangan yang terkadang mengundang ketawa, trekadang juga mengundang emosi para pejabat dan wakil rakyat. Sebut saja program BSS yang sering dipelesetkan menjadi Bumi Sejuta Simbol, Bumi Sejuta Selogan dan program Bicara Sana Sini. Belum lagi program kerja lain, di antaranya program PIJAR, visit Lombok – Sumbawa, Absano Adono Akino dan program Sarjana Membangun Desa. yang dinilai masik belum efektif dan kurang maksimal manfaatnya dirasakan secara lansung oleh masyarakat.

Karena itu abad 21 sebagaimana yang dikatakan Lerry Ellison, adalah abad di mana gelar kesarjanaan tidak terlalu banyak diharapakan merajut mimpi dan kesuksesan, karena sarjana sudah semakin banyak berjejalan menjadi pengangguran. Kini saatnya keterampilan, kealian dan kemampuan membaca pluang usaha harus mulai dimanfaatkan. Sekali lagi bagi para calon mahasiswa baru yang hendak mendaftarkan diri ke PT. Kalau nawaitu anda menempuh pendidikan sampai jenjang PT hanya untuk mengejar selembar ijazah dan gelar kesarjanaan, yang anda harapkan bisa memberi pekerjaan menjadi pegawai pemerintahan dan institusi pendidikan.

Maka saya anjurkan kepada anda untuk mengurungkan niat anda masuk PT. karena tidak akan ada yang anda dapatkan selain kekecewaan dan pada ahirnya anda akan terjebak menjadi sarjana pengangguran. Lebih baik uang yang anda hambur-hamburkan untuk menyogok masuk PT maupun biaya kuliah selama empat tahun lamanya, ada baiknya dimanfaatkan untuk membangun usaha. Ingat ini abad 21 bukan abad 20

Akan tetapi kalau niat anda masuk PT untuk tujuan keilmuan, mencari wawasan dan mengasah keterampilan, maka tidak ada salahnya anda memantapkan keyakinan, itung-itung menambah pengalaman untuk melihat lansung bagaimana bobroknya institusi pendidikan yang dilakukan oleh para intelektual pilihan.[]

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis