Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Pileg dan Keterwakilan Perempuan

Undang-undang (UU) Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 2014 mengamanatkan kepada setiap Partai Politik (Parpol), bahwa untuk bisa lolos dan ikut serta sebagai peserta pada Pileg bulan april mendatang, setiap partai harus mampu memenuhi tiga puluh persen keterwakilan perempuan dari total keseluruhan Calon Legislatif (Caleg) daerah maupun pusat.

Peraturan tersebut setidaknya semakin membuka ruang besar bagi kaum perempuan untuk ikut serta mengambil peran dalam setiap agendan pembangunan dan pengambilan kebijakan di lingkungan pemerintahan, yang selama ini cendrung didominasi kaum laki-laki. Peraturan tersebut juga menegaskan bahwa antara perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan dan peluang sama untuk duduk sebagai legislatif, maupun eksekutif.

Semenjak diberlakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), UU tentang kewajiban Parpol sebagai peserta Pileg memenuhi 30 persen keterwakilan kaum perempuan di parlemen, banyak mendapatkan sorotan dan kritikan dari sejumlah DPR dan elit politik. Beberapa di antaranya malah meminta KPU meninjau ulang peraturan tersebut.

DPR beralasan, kewajiban memenuhi 30 persen keterwakilan kaum perempuan pada pileg dinilai terlalu berat untuk bisa dipenuhi, kalau mengacu pada pertimbangan aspek sosial-kultural sebagian besar masyarakat. Meski mendapat kritikan sejumlah DPR dan elit politik, KPU sama sekali tidak bergeming.

KPU tetap akan menerapkan syarat keterwakilan perempuan dalam pendaftaran calon anggota legislatif (Caleg). Anggota KPU Hadar Gumay, menyatakan, pihaknya akan tetap menerapkan syarat keterwakilan perempuan di setipa daerah pemilihan Caleg. Parpol yang tidak mampu memenuhi syarat tersebut, tidak bisa ikut berkompetisi di daerah pemilihan tersebut. (http://m.voaindonesia.com)

Keterwakilan perempuan selama ini memang masih sangat sedikit. Padahal sangat penting, sebagai representasi dari jutaan masyarakat kaum perempuan di Indonesia, yang selama ini kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif dan tidak adil. Melalui keterwakilan 30 persen di parlemen setidaknya hak-hak dasar perempuan bisa lebih mudah diperjuangkan.

Kualitas Dipertanyakan

Meski dinilai banyak kalangan sebagai terobosan mencerahkan, UU Pemilu yang mewajibkan Parpol sebagai peserta Pemilu, memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan. Dalam realisasinya, mendapatkan Caleg perempuan berkualitas tidak mudah dilakukan, apalagi yang berlatar belakang aktivis, LSM dan NGO. Kalapun ada, persentasenya masih sangat sedikit.

Sebagian besarnya ibu rumah tangga atau perempuan dari istri pejabat atau kalangan akademisi, yang secara pemahaman kapasitas keoganisasian, tugas dan fungsi pokok sebagai sebagai anggota wakil rakyat di parlemen masih jauh dari harapan. Kalau sudah demikian realitanya, lantas apa bedanya mengajak masyarakat membeli kucing dalam karung.

Jabatan sebagai anggota DPR tidak lebih sebatas stempel pelengkap, memenuhi kuota dan tuntutan UU Pemilu, meramaikan sidang, ajang memamerkan diri menaikkan status sosial dan sarang korupsi. Masih minimnya Caleg perempuan yang di pandang cakep dan berkualitas, menjadikan setipa Parpol asal main rekrut, tidak peduli Caleg bersangkutan berkualitas atau tidak.

Memenuhi tuntutan 30 persen keterwakilan perempuan, sebagai syarat menjadi peserta Pemilu sebagaimana amanat UU Pemilu, Caleg bersangkuta sedikit memiliki pengaruh di tengah masyarakat, guna mendulang pemenangan suara parpol, nampaknya lebih dikedepankan dan menjadi harga mati, ketimbang yang lain.

Tingkat kepercayaan publik terhadap citra buruk Parpol, DPR dan banyaknya elit dan kader Parpol yang tersangkut kasus korupsi, lebih mengutamakan kepentingkan partai, ketimbang kepentingan masyarakat bisa jadi akan menjadi bencana bagi Parpol bisa menaikkan elektabilitas pada Pileg maupun pemilu Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) 2014 mendatang.

Terlebih dengan mulai bermunculannya sejumlah tokoh besar alternatif non partai, yang dinginkan masyarakat, bukan karena citra, melainkan karena prestasi kerja, keberanian melakukan gebrakan, kecakapan dan ketegasan stiap tindakan dan kebijakan dilakukan. Prekrutan kader parpol dan Caleg berkualitas secara bersih, transparan, serta jauh praktik politik transaksional setidaknya bisa sedikit mengembalikan kepercayaan publik.

Mafia Lembaga Pendidikan

www.turmuzitur.blogspot.com
Sebagai salah satu badan layanan publik tempat berlansung Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), institusu atau lembaga pendidikan, banyak mendapat sorotan dari masyarakat. Besarnya sorotan tersebut bukan tanpa alasan, bukan saja terkait soal keberadaan lembaga pendidikan sebagai lembaga yang membidangi dan menangani kepentingan publik semata.

Sorotan tersebut juga muncul, karena lembaga pendidikan sering tampil sebagai Institusi yang sering dipuji, mendapat apresiasi karena prestasi dan dipandang banyak berkontribusi turut serta menciptakan perubahan dan kemajuan dalam pembangunan. 

Sementara dilain sisi, dibalik banjir pujian dan sanjungan. Lembaga pendidikan juga tidak sedikit mendapat kritikan dan hujatan, dari kalangan aktivis, pengamat, praktisi pendidikan hingga masyarakat biasa. Kritikan dan hujatan dari masyarakat, yang dialamatkan kepada lembaga pendidikan selama ini, juga bukan tanpa alasan. 

Tidak puasa hanya melalui kritikan, sebagian masyarakat malahan nekat turun lansung ke jalan melakukan aksi protes menuntut sekolah bisa berlaku adil dan transparan, soala biaya pendidikan, praktik kecurangan dan kasus pungutan liar (Pungli) dilakukan sejumlah sekolah kepada siswa, dengan dalih dan alasan tidak dibenarkan.

Meski sering menjadi sorotan dan bahan pemberitaan media, kasus Pungli di sejumlah sekolah masih saja ada ditemukan. Selai kasus Pungli, sorotan tajam masyarakat dialamatkan kepada lembaga pendidikan, terkait masih terjadinya kesenjangan dan sikap diskriminasi dalam hal kesempatan menikmati pendidikan, antara siswa dari kalangan masyarakat kurang mampu (miskin) dengan siswa dari masyarakat ber’uang.

Kasus semacam ini biasa banyak berlansung di sejumlah sekolah pusat pemerintahan Kota maupun Kabupaten, yang dipandang sebagai sekolah vavorit. Setiap tahun ajaran baru, sekolah-sekolah ini menjadi serbuan sebagian besar siswa dari berbagai Kota, Kecamatan sampai pelosok desa, berlomba mendaftar, berharap diterima sebagai calon siswa baru.

Persentase siswa yang mendaftar dengan daya tampung sekolah yang tidak sebanding dengan tingkat persaingan ketat, jelas memaksa setiap calon siswa barus harus bersaing secara ketat memperebutkan kursi yang tersedia. Konsekuensinya jelas tidak semua siswa pendaftar bisa diterima, dan mau tidak mau sebagian dari siswa harus tersingkir dan siap gigit jari, melepaskan keinginan menempuh pendidikan di sekolah diinginkan.

Praktik Mafia.

Ditengah hiruk pikuk, gegap gempita dan animo masyarakat demikian besar berharap anaknya bisa diterima pada sekolah vavorit didambakan, tidak jarang banyak dimanfaatkan sejumlah oknum di sekolah bersangkutan mencari keuntungan, menjalankan praktik kecurangan dengan sejumlah orang tua siswa dari kalangan pejabat dan maupun yang dipandang ber-uang. 

Praktik main belakang, melalui penawaran sejumlah uang dari orang tua calon siswa baru, yang menginginkan anak mereka diluluskan kerap menjadi modus pejabat sekolah di sejumlah sekolah melakukan praktik kecurangan. Praktik titip menitip pun bukan lagi rahasia umum, melainkan sudah biasa dilakukan.

Kalau sudah begitu, harapan dan pluang menikmati pendidikan berkualitas secara merata dan berkeadilan dari sekolah yang divavoritkan bagi anak kurang mampu jelas akan sulit terealisasikan. Setiap memasuki tahun ajaran baru, sudah pasti sekolah tersebut tetap akan lebih banyak didominasi dan dimenangkan oleh mereka (siswa) yang orang tuanya dari kalangan pejabat dan memiliki uang.

Tidak terkecuali dalam kasus Bina Lingkungan (BL) di sejumlah sekolah di Kota Mataram, dalam beberapa tahun terahir. Program yang dicanangkan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kota Mataram, untuk memberikan kesempatan kepada calon siswa baru, yang tidak lulus sleksi pada penerimaan siswa baru jalur umum. Praktik kecurangan masih saja ditemukan.

Kalau mau ditelisik lebih jauh, praktik kecurangan dan Pungli di lembaga pendidikan ternyata tidak saja biasa berlansung di lembaga pendidikan setingkat SD, SMP, SMA maupu sekolah sederajat, melainkan juga banyak berlansung di sejumlah lembaga pendidikan Peguruan Tinggi (PT), negeri dan swaesta. Termasuk di beberapa PT ternama di NTB.

Titip menitip oleh orang tua, staf dan pejabat yang memiliki kedekatan dan akses masuk kedalam lingkungan PT sewaktu Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) maupun Sleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) jalur umum dan khusus, kerap menjadi pemandangan demikian memuakkan. Sementara mereka (calon mahasiswa baru) yang tidak memiliki hubungan kedekatan (kekeluargaan) harus menjadi korban, meski secara kualitas intlektual lebih unggul.

Masih teringat bagaimana dosen pembimbing skripsi saya, yang kebetulan pada waktu itu juga menjadi ketua panitian SPMB, harus dicibirin beberapa teman dosen, pejabat dan staf, karena tidak mau menerima titipan calaon mahasiswa baru untuk diluluskan. Sebab dia tidak sampai hati harus menggugurkan calon peserta SPMB, yang dari sisi hasil nilai tes memang layak diluluskan, ketimbang menerima titipan.

Meski harus dibelakangi dan tidak disenangi sebagian teman, dosen tersebut tidak ambil pusing. Baginya kerja transparan, profesional serta menjunjung tinggi prinsip kejujuran sebagai pribadi berpendidikan, lebih penting ketimbang menjaga hubungan pertemanan, tetapi mencidrai rasa keadilan, keteladanan dan keluhuran lembaga pendidikan.

Kisah di atas hanyalah satu dari sekian banyak kasus, bagaimana lembaga pendidikan, khususnya beberapa PT di NTB yang seharusnya menjadi corong dan dijadikan sebagai lembaga pencetak dan tempat berkumpulnya manusia pilihan, dan dijadikan sebagai teladan, belakangan justru santer menjadi sorotan, karena sebagian pelaku pendidikan didalamnya banyak terbelit persoalan. Mulai dari kasus korupsi, Pungli, praktik kecurangan, kekerasan hingga kasus asusila.

Merealisasikan kebijakan pendidikan secara berkeadilan, tidak cukup dilakukan sebatas pembenahan pada sistem pendidikan, kurikulum, pengalokasian anggaran dalam jumlah besar dan pemberian subsidi kepada siswa kurang mampu melalui dana Bantuan Oprasional Sekolah (BOS). Tidak pula melalui pembangunan sarana dan prasarana bangunan fisik.

Sebab bangunan fisik hanyalah bagian unsur terkecil memajukan lembaga pendidikan. Standar playanan yang transparan, profesional serta jauh dari praktik kecurangan, justru bisa menjadi kekuatan besar guna memperbaiki dan memajukan lembaga pendidikan, melalui pemberian kesempatan yang sama mengenyam pendidikan kepada setiap masyarakat, tanpa harus membedakan dan bertindak diskriminatif.

Ayo Menulis