Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Ramadhan Bukan Bulan Bermalasan

http://www.turmuzitur.blogspot.com/
Ayomenulis. Dalam ajaran islam, Bulan ramdhan merupakan salah satu bulan di antara sekian bulan paling diagungkan dan dimuliakan, sebagai bulan pengampunan bagi setiap pribadi umat islam dari segala dosa yang pernah dilakukan. Karena itu pada bulan suci ramadhan umat islam diharapkan senantiasa mampu menahan diri dari segala sesuatu yang dapat mengurangi pahala puasa, baik dalam kaitannya dengan ucapan, perbuatan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari melakukan intraksi sosial di tengah masyarakat

Keistimewaan dan keutamaan lain dari bulan suci ramdhan adalah dimudahkannya segala doa dipanjatkan dikabulkan oleh Allah SWT. Untuk itu setiap umat Islam selama bulan suci ramadhan dianjurkan agar sesantiasa memperbanyak ibadah. Pengertian ibadah dalam hal ini tentu tidak sebatas mengandung makna fisik dan lisan, menjalankan ritual berupa menahan lapar, dahaga termasuk ucapan. Pemaknaan lain dari kata puasa yang berarti menahan diri tentu akan lebih terbukti secara nyata dalam bentuk tindakan, perbuatan, semangat dan etos kerja.

Dalam artian, dengan berpuasa semestinya tidak menjadikan semangat dan etos kerja setiap umas islam lantas menjadi kendor alias uring-uringan, terutama umat islam yang bekerja di sektor pelayanan publik instansi pemerintahan. Meski dalam keadaan berpuasa menahan lapar dan dahaga, menebar senyuman dengan kualitas layanan memuaskan selama memberikan pelayanan justru akan menjadi uji kelayakan, apakah puasa dijalankan mampu menempa setiap kita menjadi pribadi yang mampu menahan diri, serta keluar sebagai pemenang mengalahkan hawa nafsu dan perasaan.

Poin penting itulah yang menjadi salah satu tujuan besar di wajibkannya menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh di bulan suci ramdahan. Kalau di instansi pemerintahan, dikenal Kementrian Pemberdayaan Aparatur Negaran dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB), sebagai salah satu alat yang digunakan pemerintah melakukan pembinaan, kualitas sumberdaya manusia dan perbaikan kinerja PNS, melalui seperangkat aturan dan penegakan hukum buatan manusia.

Maka puasa ramadhan sebagai kewajiban yang menghubungkan lansung seorang hamba dengan Tuhan semestinya mampu menjadi medium melakukan reformasi menempa, membentuk dan menjadikan setiap pribadi Muslim sebagai pribadi yang satun, berkesesuaian antara ucapan, perbuatan dan tindakan, bukan karena unsur kepuraan atau sebatas menggugurkan kewajiban.

Sebab kalau motivasi melaksanakan ibadah puasa ramdhan masih diwarnai prilaku diluar yang sudah ditetapkan, sepantasnyalan puasa yang dilaksanakan perlu dipertanyakan, dan itu artinya masih ada hal yang tidak beres dan perlu diperbaiki dari orang yang berpuasa. Dalam salah satu haditsnya Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, betapa banyak di antara umatku yang melaksanakan shalat dan puasa, tetapi tidak ada yang mereka dapatkan, kecuali rasa lelah, lapar dan dahaga.

Memaknai Puasa

Setiap bulan suci ramdhan tiba. Selalu ada kebijakan khusus yang dikeluarkan pemerintah terkait jam kerja PNS, yang mengalami pengurangan, baik di instansi pemerintahan maupun lembaga pendidikan. Kebijakan ini diberlakukan bukan tanpa alasan, mengingat di bulan suci ramadhan umat islam harus berpuasa menahan diri dari hal yang membatalkan termasuk rasa lapar dan dahaga. Kalau dipaksakan bekerja sesuai kebiasaan, ditakutkan bisa berpengaruh terhadap kualitas kerja dan kesehatan.

Alasan lain dikuranginya jam kerja PNS bisa jadi untuk lebih memberikan kesempatan kepada setiap PNS, terutama PNS dari kalangan umat Muslim, bisa menjalankan ibadah puasa selama bulan suci ramadhan secara lebih khusuk. Dengan harapan setiap PNS dan aparatur pemerintahan lain bisa lebih konsentrasi bekerja menjalankan fungsi sebagaimana mestinya memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, tanpa harus bermalasan.

Meski pemerintah telah memberikan kompensasi khusus dengan mengurangi jam kerja selama bulan puasa, nyatanya kebijakan tersebut tidak terlalu memberikan dampak berarti mampu merubah prilaku malas sebagian besar PNS di lingkungan pemerintahan menjadi lebih disiplin. Hari pertama puasa ramadhan mulai dilaksanakan, sejumlah instansi pemerintahan ramai menjadi sorotan dan bahan pemberitaan sejumlah media.

Tentang prilaku malas dan kedisiplinan PNS masuk kerja selama bulan puasa, khususnya di hari pertama ibadah puasa dilaksanakan. Setiap tahun persoalan yang sama selalu terulang, dan tidak banyak mengalami perbaikan. Tidak tau apakah ini dilakukan sebagai bentuk upaya menjaga kehusukan puasa dijalankan, atau memang karena faktor kemalasan semata. Teguran hingga ancaman sangsi berat dari pimpinan tidak pernah dihiraukan dan tinggal sekedar ancaman.

Sebagai bulan dimuliakan, penuh ampuanan dan mengandung banyak keistimewaan, menjalankan ibadah puasa selama bulan suci ramadhan memang tidak cukup sekedar menjalankan kewajiban berupa menahan diri dari rasa lapar dan dahaga. Untuk mampu mendapatkan keistimewaan dan kemuliaan tersebut juga dibutuhkan ketenangan, rasa nyaman termasuk kehusuan. Itulah mungkin menjadi alasan mengapa setiap bulan puasa tiba, pemerintah selalu memberlakukan kebijakan pengurangan jam kerja bagi para PNS.

Tapi bukan berarti, hal tersebut harus dijadikan sebagai alasan pembenaran bagi stiap PNS bermalasan menunaikan kewajiban. Kedisiplinan etos kerja, kesesuaian antara ucapan dan tindakan/perbutan justru akan memiliki nilai ibadah lebih mulia di hadapan Tuhan di bandingkan berpuasa sekedar menahan diri dari rasa lapar dan dahaga. itulah esensi dari ramadhan

Ibadah dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat juga bisa dimplemntasikan dengan mengedepankan kepekaan sosial, sifat empati, toleransi, saling menghargai tanpa membeda-bedakan serta kesiapan kerelaan hati untuk mau saling memberi dan berbagi dengan sesama yang membutukan pertolongan, lebih-lebih bagi mereka yang sedang mengalami kesusahan. Ituah sesungghnya makna paling substansi dibalik kewajiban menjalankan ibadah puasa.

Caleg Antara Profesi dan Tuntutan Mengabdi

http://turmuzitur.blogspot.com/
Tahun 2013 dan 2014 merupakan tahun politik, dimana hampir semua Daerah di seluruh Indonesia melangsungkan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Gubernur, Bupati dan walikota secara lansung oleh masyarakat. Sebagian diantaranya telah selesai melangsungkan pesta demokrasi Pemilukada dan telah menetapkan calon terpilih sebagai kepala daerah yang baru.

Sementara 2014 akan menjadi tahun politik tidak kalah penting. Selain akan dilansungkan agenda besar pesta demokrasi pemilihan umum (Pemilu) Preside oleh seluruh masyarakat Indonesia. Juga akan dilangsungkan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg), sebagai salah satu agenda besar yang tidak kalah menarik, seru dan menegangkan.

Penuh dengan persaingan melibatkan pertaruhan gengsi memperebutkan kursi jabatan kehormatan, yang selama ini menjadi dambaan, impian dan incaran banyak kalangan, mulai dari kalangan masyarakat berpendidikan, tokoh rohaniawan hingga masyarakat pinggiran pelosok kampungan.

Jaminan kesejahteraan dan kenyamanan hidup, jauh dari ancaman kemelaratan, kemiskinan finansial dengan segudang embel-embel tunjangan demikian menjanjikan, menjadikan setiap mereka (Caleg) siap jungkir balik, main sikut-sikutan sampai berani berdarah-darahan mendapatkan kursi jabatan menjadi anggota Dewan.

Sejumlah Caleg malahan rela mengeluarkan uang puluhan hingga ratusan juta pada partai yang digunakan sebagai kendaraan, sebagai bayaran mendapatkan nomor urut keberuntungan. Tidak berlebihan, hampir setiap lima tahun sekali menjelang Pileg dilangsungkan. Animo, semangat, keinginan dan hasrat sebagian masyarakat demikian besar tampil mencalonkan diri mengadu nasib dan peruntungan menjadi anggota Dewan, dengan mendaftar sebagai Caleg.

Tidak terkecuali pada Pileg 2014 mendatang demikian besar. Untuk NTB saja, dengan jumlah partai politik yang ada sebagai peserta Pemilu, persentase Caleg dipastikan mencapai ribuan kursi yang terbagi dalam Caleg di tingkatan Provinsi Kabupaten dan Kota. Belum lagi Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Kalau dikalkulasikan dengan keseluruhan Caleg yang tersebar di daerah lain termasuk Caleg pemerintah pusat, bisa dipastikan persentase keseluruhan Caleg di Indonesia mencapai puluhan hingga ratusan ribu. Sementara jumlah kursi yang diperebutkan tidak berbanding lurus dengan jumlah Caleg yang mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU). penulis terkadang membayangkan kalau momen Pileg tidak ubahnya seperti lapangan PNS, yang didalamnya dipenuhi dengan wajah harap penuh cemas bisa diterima.

Caleg Dijadikan Profesi

Kalau tempo hari persentase Caleg masih bisa dihitung dengan jari, dan mereka yang mencalonkan diri juga sebagian berasal dari kalangan dan dengan latar belakang tertentu. Belakangan terutama semenjak era reformasi. Trend sebagian masyarakat memilih ikut terjun ke dunia politik kelihatan mulai mengalami pergeseran. Pilihan berpolitik, terutama maju mencalonkan diri sebagai Caleg tidak lagi dijadikan pilihan atas dasar tuntutan hati nurani untu mengabdi, melainkan telah bergeser menjadi profesi dan memperkaya diri.

Saat ini hampir di setiap daerah Provinsi, Kabupaten Kota, Kecamatan dan pelosok perkampungan sekalipun, tidak ada satupun yang kosong dari Caleg. Menariknya, dalam satu Desa saja, orang yang maju mencalonkan diri sebagai Caleg jumlahnya bisa mencapai belasan orang, baik yang satu partai maupun dengan partai berbeda, dengan latar belakang beragam.

Tidak perduli apakah Caleg bersangkutan dirinya sudah memenuhi unsur kelayakan dan kepatutan secara intlektual maupun pengalaman. Prinsipnya asal memiliki kedekatan, bisa main kucing-kucingan dan memiliki banyak uang, soal kapasitas dan kualitas tidak menjadi persoalan. Tipikal Caleg semacan ini, saat menduduki kursi jabatan sebagai anggota Dewan, melakukan rapat pembahasan anggaran dan pebuatan sejumlah aturan, biasanya hanya bisa mengiyakan.

Tidak adanya pemahaman dan pengalaman, secara keilmuan maupun keorganisasian menjadikan mereka (Dewan) tidak mau tau apakah pembahasan anggaran dan aturan dibuat sudah memenuhi keterwakilan kepentingan masyarakat atau tidak. Mereka taunya memiliki jabatan sebagai anggota Dewan, menerima gaji setipa bulan dengan segala tunjangan dan fasilitas yang didapatkan. Sementara tugas utama yang diamanatkan masyarakat diabaikan.

Hanya sedikit Caleg yang memang benar-benar lahir dibentuk melalui proses panjang, memiliki komitmen kuat terjun mencalonkan diri murni dilakukan untuk mengabdi dan memperjuangkan kepentingan masyarakat, melalui pengalaman didapatkan dilapangan melakukan advokasi dan pemberdayaan sebagai aktivis sosial kemasyarakatan melalui Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) dan NGO.

Merubah pola pikir serta persepsi sebagian masyarakat, tentang pilihan politik mencalonkan diri sebagai Caleg, sebagai panggilan nurani untuk mengabdi, bukan sebagai profesi mencari pekerjaan dan jabatan semata, rasanya cukup sulit, sebab sudah demikian mengakar kuat. Terbuka lebarnya peluang berlangsungnya praktik transaksional didalam tubuh Patrai Politik (Parpol), juga turut serta telah melahirkan kader yang cendrung bermentalkan hedonis dan pragmatis, dan melakukan segala sesuatu berdasarkan pertimbangan untung rugi.

Pola rekrutman dan sleksi secara ketat kader partai, termasuk Caleg pada Pileg 2014 mendatang menjadi salah satu strategi penting mendapatkan Caleg berkualitas dan bisa diandalkan melakukan kerja-kerja untuk rakyat, mengawal setiap kebijakan pembangunan, memperjuangkan anggaran yang bisa mengakomodir dan merepresentasikan kepentingan masyarakat.

Terlebih Caleg yang memang lahir/dibesarkan dari kalangan aktivis sosial kemasyarakatan, dengngan berbekal pengalaman malang melintang melakukan kegitan advokasi pemberdayaan bidang sosial dan anggaran. Dalam menjalankan tugas dan fungsi jabatab sebagai anggota Dewan disandang, tentu tidak banyak mengalami kesulitan.

Berburu Buah Straberry Desa Sembalun

http://www.turmuzitur.blogspot.com/
Ayomenulis. Selain dikenal sebagai Desa yang kaya akan hasil pertanian berupa sayuran dan keindahan panoroma wisata alam pegunungan yang mempesona, Sembalun juga dikenal dengan buah straberrrynya yang terasa enak dan manis. Berlibur dan berwisata alam pegunungan ke Sembalu, di sepanjang kiri kanan jalan setelah menuruni jalan tanjakan dari puncak bukit pusuk, deretan warung berukuran kecil berjejer, siap menyuguhkan buah straberry yang masih segar kemerahan dalam ukuran besar dan kecil.

Buah straberry yang disuguhkan umumnya juga masih segar, sebab baru dipetik ketika menjelang sore hari, saat para pengguna jalan dari desa Sembalun maupu masyarakat luar yang memang sengaja datang untuk berlibur. Pada hari-hari libur, khususnya hari minggu, Sembalun biasanya ramai dikunjungi muda mudi maupun masyarakat lain yang datang berlibur. Suasana seperti ini, sedikit tidak cukup menguntungkan masyarakat penjual buah straberry, panen pembeli dan mendapatkan keuntungan dari hasil penjulan.

Kalau anda merasa kurang puas menikmati buah straberry yang sudah dibungkus, dan ingin lansung memetik sendiri di areal persawahan sepanjang jalan sekitar warung, pemilik buah straberry juga tidak berkeberatan memberikan izin kepada setiap pembeli untuk memetik sendiri buah straberry secara lansung ke tengah areal persawahan asalkan dilakukan dengan hati-hati dan tidak sampai merusak pohon straberry.
http://www.turmuzitur.blogspot.com/


Menjadikan Desa Sembalun Kabupaten Lombok Timur NTB, sebagai tempat rekreasi dan menghabiskan liburan bersama teman, pacar maupun keluarga saya rasa bukan sebuah kerugian, melainkan sebagai keberuntungan dan kenangan tidak terlupakan. Suasana yang masih sangat alami, dengan keindahan panoroma alam yang masih sangat alami dengan sikap masyarakat yang sangat ramah, membuat anda tidak akan bosan menjadikan Sembalun sebagai tempat menghabiskan masa liburan.

Desa Sembalun, Mutiara yang Terabaika

http://www.turmuzitur.blogspot.com/
Bagi masyarakat Pulau Lombok, khususnya masyarakat Kabupaten Lombok Timur, keberadaan Desa Sembalun sebagai desa penghasil sayur-sayuran, bawang merah, putih dan tomat, tentu sudah tidak asing lagi. Sebab sebagian besar masyarakat desa Sembalun merupakan petani. Tidak heran beberapa pasar penyedia sayur-sayuran dan kebutuhan rumah tangga lain termasuk tomat dan cabai sebagiannya didatangkan dari Sembalun.

Selain kaya akan hasil pertanian, desa Sembalun juga dikenal akan panoroma wisata pegunungannya yang sangat eksotis dan demikian menawan untuk dipandang, dan sangat cocok dijadikan sebagai tempat rekreasi, menenangkan pikiran dari berbagai aktivitas pekerjaan yang selama satu minggu begitu menjejali

Memasuki pintu utama hutan Sembalun, hawa dingin akan mulai terasa menusuk dan menghinggapi badan, meski memakai jaket sekalipun. sepanjang jalan kiri dan kanan jalan dikelilingi deretan pepohonan besar dan semak belukar, membuat suasana sekitar sepanjang jalan, menjadikan suasana hutan terasa lebih sejuk dan indah, meski sedikit gelap akibat sinar matahari yang masuk tidak merata, karena terhalang rimbunnya pepohonan dan semak belukar.

Jalan menanjak sepanjang jalan melewati hutan, menjadi tantangan tersendiri untuk ditaklukan setiap masyarakat yang memilih rekreasi ke Sembalun, menghabiskan hari libur bersama teman maupun keluarga. Sembalun memang selain dikenal akan hasil pertanian, juga keindahan wisata alam pegunungan yang demikian mempesona.

Sebagai salah satu desa yang memiliki keistimewaan tersendiri, Sembalun semestinya bisa mendapatkan perhatian secara khusus dari pemerintah, mengelola potensi yang ada secara maksimal, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terutama dari sisi pembangunan infrastruktur jalan, yang saat ini kondisinya masih cukup memprihatinkan.

Bagi anda yang belum pernah datang ke sana, alangkah baiknya mencoba, agar anda tidak mati penasaran, apalagi sampai bergentayangan

Pelayanan Publik Masih Butuh Perbaikan

http://www.turmuzitur.blogspot.com/
Ayomenulis. Minggu pagi (30/06) lalu saya sempat menyaksikan secara lansung dialog lelang jabatan kepala lingkungan dan Camat yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) di salah satu stasiun TV swasta MetroTV. Hadir dalam kesempatan tersebut pengamat dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta dan Lola Lovita sebagai Camat terpilih Pasar Senin Jakarta Pusat yang dinyatakan lolos mengikuti sleksi lelang jabatan Camat. Lola Lovita sebelumnya merupakan kepala Puskesmas Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat.

Menariknya sleksi kepala lingkungan dan Camata, melalui lelang jabatan tersebut benar-benar dilakukan secara terbuka dan transparan, sehingga masyarakat selain bisa mengetahui, melihat dan menilai kualitas calon, seleksi jabatan melalui lelang tersebut sedikit tidak mampu menghilangkan kesan buruk yang selama ini terbangun di tengah masyarakat.

Tentang penempatan pejabat Satuan Kerja Prangkat Daerah (SKPD) dan jabatan pelayanan publik lain yang dilakukan setiapa kepala daerah, dari setingkat Gubernur, Bupati dan Walikota, cendrung bermuatan politis, berdasrkan unsur kekeluargaan, kedekatan dan politik balas jasa, ketimbang mengedepankan prinsip transparansi dan profesionalisme.

Tidak sedikit sejumlah jabatan penting dilingkungan pemerintahan pusat maupun daerah dijabat oleh orang-orang yang secara kualitas sebenarnya masih jauh dari kata kepatutan dan kelayakan, baik dari sisi intlektual maupun kemampuan manajerial menjalankan roda organisasi pemerintahan maupun kemampuan merealisasikan sejumlah program unggulan yang dicanangkan pimpinan kepala daerah. Terlebih dari sisi pengalaman, masih cukup memperihatinkan.

Ini tentu menjadi persoalan. Kalau kapasitas dan kualitas sebagian besar pejabat dan SKPD tidak sesuai harapan. Bagaiman mungkin sejumlah program yang sudah dicanangkan mampu terealisasikan dengan baik. Selain kebijakan dan program yang kerap berubah-ubah disetiap pergantian kepala daerah berlansung, tidak sedikit di antara kepala SKPD lahir secara instan, karena unsur kedekatan, tanpa melalui proses dan pengalaman matang.

Butuh Keseriusan

Persoalan lain yang kerap menjadi penyakit, suli bisa dihilangkan, menjangkiti dan menggerogoti mental hampir sebagaian besar pejabat instansi pemerintahan, dari pucuk pimpinan sekelas kepala SKPD sampai prangkat di bawahnya, terkait kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, yang masih saja tetap berbelit-belit, birokratis, protokoler dan kerap diwarnai praktik pungutan liar (Pungli) oleh oknum tertentu. Beberapa Instansi paling sering jadi sorotan di antaranya rumah sakit, perzinan dan lembaga pendidikan.

Semboyan pelayanan “kalau masih bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah” dinstansi layanan publik milik pemerintah tidak pernah mampu dihilangkan dan sudah demikian melekat erat sebagai stempel bagi masyarakat, bahwa dimanapun ditemukan instansi, badan dan layanan jasa yang prosesnya panjang dan berbelit-belit sudah pasti milik pemerintah.

Berbeda misalkan dengan lembaga maupun badan dan jasa milik swasta, sebut saja jasa layanan kesehatan rumah sakit maupun lembaga penyedia jasa layanan lain, selain proses lebih cepat, dari sisi kualitas layanan juga sangat memuaskan. Berkunjung ke sejumlah lembaga layanan jasa milik swasta sebutlah rumah sakit, mulai dari pintu utama sampai didalam ruangan, susana termasuk sambutan hangat penuh senyuman, mulai dari petugas kemanan sampai petugas kesehatan terasa, sangat memberikan kenyamanan.

Dengan kebersihan lingkungan, jauh dari kotoran dan kekumuhan. Didinding bagian dalam juga terpampang papan bertuliskan ucapan selamat datang termasuk kalimat “kepuasan anda adalah kebahagian kami”. Inilah salah satu yang membedakan sekaligus menjadi jualan lembaga layanan jasa swasta mendapatkan tempat istimewa dihati masyarakat dan sulit berpaling ke lembaga layanan jasa lain, termasuk instansi layanan publik milik pemerintah. Sudah mahal, kualitas layanan juga seringkali mengecewakan.

Keberadaan lembaga dan instansi layanan publik sampai saat ini memang demikian kencang menjadi sorotan, topik perbincangan, kritikan berbagai kalangan melalui media masa maupun forum-forum diskusi. Selain menyangkut soal kualitas layanan. Juga menyangkut keberadaan Instansi layanan publik milik pemerintah yang kerap menjadi sarang korupsi, melalui penggunaan anggaran yang tidak transparan dan tepat sasaran.

Meski wacana reformasi birokrasi telah lama digaungkan dengan membentuk Kementrian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB), nyatanya tidak mampu menciptakan perubahan terlalu berarti bagi perbaikan kualitas layanan, tata klola dan sumber daya manusia roda organisasi birokrasi, dan hanya sekedar menjadi Kementrian stempel pelengkap membuat aturan sekedar aturan, yang kerjanya sosialisasi dan sosialisasi, sementara realisasinya masih baru sebatas di atas kertas.

Butuh keseriusan memperbaiki dan membenahi kualitas Pelayanan kerja mesin birokrasi. Selain perbaikan SDM, aturan dan sangsi tegas, pemerintah daerah semestinya juga harus berani mengambil kebijakan sedikit ekstrim, keluar dari logika politik sektarian, lebih mengedepankan sikap transparansi dan profesionalisme ketika hendak mengangkat dan menempatkan pejabat pemerintahan kepala SKPD, bukan atas prinsip politik balas jasa, unsur kedekatan dan kekeluargaan semata.

Langkah Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo memberlakukan kebijakan lelang jabatan, saya rasa bisa menjadi langkah, terobosan cukup bagus memperbaiki kualitas layanan dan kerja mesin birokrasi di instansi pemerintahan. Pemerintah Daerah (Pemda) NTB dengan kualitas pelayanan publik dan kerja birokrasi yang juga masih butuh banyak perbaikan, tidak ada salahnya menjadikan terobosan yang dilakukan Jokowi sebagai bahan rujukan memperbaiki birokrasi pemerintahan di NTB.

Meski kebijakan tersebut tidak sepenuhnya bisa menjadi tolak ukur melakukan perbaikan kinerja birokrasi pemerintahan. Paling tidak akan mampu memperlihatkan mana pejabat yang berkualitas dan memang serius bekerja untuk kepentingan masyarakat, dan mana pejabat yang selama ini hanya bekerja berdasarkan prinsip kerja Asal Bapak Senang (ABS), menjilat dan mencari muka.

Memelihara Kedermawanan Bulan Ramadhan

http://turmuzitur.blogspot.com/
Ayomenulis. Dimata umat Islam, dari sekian banyak bulan dalam Islam, bulan ramadhan merupakan bulan dipandang sangat mulia dan menempati posisi paling diistimewakan. Dipertemukan kembali dengan bulan ramadhan hampir menjadi dambaan dan impian setiap umat Islam, sebagai anugrah dan nikmat tuhan tiada tara nilainya.

Ramdhan dibandingkan hari besar dan bulan lain, sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an, dan hadits Nabi Muhammad SAW maupun keterangan ulama murupakan bulan paling terbaik dari sekian ribu bulan, dengan salah satu malam, sebagai malam paling mulia di antara seribu malam, yaitu malam lailatul qadar.

Kalau dalam agama budha untuk mendapatkan pengampunan tuhan dan penyucian dosa dilakukan di sungai gangga sebagai sungai yang disucikan, Maka ramadhan bagi umat islam merupakan bulan yang demikian disucikan dan diagungkan, sebagai bulan pengampunan dari dosa yang pernah dilakukan secara lisan maupun dalam bentuk tindakan selama telibat pergaulan, dalam hubungannya dengan tuhan maupun sesama manusia.

Keistimewaan dan kemuliaan ramadhan juga nampak tercermin dari keperibadian sebagian besar umat islam menjadi demikian dermawan, melahirkan perasaan senasib sepenanggungan, kasih sayang, sikap empati dan kepedulian sosial tinggi, berbagi dengan sesama. dari sekelas preman, pejabat pemerintahan hingga pengusaha kawakan. Bantuan dan sumbangan mereka berikan tanpa rasa sungkan, dari makanan hingga sekedar menebar senyuman.

Yang tadinya pelit berubah menjadi baik, yang suka buka-bukaan menjadi sopan dalam berpakaian, dari prilaku arogan menjadi demikian toleran. Ramadhan telah mampu menjadi spirit dan energi positif melahirkan gerakan moral, bagi setiap umat islam, tidak saja dalam bingkai hubungan manusia dengan tuhan.

Melainkan telah berdampak besar merubah tatanan kehidupan sosial manusia kearah lebih baik. Kalau tradisi semacam ini terus tetap mampu dipertahankan, mungkin tidak aka nada lagi cerita tentang busung lapar, pengemis jalanan, orang miskin yang jarang menikmati makanan, tidak akan ada lagi permusuhan dan kebencian, kejahatan dan pengangguran

Ramadhan mengajarkan tentang kesetaraan dan keadilan. Hal itu tercermin dari kewajiban melaksanakan puasa dari Tuhan bagi setiap umat Islam, tidak membedakan antara miskin dan kaya, tua muda, ketokohan, pangkat apalagi jabatan. Karena ukuran keimanan seseorang di hadapan Tuhan memang tidak diukur berdasarkan simpul dan atribut yang melekat di badan, tidak pula diukur dari pakaian, kopiah atau jilbab dikenakan, melainkan lebih pada cerminan sikap ketaqwaan.

Intlektual muslim, Anis Basweda dalam salah satu tulisannya di harian Kompas mengemukakan, kedermawanan, prilaku toleran, kesopanan dan sikap tolong menolong oleh umat islam semestinya tidak diposisikan sebatas kewajiban dan tradisi tahunan yang hanya dilakukan ketika bulan ramadhan tiba. Namun prilaku dan sikap-sikap positif tersebu harus mampu dipelihara dan dipertahankan dalam kehidupan bermasyarakat, sebelum maupun sesudah bulan ramdhan berlalu.

Sayangnya kedermawanan, kasih sayang, kerukunan, sikap toleran, tolong menolong, dan kesopanan tersebut hanya berlansung di bulan ramadhan, sehabis ramadhan sikap-sikap tersebut seakan hilang dan habis masa berlakunya. Tidak mampu dipelihara dan dipertahankan, permusuhan, kejahatan, sikap arogan, ketimpangan, ketidak adilah dan kesewenang-wenangan penguasa memberlakukan kebijakan senantiasa kembali muncul kepermukaan.

Saya terkadang berfikir apakah kebaikan setiap orang menjelang ramadhan hanya sebatas kepura puraan, menggugurkan kewajiban, plitik pencitraan mendapatkan pujian sebagai tokoh, pejabat dan pengusaha dermawan atau sekedar tradisi yang dilakukan secara musiman

Padahal keberhasilan tempaan dan pendidikan ramadhan selama sebulan justru akan kelihatan hasinya ketika sorang muslim mampu memelihara dan melanjutkan kedermawanan, kemuliaan dan ajaran kebajikan ibadah puasa setelah ramadhan berlalu. Yang dicerminkan melalui prilaku, sikap dan keperibadian. Dan momentum inilah masa uji kelayakan (tes and propertes) terhadap keimanan dan ketaqwaan setiap umat islam dimulai.

Pengamat sosial Komarudin Hidayat, dalam bukunya “Psikologi Agama,” mengatakan agama ibarat pakaian, meski dalam banyak sisi keduanya memiliki banyak perbedaan, namun dalam sisi lain keduanya sama-sama mendatangkan rasa nyaman. Seorang yang beragama, mestinya jiwa dan badannya menjadi sehat, kehormatan dirinya terjaga, dan prilaku serta tutur katanya enak di pandang dan didengar.

Kalau ketiga hal tadi tidak di temukan, pasti ada yang salah dengan dirinya, atau ukuran pakaiannya yang tidak pas, mestinya dengan beragama, mampu mendatangkan rasa nyaman terhadap dirinya dimana pun ia berada. Demikian halnya dengan puasa. Dengan berpuasa semestinya mampu menjadikan sesorang sebagai pribadi yang jujur, memiliki kepedulian, dan solidaritas sosial tinggi dan sikap saling toleran terhadap sesama.

Kalau dengan berpuasa kepribadian semacam ini tidak mampu dicerminkan, maka puasa yang dilaksanakan bisa tergolong sebagai sebuah kegagalan. Inilah poin terpenting di balik pelaksanaan ibadah puasa. Tidak sedikit orang melaksanakan puasa bukan berdasarkan kesadaran untuk menciptakan perubahan, melainkan sebatas menggugurkan kewajiban. Sukses melaksanakan pusa hanya dari sisi ritual semata, tetapi gagal menangkap makna substansialnya.

Sepenggal Kisah Dibalik Kenaikan Harga BBM

Ayomenulis. Setiap pristiwa, selalu menyisakan banyak cerita, setiap kebijakan sudah pasti memiliki konsekuensi, menimbulkan berbagai macam reaksi, dari rasa simpati hingga sikap kontropersi. Demikian halnya dengan langkah pemerintah memberlakukan kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) (pengurangan subsisidi), selain disambut penolakan dan aksi demonstrasi di berbagai daerah.

Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM juga telah menyisakan berbagai kisah pilu ditengah masyarakat. Mengingat bagaimanapun, kebijakan ini telah menimbulkan dampak cukup memprihatinkan bagi kelangsungan prekonomian masyarakat. Sehari setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM melalui para Menterinya, harga sejumlah barang kebutuhan pokok mulain melonjak naik.

Terang saja, kebijakan tersebut, bagi sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi kelas bawah dirasa sangat menyusahkan. Terlebih hampir sebagian besar masyarakat Indonesia masih hidup dan berkubang dalam kemiskinan, dengan mata pencaharian dan pendapatan yang masih jauh dari kata layak serta berkecukupan. Makan makanan asal perut kenyak, dan tidur di bawah kolong jembatan.

Inaq (Ibu) Sainah, asal Bertais Cakranegara, Kota Mataram, yang sehari-hari hanya berkerja sebaga pemulung sampah pelastik mengaku semakin merasa kesulitan memenuhi kebutuhan hidup keluarga, terutama semenjak harga BBM dinaikkan. Mengandalkan pendapatan suami yang kerja serabutan, untuk memenuhi kebutuhan tentu tidak akan mencukupi.

“Ite ne saq jari rakyat kodeq, sere nani, sere solit bae idapte idup, boyak impan kaken penelen anak jarinte, kesusahk bae aran. ndeqne maraq jaman pak Harto laeq, ndeqte wah susah saq meni laloq, ape-ape impan kaken penelen ye muraq, lain saq tebengte endah isiq datu. Nani selapuq ape mahel, minyak gas, beras, sebie bawang kance acan ndaraq ndeq mahel, berembe bae yaq ntan idup”.

“Kita ini yang jadi rakayat kecil, semakin sekarang, semakin sulit saja rasanya hidup mencari rizki sandang dan pangan bagi anak-anak kami. Susah sekali rasanya. Tidak seperti zaman pak Harto, tidak pernah kita susah seperti sekarang. Apa-apa sandang pangan sangat murah, belum lagi yang dikasih secara lansung oleh pemerintah. Sekarang semua pada mahal, minyak tanah, beras, cabai bawang sama trasi tidak ada yang tidak mahal, bagaimana mungkin kita bisa bertahan untu hidup”.

Kisah pilu yang dialami ibu Sainah, juga dirasakan Rusandi, warga Ampenan, sehari-hari mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga, hanya mengandalkan profesi sebagai nelayan, dengan penghasilan tidak menentu. Kenaikan harga BBM bagi masyarakat kecil dan pinggiran seperti Rusandi tentu terasa sangat menyakitkan. Harga BBM mahal, dengan pendapatan tidak menentu tentu semakin menambah beban. Sementara kebutuhan hidup keluarga setiap harinya menuntut untuk tetap terpenuhi.

“dulu, sebelum harga BBM naik saja, pendapatan saya tidak menentu, bahkan tidak ada sama sekali, selain karena alat tangkapan ikan yang masih sederhana dan apa adanya, cuaca yang tidak menentu juga seringkali menjadi faktor hasil tangkapan ikan tidak menentu”, tutur Rusandi, duduk bersandar didinding belakang rumahnya yang sudah mulai lapuk dimakan usia, sambil sesekali menghisap rokok pilitannya.

Kisah Sainah dan Rusandi mungkin satu dari sekian juta masyarakat indonesia, wabilkhusus NTB yang saat ini masih hidup dibawah garis kemiskinan, merasakan dampak kurang menguntungkan dari kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Meski kebijakan menaikkan harga BBM dibarengi dengan pemberian Bantuan Lansung Sementara Masyarakat (BLSM), sebagai bentuk kompensasi atas kenaikan harga BBM, tidak akan terlalu banyak berarti dan memiliki substansi membantu masyarakat keluar dari persoalan.

BLSM Justru menimbulkan persoalan baru ditengah masyarakat, sebagaimana diprediksikan banyak kalangan. Dalam realisasi dilapangan, terhitung semenjak pertama kali disalurkan, sehari setelah kenaikan harga BBM diumumkan penyaluran BLSM, sudah mulai menemui persoalan, mulai masalah validitas data masyarakat miskin penerima BLSM, penyaluran salah sasaran hingga maraknya praktik kecurangan dalam penyaluran.

Ada masyarakat yang sebenarnya tidak layak menerima BLSM, tetapi karena faktor kedekatan dan unsur kerabat dan kekeluargaan, dengan begitu mudah melenggang mendapatkan bantuan. Sementara ada masyarakat dari kriteria kemiskinan ditetapkan memang layak dan berhak mendapatkan bantuan, karena adanya praktik kecurangan dan permainan pejabat penyalur bantuan, justru tidak mendapatkan haknya.

Bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi berkecukupan, terlebih pejabat pemerintahanan, kenaikan harga BBM tentu tidak akan terlalu berpengaruh signifikan mempengaruhi kekayaan dan tingkat kesejahteraan. Tetapi bagi masyarakat miskin, yang hidup serba kekurangan, tentu menjadi persoalan.

Alasan pemerintah menaikkan harga BBM, sebagai upaya menyelamatkan perekonomian negara memang cukup beralasan. Namun benarkah penyelamatan hanya bisa dilakukan dengan jalan menaikkan harga BBM semata. Kenapa tidak penyelamatan ekonomi dilakukan dengan jalan menghemat anggaran, mengurangi tunjangan termasuk biaya perjalanan dinas para Menteri, anggota Dewan termasuk Presiden, tanpa harus mengorbankan masyarakat miskin atas nama negara.

Ayo Menulis