Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Mafia Lembaga Pendidikan

www.turmuzitur.blogspot.com
Sebagai salah satu badan layanan publik tempat berlansung Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), institusu atau lembaga pendidikan, banyak mendapat sorotan dari masyarakat. Besarnya sorotan tersebut bukan tanpa alasan, bukan saja terkait soal keberadaan lembaga pendidikan sebagai lembaga yang membidangi dan menangani kepentingan publik semata.

Sorotan tersebut juga muncul, karena lembaga pendidikan sering tampil sebagai Institusi yang sering dipuji, mendapat apresiasi karena prestasi dan dipandang banyak berkontribusi turut serta menciptakan perubahan dan kemajuan dalam pembangunan. 

Sementara dilain sisi, dibalik banjir pujian dan sanjungan. Lembaga pendidikan juga tidak sedikit mendapat kritikan dan hujatan, dari kalangan aktivis, pengamat, praktisi pendidikan hingga masyarakat biasa. Kritikan dan hujatan dari masyarakat, yang dialamatkan kepada lembaga pendidikan selama ini, juga bukan tanpa alasan. 

Tidak puasa hanya melalui kritikan, sebagian masyarakat malahan nekat turun lansung ke jalan melakukan aksi protes menuntut sekolah bisa berlaku adil dan transparan, soala biaya pendidikan, praktik kecurangan dan kasus pungutan liar (Pungli) dilakukan sejumlah sekolah kepada siswa, dengan dalih dan alasan tidak dibenarkan.

Meski sering menjadi sorotan dan bahan pemberitaan media, kasus Pungli di sejumlah sekolah masih saja ada ditemukan. Selai kasus Pungli, sorotan tajam masyarakat dialamatkan kepada lembaga pendidikan, terkait masih terjadinya kesenjangan dan sikap diskriminasi dalam hal kesempatan menikmati pendidikan, antara siswa dari kalangan masyarakat kurang mampu (miskin) dengan siswa dari masyarakat ber’uang.

Kasus semacam ini biasa banyak berlansung di sejumlah sekolah pusat pemerintahan Kota maupun Kabupaten, yang dipandang sebagai sekolah vavorit. Setiap tahun ajaran baru, sekolah-sekolah ini menjadi serbuan sebagian besar siswa dari berbagai Kota, Kecamatan sampai pelosok desa, berlomba mendaftar, berharap diterima sebagai calon siswa baru.

Persentase siswa yang mendaftar dengan daya tampung sekolah yang tidak sebanding dengan tingkat persaingan ketat, jelas memaksa setiap calon siswa barus harus bersaing secara ketat memperebutkan kursi yang tersedia. Konsekuensinya jelas tidak semua siswa pendaftar bisa diterima, dan mau tidak mau sebagian dari siswa harus tersingkir dan siap gigit jari, melepaskan keinginan menempuh pendidikan di sekolah diinginkan.

Praktik Mafia.

Ditengah hiruk pikuk, gegap gempita dan animo masyarakat demikian besar berharap anaknya bisa diterima pada sekolah vavorit didambakan, tidak jarang banyak dimanfaatkan sejumlah oknum di sekolah bersangkutan mencari keuntungan, menjalankan praktik kecurangan dengan sejumlah orang tua siswa dari kalangan pejabat dan maupun yang dipandang ber-uang. 

Praktik main belakang, melalui penawaran sejumlah uang dari orang tua calon siswa baru, yang menginginkan anak mereka diluluskan kerap menjadi modus pejabat sekolah di sejumlah sekolah melakukan praktik kecurangan. Praktik titip menitip pun bukan lagi rahasia umum, melainkan sudah biasa dilakukan.

Kalau sudah begitu, harapan dan pluang menikmati pendidikan berkualitas secara merata dan berkeadilan dari sekolah yang divavoritkan bagi anak kurang mampu jelas akan sulit terealisasikan. Setiap memasuki tahun ajaran baru, sudah pasti sekolah tersebut tetap akan lebih banyak didominasi dan dimenangkan oleh mereka (siswa) yang orang tuanya dari kalangan pejabat dan memiliki uang.

Tidak terkecuali dalam kasus Bina Lingkungan (BL) di sejumlah sekolah di Kota Mataram, dalam beberapa tahun terahir. Program yang dicanangkan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kota Mataram, untuk memberikan kesempatan kepada calon siswa baru, yang tidak lulus sleksi pada penerimaan siswa baru jalur umum. Praktik kecurangan masih saja ditemukan.

Kalau mau ditelisik lebih jauh, praktik kecurangan dan Pungli di lembaga pendidikan ternyata tidak saja biasa berlansung di lembaga pendidikan setingkat SD, SMP, SMA maupu sekolah sederajat, melainkan juga banyak berlansung di sejumlah lembaga pendidikan Peguruan Tinggi (PT), negeri dan swaesta. Termasuk di beberapa PT ternama di NTB.

Titip menitip oleh orang tua, staf dan pejabat yang memiliki kedekatan dan akses masuk kedalam lingkungan PT sewaktu Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) maupun Sleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) jalur umum dan khusus, kerap menjadi pemandangan demikian memuakkan. Sementara mereka (calon mahasiswa baru) yang tidak memiliki hubungan kedekatan (kekeluargaan) harus menjadi korban, meski secara kualitas intlektual lebih unggul.

Masih teringat bagaimana dosen pembimbing skripsi saya, yang kebetulan pada waktu itu juga menjadi ketua panitian SPMB, harus dicibirin beberapa teman dosen, pejabat dan staf, karena tidak mau menerima titipan calaon mahasiswa baru untuk diluluskan. Sebab dia tidak sampai hati harus menggugurkan calon peserta SPMB, yang dari sisi hasil nilai tes memang layak diluluskan, ketimbang menerima titipan.

Meski harus dibelakangi dan tidak disenangi sebagian teman, dosen tersebut tidak ambil pusing. Baginya kerja transparan, profesional serta menjunjung tinggi prinsip kejujuran sebagai pribadi berpendidikan, lebih penting ketimbang menjaga hubungan pertemanan, tetapi mencidrai rasa keadilan, keteladanan dan keluhuran lembaga pendidikan.

Kisah di atas hanyalah satu dari sekian banyak kasus, bagaimana lembaga pendidikan, khususnya beberapa PT di NTB yang seharusnya menjadi corong dan dijadikan sebagai lembaga pencetak dan tempat berkumpulnya manusia pilihan, dan dijadikan sebagai teladan, belakangan justru santer menjadi sorotan, karena sebagian pelaku pendidikan didalamnya banyak terbelit persoalan. Mulai dari kasus korupsi, Pungli, praktik kecurangan, kekerasan hingga kasus asusila.

Merealisasikan kebijakan pendidikan secara berkeadilan, tidak cukup dilakukan sebatas pembenahan pada sistem pendidikan, kurikulum, pengalokasian anggaran dalam jumlah besar dan pemberian subsidi kepada siswa kurang mampu melalui dana Bantuan Oprasional Sekolah (BOS). Tidak pula melalui pembangunan sarana dan prasarana bangunan fisik.

Sebab bangunan fisik hanyalah bagian unsur terkecil memajukan lembaga pendidikan. Standar playanan yang transparan, profesional serta jauh dari praktik kecurangan, justru bisa menjadi kekuatan besar guna memperbaiki dan memajukan lembaga pendidikan, melalui pemberian kesempatan yang sama mengenyam pendidikan kepada setiap masyarakat, tanpa harus membedakan dan bertindak diskriminatif.

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis