Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Karya Ilmiah Skripsi, Sebuah Otokritik

Beberapa bulan lalu seorang teman pernah curhat, bagaimana dia hampir saja tidak bisa wisuda, dan sedikit schok, karena terancam tidak lulus dalam ujian skrispsi, sebut Andy sebagai nama inisialnya. Oleh dosen penguji, skripsi yang ditulis Andy, pada bagian hasil penelitian, terjadi sedikit ketidak sesuian dengan motodologi penelitian, yang kemudian sedikit berpengaruh terhadap lembar observasi dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sehingga skripsi Andy dinilai sebagai hasil plagiatan.

Belakangan diketahui, dari pengakuan Andy di depan kedua penguji dan pembimbingnya. Kurang sempurnanya hasil penelitian yang dilakukan, ternyata di sebabkan karena masa Andy melakukan penelitian bertepatan dengan salah satu suksesi di kampus, dan kebetulan waktu itu Andy terpilih sebagai ketua. Awalnya Andy menolak untuk menerima posisi tersebut, karena mau focus melakukan penelitian. Namun atas permintaan salah seorang pejabat kampus dan adanya jaminan terhadap skripsinya Andy pun tidak kuasa menolak, dan mengiyakan permintaan pejabat kampus tersebut.

Saat ujian skripsi berlansung Andy sempat diancam tidak lulus oleh penguji tetapi karena dinilai telah berkontribusi membela kubu seorang pejabat dalam salah satu suksesi pemilihan di kampus, maka atas permintaan pejabat kampus tersebut kepada penguji, Andy kemudian divonis bebas dari ancaman tidak lulus ujian skripsi. Lain Andy, lain pula dengah Smodah, yang oleh salah seorang dosen bagian akademik, dimarahin gara-gara terlalu lama menyelesaikan skripsinya., sebut saja ibu IM.

“Kamu ini bagaimana sih, kok skripsimu tidak kunjung ACC. Siapa sih dosen pembimbingmu, biar saya omelin nanti. Itu saja beberapa teman-temanmu, atas rekomendasi dari ibu X bisa wisuda. Padahal kalau mau jujur, skripsi mereka tidak ada apa-apanya, dan jauh dari kata sempurna, buktinya mereka bias wisuda” tutur Smodah menirukan ucapan pejabat akademik tersebut beberapa waktu lalu.

Yah! Cerita dua mahasiswa diatas mungkin satu dari sekian banyak kisah mahasiswa yang dalam menuntaskan penulisan skripsi yang katanya merupakan simbol intlektual mahasiswa untuk dikatakan sebagai seorang akademisi, terkadang harus siap melewati proses cukup panjang, menguras tenaga dan mengundang emosi. Namun tidak sedikit dari mereka karena dinilai banyak berkontribusi, urusan skripsi bisa dinegoisasi. Demikianlah Skrpsi bisa menjadi pekerjaan yang membebani, manakala tidak memiliki kedekatan emosi dan pandai bernegoisasi

Skripsi juga tidak jarang dijadikan sebagai alat kepentingan politik oleh sebagian dosen dan pejabat kampus untuk melakukan tekanan dan aksi balas dendam terhadap mahasiswa, khusnya kalangan aktifis kampus yang dinilai pro terhadap lawan politiknya. Kasus Andy merupakan salah satu bukti, sekaligus gambaran nyata, bagaimana bobroknya birokrasi kampus. Kalau saja Andy tidak memiliki kedekatan emosi, dan dipandang telah berkontribusi, bisa jadi nasibnya akan sama dengan mahasiswa lain. Terus terbebani dengan skripsi yang hanya dihargai sebagai pembungkus trasi.

Walhasil keberadaan skripsi sebagai karya ilmiah dikalangan mahasiswa pelan-pelan tidak lagi dipandang sebagai simbol intlektual seorang akademisi. Pengerjaannya pun seringkali dilakukan setengah hati. Penulisan skripsi lebih banyak dilakukan karena tuntutan profesi mengejar selembar ijazah dan gelar kesarjanaan. Dan pada ahirnya skripsi hanya akan menjadi karya yang tidak memiliki banyak arti.

Paling-paling dihargai sebagai refrensi oleh mahasiswa yang kerjaannya cuma bisa mengcopy, selebihnya hanya bisa berfungsi sebagai pembungkus trasi dan menjadi tumpukan sampah perpustakaan yang semakin menjejali. Wajar kemudian kalau keabsahan dan keilmiahan skripsi sebagai karya ilmiah seringkali dipertanyakan, karena memang selain kebanyakan skripsi yang ditulis mahasiswa merupakan hasil plagiatan, dari sisi pemahaman mengenai masalah penelitian memang masih tergolong memperihatinkan.

Banyak diantara mahasiswa harus mengalami kebingungan ketika akan melakukan proses penelitian di lapangan. Hasinya pun seringkali tidak memuaskan, karena dilakukan dengan asal-asalan, karena bisa jadi merupakan hasil plagiatan. Di sisi lain persentase kehadiran sebagian dosen-dosen selama memberikan arahan dan bimbingan kepada mahasiswa selama penulisan skripsi dan proses penelitian berlansung, terkesan masih kurang diperhatikan, dan hanya sekedar menggugurkan kewajiban.

Entah karena alasan kesibukan, kemalasan atau memang karena tidak paham masalah penelitian. Apalagi mereka yang memang sudah asik dengan nikmatnya jabatan, bimbingan skripsi kepada mahasiswa pun seringkali dilakukan sebagai pekerjaan sampingan. Meski tidak sedikit di antara dosen yang memang serius memberikan bimbingan. Berbicara soal penelitian sekarang ini memang seakan menjadi sesuatu hal yang kurang menarik diperbicangkan. Dilingkungan kampus misalnya sebagian dosen malah lebih banyak di sibukkan mengkotak-kotakkan diri dalam berbagai suku, kelompok dan golongan, yang dianggap dapat memperlancar kepentingan.

Disisi lain hampir dalam setiap kesempatan, tema pembicaraan senantiasa lebih banyak menyangkut persoalan seputar bagaimana menambah penghasilan dan tunjangan, entah melalui jabatan sampai mencari usaha sampingan, ketimbang menyibukkan diri mengembangkan keilmuan, dengan memperbanyak kegiatan penelitian. Kalau dosen saja tidak banyak tertarik dengan masalah penelitian, bagaimana mahasiswa tidak ikut-ikutan, kalau tidak karena tuntutan kepangkatan/jabatan mungkin dosen paling malas melakukan penelitian. Tidak salah kalau penulis buku “Laskar Pelangi” Andrea Hirata mengatakan, kalau orang yang paling pemalas di dunia ini adalah dosen.

Sekarang ini jumlah dosen, doktor dan profesor di Perguruan Tinggi (PT) semakin banyak berjejalan, namun seringkali tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas lulusan, apalagi aktifitas penelitian. Ini terbukti dari semakin membanjirnya sarjana penganguran, bahkan yang paling memalukan malah tidak laku di pasaran. Keberadaan doktor dan profesor yang semaki berjubelan di kebanyakan PT memang patut dipertanyakan. Apa karena dorongan jabatan?, menambah tunjangan, atau memang murni karena keilmuan.

Lantas masih pantaskah karya ilmiah skripsi dibanggakan, sebagai simbol keilmuan seorang akademisi kalau penelitian yang dilakukan mahasiswa hasilnya masih serampangan, kalau bimbingan yang diberikan oleh sebagian orang yang sepantasnya dijadikan panutan masih dilakukan sambilan di tengah kesibukan mengurus jabatan, kalau skripsi yang ditulis merupakan hasil plagiatan. Atau memang skripsi hanya pantas di hargai sebatas pembungkus trasi dan tumpukan sampah perpustakaan yang semakin menyesaki. Apakah anda tidak menyetujui, silahkan komentari.

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis