Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Menanti Bupati Berhati Nurani

Pesta demokrasi pemelihan kepala daerah calon Bupati dan wakil Bupati (Cabup dan cawabup) di beberapa kabupaten kota Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak lama lagi akan di langsungkan. Khususnya Kabupaten Lombok Tengah. Semua orang sudah barang tentu berharap, kalau pelaksanaan Pilkada kali ini tidak hanya sebatas kegiatan serimonial melakukan kegiatan kampanye, dan silaturrahmi mengumbar segudang jani, sebagai alat manipulasi semata untuk mendapatkan simpati masyarakat.

Pilkada kali ini benar-benar diharapkan akan mampu melahirkan sosok pemimpin masa depan yang nantinya di harapkan akan bisa membawa perubahan lima tahun mendatang. Inilah skelumit harapan/dambaan masyarakat di tengan kondisi ekonomi yang semakin mengalami keterpurukan. Namun sadar atau tidak harapan masih saja tetap harapan yang tidak pernah mampu terealisasikan. Dan senantiasa berahir dengan ketidakpuasan dan kekecewaan. Tidak heran kemudian, bagi sebagian besar masyarakat, ada tidaknya kegiatan Pemilu/Pilkada dalam setiap kesempatan, tidak pernah di anggap sebagai agenda terlalu penting, dan di jadikan beban untuk dilaksanakan.

Dan secara politik, mereka juga tidak merasa memiliki kepentingan. Tidak sedikit pula sebagian besar masyarakat lebih memilih menjadi golongan putih (Golput). Sebagai bentuk protes dan pemboikotan terhadap pemerintah. Munculnya sikap semacam ini memang sepenuhnya tidak bisa kita salahkan/tumpahkan kepada masyarakat semata, sebagai sebuah pilihan yang tidak bijak, dengan jalan menjadi Golput sebagai alternatif pelampiasan atas ketidakpuasan.

Mengingat selain pengetahuan mengenai politik, tergolong masih sangat lemah, secara emosional, reaksi ini sebenarnya muncul ke permukaan sebagai bentuk luapan kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah dan partai politik yang tidak pernah mampu melaksanakan keinginan dan harapan masyarakat.

Di sisi lain partai politik sebagai organisasi yang senantiasa dekat, dan membutuhkan kehadiran/dukungan dari masyarakat, justru tidak mampu memainkan kiprahnya terjun secara lansung setiap saat, berbaur memberikan pencerahan tentang berpolitik kepada masyarakat. “Sebuah fakta yang sangat miris tentunya bila gerakan pemberdayaan sosial, advokasi, pembelaan, konsultasi sosial, pengaduan justru lebih banyak di lakukan oleh kelompok NGO dan gerakan mahasiswa.

Padahal mestinya peran ini di mainkan secara maksimal oleh partai politik karena mereka hidup dan eksis dari ruang ini. Tidak akan kita temukan misalnya pasca pemilu partai politik kita akan terlihat di sudut-sudut desa, di pematang-pematang sawah, disetiap gardu, di sudut-sudut jalan berdebu sebagaimana dulu waktu berkampanye, karena jelas dikepala mereka ada anggapan bahwa tugas pengabdian telah usai, dan saatnya berjuang lewat parlemen. Anehnya semua pengurus partai juga berfikir begitu”. (Badrul. A.M : 2006 )

Mereka akan hadir ketengah-tengah masyarakat dan berlagak sebagai organisasi politik yang senantiasa memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat manakala musim Pemilu/Pilkada telah tiba. Lantas berdosakah kemudian kalau sebagian besar masyarakat memilih menjadi Golput, di tengan kebijakan pemerintah dan partai politik yang tidak pernah berpihak kepada mereka.

Sangat tidak adil kemudian kalau organisasi besar keislaman semacam Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa kampungan dan haram terhadap kalangan masyarakat yang lebih memilih menjadi Golput, tanpa melakukan pengkaji terhadap maraknya fenomena Golput di tengah masyarakat. Jangan heran kalau kemudian kehadiran kembali partai politik bersama para kandidat Cabup dan Cawabup pada saat momen Pilkada tiba ketengah masyarakat, seringkali di tanggapi dengan sikap dingin, caci maki, dan mulut mencibir, dari masyarakat.

Menghadapi kondisi semacam ini, partai politik, Cabup dan Cawabup biasanya, harus rela mengeruk kantung sedalam-dalamnya sebagai alat untuk menarik simpati dan dukungan dari masyarakat. Cara lain paling dianggap ampuh, dengan memanfaatkan tokoh kharismatik (Tuan Guru). Sebab Kalau tokoh sentralnya sudah mampu di seret mengikuti arus politik praktis, sudah barang tentu jamaah akan tunduk dan patuh dengan pilihan sang panutan. Model pendekatan yang di lakukan pun cukup beragam, dan terkesan rapi.

Dari silaturrahmi, lobi tingkat tinggi, pemberian konpensasi, sampai janji mendapatkan kursi. Dalam tren bahasa politik, biasa di sebut dengan politik balas jasa. Anehnya tokoh kharismatik sekaliber tuan guru gembala rohani sebagai pemegang otoritas tertinggi, yang diharapkan akan mampu mengedepankan sikap netralitas/demokratis, dihadapan jamaah, terkadang seringkali memanfaatkan masyarakat sebagai batu loncatan meraih jabatan dan kekuasaan.

Berbekalkan kharisma dan modal sosial kemasyarakatan, tidak sulit bagi tuan guru untuk melenggang meraih kursi kekuasaan. Giliran dikrtik akan eksistensi ketuanguruannya, maka dengan entengnya tuan guru akan menjawab. “Berdakwah pada dasarnya tidak hanya bisa dilakukan lewat pengajian di majlis ta’lim saja. Akan tetapi penerapan secara lansung dalam kehidupan rill, kebijakan-kebijakan yang diberlakaukan melalui kekuasaan justru lebih berpotensi menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat mungkin akan bisa diwujudkan.

Inilah realitas perpolitikan di NTB sekarang ini, khususnya di kabupaten Lombok Tengah. Kehadiran mereka, partai politik dan Cabup-Cawabut seringkali bagaikan benalu yang setiap saat bukannya membawa berkah, namun sebagai sumber musibah, Ditambah lagi dengan kondisi mental dan moralitas elit politik yang senantiasa doyan menjalani profesi sebagai politikus busuk, yang memiliki kebiasaan senang mencari muka/penjilat, demi mendapatkan ambisi kekuasaan.

Karena itu, ditengah semakin memudarnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadapa kinerja pemerintah, dan partai politik, khususnya dalam pelaksanaan Pemilu/Pilkada, kali ini. Untuk bisa memulihkan kembali tingkat kepercayaan masyarakat yang sudah semakin mengalami keterpurukan. Semestinya bisa dimanfaatkan Cabup dan Cawabup. Khususnya partai politik,untuk membangun kembali bargaining position, melalui gerakan pemberdayaan, advokasi, pendidikan dan intermediasi politik bagi masyarakat.

Dan yang terpenting bagaimana kemudian paradigma tentang pemilu kada yang di laksanakan selama ini, di kepala Cabup dan Cawabup, tidak lagi dimaknai sebagai ajang silaturrahmi mengumbar janji, dan bagi-bagi kursi semata, melainkan dijadikan sebagai media advokasi. Dengan demikian, “Menanti Bupati Berhati Nurani” mungkin akan bisa terealisasi Dan kehadiran partai politik di tengah-tengah masyarakat benar-benar diakui dan dirasakan kontribusinya sebagai ikon/garda depan dalam melakukan setiap perubahan dan memberikan pencerahan kepada masyarakat.

Menulis Itu Indah

Lebih baik menjadi kuli tinta
Dari pada menjadi kuli cinta

Sekilas ketika membaca goresan pena di atas mungkin kawan-kawan akan mengatakan bahwa ungkapan tersebut sebagai sebagai pelampiasan kekecewaan saya karena karena sering patah hati atau karena tidak pernah ada cewek yang mau sama saya. Itu terserah kawan-kawan bagaimana menanggapinya, mau tau jawabannya silakan tanyakan pada rumput yang bergoyang. Namun yang jelas ungkapan itu sebenarnya muncul sewaktu saya pernah membaca berita di harian Kompas tentang seorang tokoh akademisi sekaligus penulis dari Malang, yang begitu bersemangat, bahkan rela melepaskan status yang selama ini selalu menjadi incaran setiap orang "Pegawai Negeri Sipil" (PNS).

Saking cinta dan nikmatnya berprofesi sebagai penulis, sampai terlontar dari mulut beliau sebuah ungkapan yang kelihatan sederhana, namun penuh dengan makna "Menulis itu ibarat orang bercinta, semakin dalam kita nikmati, semakin dekat rasanya di hati". Beliau memulai karinya sebagai peulis semenja masih menjadi mahasiswa dengan aktif menulis Opini, Essai, maupun Artikel di beberapa media masa terkemuka seperti tempo, kompas maupun beberapa media masa lainnya.
Untuk memelihara ambisinya sebagai penulis beliau merelisasikannya dengan mendirikan sebuah penerbitan buku dan majalah, baik untuk mencetak karyanya sendiri maupun mencetak buku hasi karya dari orang lain. Apa yang terjadi, dalam tempo yang begitu singkat beliau mampu mendatangkan royalti sampai dua kali lipat dari gajinya sebagai PNS Dari sana kita bisa memetik sebuah gambaran bahwa menulis pada dasarnya merupakan aktifitas yang sungguh asyik, menyenangkan, dan menguntungkan untuk di lakukan, karena selain bisa mendatangkan keuntungan finansial, nama bisa di kenal dan tetap di kenang orang "

Skelumit Tentang Menulis Opini
Menulis opini dengan menulis berita, artikel, essai, maupun cerpen kalau di tinjau dari segi tujuan pada dasarnya memiliki orientasi yang sama, yaitu sama-sama ingin menyampaikan pesan atau informasi kepada khlayak/pembaca. Perbedaannya mungkin terletak pada isi dan model penulisannya. Penulisan berita misalnya, harus memenuhi unsur 5W+1H, atau artikel yang dalam penulisanya sedikit memakai refrensi dan seterusnya.

Berbeda dengan menulis opini, yang lebih di dasarkan atas pendapat semata, denga bebekal ketajaman analisis tentang suatu permasalahan yang akan kita tulis. Menulis opini juga sedikitnya telah memberikan ruang gerak bagi kita untuk secara leluasa mengekpresikan pemikiran kita, sehingga ketika inspirasi muncul, entah itu dari apa yang kita lihat, alami, perhatikan, dengar, dan rasakan, bisa lansung kita tuliskan, entah itu dalam bentuk catatan harian, , artikel.opini, maupun cerpen.

Dari sini kalau kita mau menengok bahwa, menulis selain sebagai aktifitas yang yang menyenangkan, secara tidak lansung menulis juga bisa mendatangkan manfaat yang sangat luar biasa, beberapa di antaranya : Pertama Wadah menuangkan aspirasi dan kreatifitas berfiki (baca majalah RO'YUNA). Dengan menulis segala beban dan keresahan yang terus menggajal dalam pikiran secara total, terstruktur, dan sistematis dalam bentuk tulisan.

Kedua Sebagai sarana untuk mengetahui arah dan model pemikiran kita dalam mengasah ketajaman analisis tentang segala persoalan yang terjadi di sekitar kita. Ketiga Sarana mempropokasi atau mempengaruhia pemikiran orang lalin. Terkadang sering kali kita jumpai ataupun membaca tulisan seseorang yang awalnya kelihata biasa, naumun bisa di buat menjadi luar biasa, ini sebenarnya akan bergantung pada ketajaman analisis dan kemampuan serang penulis mengatur bahasa untuk menarik minat pembaca. Dari itu sebuah tulisan akan menarik, bergantung pada beberapa hal berikut ini

 Judul Mesti Menarik
Judul dalam sebuah tulisa berita maupun bentuk lainnya merupakan salah satu daya tari sendiri dalam menarik minat dan keinginan orang lain untuk membaca, kalau dari judul saja sudah mampu mempropokasi simpati pembaca, maka jangan khwatir tulisan dan nama kamu akan menjadi bahan perbincangan oran, serta satu hal yang perlu di tekankan, usahakan judul juga harus singkat, padat dan jelas. Atinya judul yang kita tulis harus merangkan semua isi tulisan.

 Isi Tulisan
Isi sebuah tulisan juga sangat berperan dalam menarik minat pembaca. Terkadang banyak kita jumpai pada kebanyakan penulis pemula termasuk saya dalam menulis seringkali isinya tidak fokus pada satu persoalan yang sedang di tulis, alias Jaka sembung, tidak tentu arah tujuan dan pesan yang ingin di sampaikan. Sehingga seringkali membuat pembaca kebingungan mengenai pesan dan informasi yang hendak di sampaikan. Akibatnya penulis yang tadinya ingin mencerdaskan pembaca justru semakin menyesatkan pembaca. Dan yang terpenting adalah ketika kita berani melempar masalah, juga harus bisa memberikan solusi

 Kelihaian Dalam Meracik Sebuah Kata
Poin terpenting untuk menarik minat pembaca adalah bagaimana kita mampu meracik kata demi kata sesksi mungkin, yang tentunya menjadi nilai tawar baik bagi kualitas tulisan, maupun bagi orang yang menilis.

 Tulisan Renyah Dan Mudah Di Kunyah
Ketika kita membaca majalah, koran, maupun buku seringkali Banyak kita temukan tulisan-tulisan yang memakai bahasa terlalu ilmiah, dan serba wah, akibatnya tidak terlalu di gemari banyak orang untuk di baca, kalaupu ada yang mau membaca paling-paling hanya dari kalangan tertentu kare di samping bahasa tilisannya berat, pesan yang di sampaikan juga sulit di cerna. Oleh karena itu agar tulisan kita tidak menjadi bacaan kaku dan malas di baca orang, usahakan dalam menulis supaya memakai bahasa yang mudah di pahami pembaca.

 Dan yang terahir adalah, keberanian untuk memulai, sebab yakinlah sepintar apapun anda membaca buku, berwacana dan berteori tentang menulis kalau tidak pernah berani memulai untuk menulis, maka yakinlah kalau anda hanya akan tetap terbuai dalam mimpi. Mengahiri oret-oretan sederhana ini meminjam bahasanya Pramudya Ananta Toer.

Sekolah Mengajariku Serakah

“Nenek ingin aku memperoleh pendidikan, karenanya ia melarangku sekolah” (Margaret Mead)
......Apagun
a kita memiliki sekian ratus alumni sekolah yang cerdas, tetapi masa rakyat di biarkan bodoh? Segeralah kaum sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka (Y.B. Mangunwijaya).

Demikianlah gambaran dunia pendidikan sekarang ini. Pendidikan bukan lagi berfungsi sebagai wadah/media pencerdasan bagi masyarakat sebagaimana yang telah di amanatkan dalam UUD 1945 antara lain “Mencerdaskan kehidupan Bangsa”, atau sebagai sarana memanusiakan manusia, akan tetapi justru berbalik arah dan dialih fungsikan sebagai sarana untuk melakukan praktek pembodohan bagi masyarakat.

Berapa banyak kita temukan dan baca di media masa, entah melalui media elektronik maupun cetak lembaga pendidikan terkenal sebagai lembaga pendidikan favorit bahkan bertaraf internasional yang sudah go publik di dunia, mampu menghasilkan lulusan dan alumni yang konon ceritanya dengan kualitas yang sudah tidak di ragukan lagi. Akan tetapi mejadi penting untuk merenungkan barang sejenak.

Lantas sudahkah para lulusan tersebut memanfaatkan kepintaran yang mereka miliki sepenuhnya untuk meberikan pencerahan terhadap masyarakat?. Sudahkah kepintaran mereka di pergunakan dan di manfaatkan bagi terciptanya masyarakat yang maju dan bermartabat?. Sudahkah eksistensi dari pengetahua yang di dapatkan mereka fungsikan sebagai upaya manusia memanusiakan manusia? pertanyaan semacam inilah kemudian yang menjadi problem mengapa lembaga pendidikan di dunia selalu di hujat kririk para ilmuan seperti Paulo Freir, yang menawarkan konsep pendidikan pembebasan..

Di Indonesia lembaga pendidikan hanpir setiap saat senantiasa mendapat hujan kritik dari orang-orang yang sudah tidak lagi memandang lembaga pendidikan sebagai lembaga yang menghasilkan manusia cerdas dan mencerdaskan. Akan tetapi lembaga pendidikan yang ada saat ini tidak lebih hanya sekedar lembaga yang hanya mampu melahirkan manusia-manusia penjajah, serakah dan bermentalkan pecundang. Karena sekolah yang seharusnya berfungsi sebagai sarana transformasi pengetahuan berubah menjadi lembaga pencerdasan tetapi membodohkan.

Artinya bahwa output yang di hasilkan lembaga pemdidikan sekarang ini memang banyak menghasilkan manusia cerdas, akan tetapi dengan kecerdasan yang mereka miliki justru di manfaatkan untuk melakukan praktek pembodohan. Terjadinya hal semacam ini, tentunya tidak bisa terlepas dari kiprah para penguasa, baik di tataran pemerintahan maupun pengelola lembaga pendidikan.
Mereka para penguasa senantiasa menempatkan lembaga pendidikan tidak lebih hanya sekedar sebagai tempat melakukan ekploitasi, dan lahan mengeruk keuntungan. Tidak heran kemudian kalau banyak kita temukan orang yang memiliki kecerdasan yang semestinya membawa keberkahan, justru berbalik arah bisa mendatngkan kehancuran. Coba tengok sejenak di sekeliling kita entah itu di instansi pemerintahan maupun pendidikan.

Betapa banyak kita temukan orang-orang cerdas namun tidak jarang menjadi bumerang bagi terciptanya prubahan. Ini semua merupakan hasil didikan sekolah. Tidak salah kemudian kalau Muhammad Iqbal pernah mengeluarkan pernyataan yang sepintas lalu, memang terkesan anarkis untuk di dengarkan, akan tetapi demikianlah memang kondisi yang sebenarnya terjadi “Aku tamat dari sekolah dan pesantren penuh duka. Di situ tak kutemukan kehidupan, tidak pula cinta, tak kutemukan hikmah, dan tidak pula kebijaksanaan. Guru-guru sekolah adalah orang yang tak punya nurani, mati rasa, mati selera. Dan kyai-kyai adalah orang yang tak punya hikmah, lemah cita dan miskin pengalaman”.

Lantas siapakah yang mesti di salahkan?. Pemerintahkah, masyarakat atau sekolah yang memang tempat mereka para pelajar ditempa, dan dididik menjadi manusia terdidik. Entahlah, namun yang jelas terlepas dari siapa salah dan benarnya tentuya sedikit tidak akan menjadi bahan refleksi dan Evaluasi bagi pemerintah untuk melakukan sebuah terobosan baru, dengan melakukan pembenahan dan pembersihan di lingkungan instansi pemerintahan dari orang-orang yang senantiasa mencari keuntungan pribadi khususnya di lingkungan yang menangani bidang pendidikan seperti DIKNAS, DIKPORA, dan, DEPAG yang selama ini di pandang masyarakat sebagai sarang korupsi anggaran pendidikan.

Dan yang terpenting adalah perlunya melakukan pengkajian dan mrenovasi ulang tentang hakekat, makna, dan fungsi pendidikan yang sesunguhnya sebagai “Upaya Manusia Memanusiakan Manusia”. Dengan demikian apa yang menjadi impian dan cita-cita bangsa indonesia selama ini “mencerdaskan kehidupan bangsa menuju masyarakat yang adil, maju, dan bermartabat mungkin akan bisa tercapai.

Membangun Pendidikan Yang Berkeadilan

Mungkin masih membekas dalam ingatan kita tentang sosok pemimpin jepang, yang begitu bersemangat dan enerjik membangkitkan semangat juang segenap tentara dan rakyat jepang. Meski dalam kondisi negara yang sudah porak-poranda, setelah Nagasaki dan Hirosima di bom oleh tentara sekutu. Lantas apa yang di lakukan pemerintah jepang?. Di depan segenap rakyat dan tentaranya yang masih tersisa, kaisar jepang lantas bertanya!. Akan tetapi dia bukannya menanyakan seberapa banyak jumlah tentara yang masih hidup, dan berapa banyak harta yang masih tersisa.

Justru langkah pertama di lakukan pemerintah jepang adalah menghitung berapa banyak jumlah guru dan dokter masi hidup. Mereka membangun kembali negaranya yang porak poranda itu di mulai dari pendidikan dan kesehatan. Hasilnya sangat menakjubkan, selama kurang lebih dari 20 tahun, Jepang berhasil mensejajarkan negaranya dengan negara-negara maju lainnya di dunia. Sebuah langkah dan terobosan yang patut mendapatkan apresiasi dan penghargaan luar biasa, bagi sosok pemimpin yang memiliki perhatian dan komitmen besar untuk memajukan bangsanya, dengan mengedepankan pendidikan dan kesehatan. Itu di Negara Jepang?

Lantas bagaimana dengan pendidikan di Indonesia, khususnya NTB. Sejauh manakah perhatian pemerintah selama ini terhadap pendidikan, khususnya dari segi kesetaraan dan kualitas. Dalam beberapa paruh terahir, sedikitnya masalah pengangguran, kemiskinan, mahalnya biaya kesehatan, dan masih rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), merupakan bukti nyata, kalau selama ini perhatian pemerintah terhadap pendidikan di-NTB masih di nilai setengah hati dalam merealisasikan amanat UUD 1945, sebagai usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan justru sebaliknya yang terjadi, pendidikan seringkali di manfaatkan sebagai produk kapitalis dan lahan melakukan eksploitasi secara masal dalam rangka mencari keuntungan sebanyak mungkin.

Pendidikan Tidak Merata
Tingginya biaya pendidikan, dengan seabrik kebijakkan yang mengatur di dalamnya, seringkali menjadikan pendidikan tidak ubahnya seperti prusahaan kaum kapitalis yang senantiasa menguntungkan kepentingan indipidu. Di dalamnya hanya bisa di jamah oleh kalangan bermodalkan tinggi (kaum elitis), di sisi lain mereka!. Terutama dari kalangan masyarakat miskin dan buruh senantiasa menjadi golongan termarginalkan dari sistem yang di berlakukan sang penguasa.
Harapan untuk dapat mengenyam pendidikan lebih murah dan berkualitas mulai dari pendidikan paling bawah, sampai jenjang paling tinggi, mungkin hanya sebatas mimpi di siang bolong. Syukur-syukur kalau bisa menyelesaikan, SD sampai SLTP, mungkin masih bisa menjadi buruh pabrik atau tenaga kerja indonesia (TKI) ke luar negeri. Apalagi sampai menamatkan pendidikan sampai SMA, dengan bermodalkan selembar ijazah. dan sedikit berbekal keterampilan. Mungkin masih ada harapan untuk mendapatkan pekerjaan. Sendangkan bagi mereka yang mungkin Sekolah Dasar (SD), saja tidak selesai, bahkan tidak pernah sama sekali mengenyam namanya pendidikan.

Lantasa apa mau di perbuat. Ya...! Tidak usah pusing-pusing memikirkannya, kawin saja pak!. Punya istri, banyak anak banyak rizki. Ngapain sekolah?. Sekolah itu mahal, menghabiskan biaya. Sekolah itu memang khusus di pruntukkan untuk orang elit, dan penguasa. Mereka itulah generasi-generasi penerus anak pejabat, suka makan uang rakyat, dan yang tidak kalah hebat adalah suka menipu rakyat. Sedangkan orang miskin tidak di perbolehkan untuk sekolah. Denga kondisi semacam ini. Betapa banyak dari mereka-pelajar mau tidak mau, suka maupun tidak harus rela melepaskan status kebesarannya sebagai pelajar.

Impian untuk mewujudkan cita-cita yang sekian lama di bangun dan di damba-dambakan harus kandas di tengah jalan. Masa kecil dan remaja yang semestinya di manfaatkan untuk bermain dan belajar, justru di habiskan di pasar kerja hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hampir setiap tahunnya persentase putus sekolah terus mengalami peningkatan. Dari brosur pasangan calon TGH.M.Zainul Majdi, MA, dan Ir.H. Badrul Munir, MM tercatat 222 ribu penduduk prodktif berusia 15-24 tahun yang tidak mampu membaca dan menulis. Tingkat rata-rata lama sekolah penduduk NTB tidak lebih dari 6,5 tahun. Artinya hanya tamat SD. Setiap tahunnya sekitar 4.000 anak putus sekolah untuk tingkat dasar.

Dan sejatinya secara tidak lansung akan berimplikasi dengan semakin berpesta poranya angka pengangguran. Di tengah semakin melambung tingginya biaya pendidikan negeri, sebagai lembaga pendidika milik pemerintah. Maka Pondok Pesantren, hadir sebagai lembaga pendidikan swasta, yang di rintis oleh sang tokoh kharismatik Tuan Guru, setidaknya telah membawa angin segara bagi keberlansungan pendidikan di NTB. Khususnya bagi masyarakat dari kalangan ekonomi kurang mampu untuk bisa mengenyam pendidikan.

Tidak bisa di pungkiri, kalau kehadiran pondok pesantren, sesungguhnya sudah memberikan nuansa dan andil yang cukup besar dalam memajukan pendidikan di NTB saat ini. Karena selain memerankan fungsi sentralnya sebagai lembaga pendidikan yang berbasiskan agama. Pondok pesantren juga berusasaha menyesuaikan diri dengan lembaga pendidikan negeri, dengan melakukan pengintegrasian antara pelajaran yang bercirikan agama dengan pendidikan umum.

Dan terbukti memang tidak sedikit dari dari kebanyakan lembaga pendidikan pesantren di NTB, yang di klola Tuan Guru, sudah mampu bersaing dan mensejajarkan diri dengan lembaga pendidikan negeri. Ini terbukti dari banyaknya jebolan alumni pesantren, yang sudah mampu memainkan kiprahnya, baik dalam tataran birokrasi pemerintahan, maupun pendidikan. Untuk membangun prestasi semacam ini memang bukan perkara enteng, membutuhkan proses panjang, dan biaya tidak sedikit.

Pendidikan Pesantren Yang Dianak Tirikan
Akan tetapi terlepas dari itu pendidikan pesantren selama ini oleh pemerintah terkesan di anak tirikan, sebagai lembaga pendidikan yang terpinggirkan dari dunia modernisasi dan globalisasi. Sehingga sering kali yang menjadi prioritas utama perhatian pemerintah dalam berbagai sisi adalah sekolah umum. Di samping juga karena imej dan persepsi tentang pendidikan pesantren yang terbangun di kalangan kebanyakan masyarakat selama ini masih sangat kental sekali, yang memandang pendidikan pesantren dengan mata sebelah, karena dianggap terbelakang, kolot, tidak berkembang, irasional, dan juga kampungan.

Di sisi lain, tuntutan akan proses pembangunan dengan program yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi (fisik). Orientasi pendidikan adalah menjadi pegawai atau buruh yang melayani pemerintah atau industri. Hal ini tentunya akan berdampak pada terpinggirkannya sektor pendidikan (agama, pesantren) yang di nilai tidak mendukung proses pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang terbungkus dalam idiologi ”pembangunannisme”. Konsekuwensinya, lembaga pendidikan pesanteren makin di jauhi masyarakat. Pemerintah dengan segala kekuasaannya dan segala ”kebijakan” yang telah di keluarkan mencitrakan bahwa belajar yang mencerdaskan itu di sekolah (Lembaga formal) dengan kualitas yang lebih menjanjikan.

Kiranya melalu gambaran tentang kondisi pendidikan yang berlansung dalam masa pemerintahan saat ini. Dimana, dengan masih terdapatnya perhatian pemerintan yang masih terkesan tidak adil, dalam memberikan perhatian dan kesempatan mengenyam pendidikan terhadap masyarakat NTB, khususnya mereka-masyarakat yang berasal dari kalangan ekonomi lemah.

Maka. ”Seandainya Aku Menjadi Gubenur NTB”. Menjadi perlu untuk melakukan terobosan baru untuk memajukan pendidikan NTB kedepannya, dengan memberikan kesempatan kepada masyaraka seluas-luasnya untuk bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, dengan biaya yang murah, tanpa harus membedakan antara orang miskin maupun kaya.

Dan yang terpenting untuk saya lakukan sebagai orang yang berasal dari kalangan komunitas pesantren, sekiranya bisa menjadi gubenur NTB adalah tidak lagi meng-anaktirikan lembaga pendidikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang terpinggirkan, menghilangkan persepsi dan padangan masyarakat tentang pesantren, sebagai lembaga pendidikan kolot, terbelakang, dan ketinggalan zaman. Dengan memberikan perhatian serius dan se-maksimal mungkin, sebagai upaya nyata dalam memajukan, mencerdaskan masyarakat NTB yang maju dan relejius.
Mengahiri tulisan sederhana ini, meminjam bahasanya sebuah hadits nabi Muhahammad SAW ”Sebaik- baiknya pemimpin adalah yang senantiasa mampu memegang amanah”, serta mampu mememiliki hati nurani, bukan hanya bisa mengumbar janji. Semoga.

Demokrasi, Anarki Vs Hati Nurani

Buruknya pelaksanaan pesta demokrasi kampus, pemilihan Presiden Mahasiswa, MPM, dan DPM di kampus putih IAIN Mataram dari masa kemasa, seakan tidak pernah mau hengkang dari kehidupan mahasiswa. Hampir dalam setiap pelaksanaannya, pemilihan BEM, baik ditingkatan Fakultas, maupun Institut selalu diwarnai dan dinodai dengan aksi kericuhan/praktik-praktik tidak sehat oleh beberapa gelitir mahasiswa yang hanya mengedepankan kepentingan golongan.

Kalau mau menengok kebelakang barang sejenak, sejarah pemilu raya republik mahasiswa IAIN Mataram, tercatat semenjak penulis pertama kali menginjakkan kaki di kampus putih tahun 2006 lalu. Nuansa lingkungan kampus memang lebih banyak diwarnai muatan politis daripada kegiatan akademis. Kampus seakan beralihfungsi sebagai tempat melakukan peraktik politis, oleh kalangan mahasiswa maupun pejabat kampus.

Tak ayal praktik semacam ini sedikit tidak telah banyak berkontribusi meracuni otak, serta mendatangkan efek negatif terhadap prubahan prilaku dan karakter mahasiswa sebagai seorang akademisi. Berdasarkan informasi yang penulis gali dari beberapa narasumber.

Bobroknya pelaksanaan pemilihan BEM Mulai dari mekanisme pemilihan, manipulasi berkas persyaratan calon, sampai pada penggelembungan surat suara, sebenarnya sudah berlansung lama, dan tradisi semacam ini memang sengaja diwariskan oleh kelompok mahasiswa dan beberapa gelintir pejabat kampus yang ingin menancapkan kekuasaan/kepentingan golongan dilingkungan kampus.

Praktik semacam Ini sudah barang tentu bisa mencoreng wajah demokrasi kampus. Anehnya aksi semacam ini justru dilakukan oleh kelompok mahasiswa yang kerap kali meneriakkan demokrasi, dan nilai-nilai kejujuran. Ini tentunya sangat kontradiksi dan sangat bertentangan keras dengan wacana demokrasi yang sering mereka teriakkan. Namun prilaku, watak, dan sikap mereka sama sekali tidak mencerminkan kebenaran, serta jauh dari nilai kejujuran, melainkan banyak diwarnai kepentingan subyektif dan golongan.

Pemilu raya tanggal 10 Juni lalu cukuplah menjadi bukti dan catatan paling memalukan dalam sejarah PILPRESMA di IAIN Mataram, dimana nilai demokrasi telah ternodai oleh sikap anarkis sekelompok mahasiswa yang hanya mengedepankan egoisme dan kepentingan pribadi. Setelah pada pemilihan sebelumnya (tahun 2006 lalu) pristiwa yang sama juga sempat terjadi.

Pada PILPRESMA beberapa minggu lalu pristiwa yang sama terulang kembali. Pelaksanaan pemilihan kembali diwarnai dengan tindakan anarkis oleh kelompok mahasiswa banci yang tidak punya nyali untuk menerima kekalahan, dan bersaing secara jujur/sportif. Dengan melemparkan opini berbau subjektif, argumen fiktif dan fitnah keji yang seharusnya tidak layak keluar dari mulut seorang akademisi kepada panitia Pilpresma, MPM, dan DPM beberapa minggu lalu.

Melalui selebaran-selabaran kampungan yang sarat dengan unsur pembodohan, kebohongan, dan jauh dari nilai-nilai kejujuran. Akan tetapi hitam tetaplah hitam, dan putih tetaplah putih. Penulis pikir mahasiswa sesunggunya sudah cukup cerdas untuk menilai secara bijak, dan lebih selektif, mana sesungguhnya kelompok mahasiswa yang didalam menjalankan fungsinya senantiasa mengedepankan nilai kejujuran, kecurangan/kebohongan. Kalau penyakit semacam ini tidak segera dibasmi, bukan suatu hal yang mustahil kalau otak mahasiswa akan terus terjangkiti, dan diracuni doktrin yang mengarah pada tindakan dan prilaku keji.

Aksi Anarki Dibalik Perebutan Kursi.
Banyak kalangan menilai, mencuatnya aksi anarkis dan premanisme kampus pada PILPRESMA 10 Juni lalu merupakan rentetan dari persaingan memperebutkan kursi tertinggi, yang skenarionya memang sengaja diseting oleh beberapa kalangan simpatisan sebagai reaksi penutupan sebelum disingkirkan dari lingkaran kekuasaan, dengan mengadu domba mahasiswa, dan sengaja membuat kekacauan.

Tabir ini secara perlahan mulai terkuak kepermukaan. Pelaksanaan pemilihan Presma, MPM, dan DPM beberapa hari lalu, selain berahir dengan aksi kericuhan, ternyata berbuntut pada aksi pengancaman dan intimidasi baik kepada panitia, maupun beberapa dosen yang dinilai bukan termasuk golongan. Anehnya pelakunya bukan hanya mahasiswa, melainkan juga melibatkan beberapa dosen, dan pejabat kawakan, yang memang kemungkinan kuat merupakan otak dibalik mencuatnya aksi kericuhan.

Kalau sebagian guru/atasan dalam menyelesaikan persoalan saja masih jauh dari kebijaksanaan, dan cendrung mengutamakan ambisi kepentingan golongan, yang haus akan kekuasaan. Bukan sesuatu pemandangan yang mengejutkan kalau sebagian mahasiswa dalam menyelesaikan setiap persoalan selalu dengan kekerasan. Lantas masih pantaskah kita berteriak tentang kejujuran.

Kalau pada ahirnya watak dan prilaku masih jauh dari nilai kejujuran dan kebenaran. Tingginya gelar, kopiah yang tertata rapi, jilbab yang katanya lambang kesucian, ternyata tidak bisa dijadikan sebagai ukuran kesalehan, kejujuran, dan kesucian seseorang, namun belakangan telah banyak dialihfungsikan hanyalah sebagai simbol/topeng menutupi kebusukan, kelicikan, dan kemunafikan. dan alat meraih ambisi kekekuasaan.

Hampir dalam setiap ruang dan kesempatan kampus ini seakan tidak pernah sepi dari aksi kericuhan, permusuhan, dan saling menjatuhkan. Ada saja sekelompok orang yang senantiasa memetingkan golongan. Dari level mahasiswa yang sok berteriak atas nama kejujuran, karyawan sok berwenang, sampai pejabat kawakan yang sifatnya terkadang sering kekanak-kanakan. Siapa yang memegang korsi kekuasaan, maka setiap perkataan dan kebijakan yang dikeluarkan, harus dilaksanakan, kalau tidak ingin tersingkirkan. Itulah rukun kekuasaan.

Entah sampai kapan kampus ini harus menjadi sarang permusuhan, saling menjatuhkan dan politik mementingkan golongan, tanpa pernah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk saling menghargai dan mencerdaskan. Kampus ini sesungguhnya sudah lama merindukan/mendambakan suasana penuh kedamaian, persaudaraan, dan kekeluargaan, yang jauh dari permusuhan dan politik kepentingan golongan. Kapan kita bisa berfikir secara lebih arif dan bijak dalam menyikapi setiap perbedaan tanpa harus saling menyalahkan, menjatuhkan, dan bermusuhan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Mudah-mudahan kita bisa merenungkan.[]

Terkikisnya Budaya Akademis Mahasiswa


Dunia kampus seringkali identik dengan istilah Repoblik kebebasan, sebuah dunia di mana hampir menjadi dambaan setiap orang, untuk terjun ke dalamnya, sebagai sebuah jembatan meraih kesuksesan hidup. Di dunia inilah, merupakan babak awal dari sebuah perjuangan hidup yang sesungguhnya.

Di mana mental dan pribadi setiap orang dengan predikat Kemahasiswaannya benar-benar di tuntut untuk bisa menjadi manusia mandiri, cerdas, berkualitas, dan berkarakter serta yang tidak kalah penting adalah memiliki kecakapan hidup (life skill). Bukan sebagai pasar transaksi demi memaerkan sebuah sensasi

Mengamati tradis atau kebiasaan mahasiswa sebagai insan akademis dewasa ini, pada dasarnya menjadi tolak ukur untuk bisa membedakan tipe mahasiswa yang apatis dan kritis. Kalau dilihat dari tingkat, kecerdasan, wawasan, dan perekembangan kualitas intlektual yang di miliki masing-masing mahasiswa pada dasarnya tidak terlepas dari peran kreatifitas mahasiswa sendiri, dalam mengembangkan segala potensi yang di miliki. Baik yang menyangkut kecerdasan intlektual, emosional, maupun spiritual.

Dalam kehidupan kampus atau perguruan tinggi (PT), sebagai sebuah lembaga, yang menjadi wadah bagi mahasiswa, untuk bisa mengembangkan potensi yang di miliki, PT biasanya menyuguhkan berbagai macam organisasi dan unit kegiatan mahasiswa (UKM/BKM), baik Intra maupun Ekstra, yang menawarkan bergai macam ragam, dan sederetan, wadah sebagai tempat menuangkan kreatifitas berfikir, dengan mennjukkan ciri khas masing-masing. Sesuai dengan keinginan, bakat, dan minat masing-masing mahasiswa.

Tidak bisa di pungkiri, kehadiran berbagai macam organisasi dalam sebuah PT setidaknya sudah memberikan nuansa tersendiri, dan andil cukup besar bagi perjalanan intlektualitas mahasiswa. Sebagai lembaga tempat ber-ekspresi dan berkreasi menuangkan berbagai macam ide, gagasan, dan kreatifitas berfikir. Organisasi juga bisa di katakan, sebagi wahana pendidikan berwawasa sosial kemasyarakatan yang mengajarkan tentang berbagai macah hal.

Mulai dari bagaimana berorganisasi yang baik, bagaimana mengelola manajemen organiasasi secara propesinal, supaya tetap berjalan secara kondusif, dan satu hal yang tidak kalah penting manfaat lain dari organisasi, bagi setiap mahasiswa, melalui organisasi setidaknya akan bisa membuka cakrawala pengetahuan melalui pengalaman dan pergaulan komunikasi yang baik, dalam kehidupan bermasyarakat.

Karena betapapun juga kita (mahasiswa) merupakan bagian dari masyarakat, dan pada ahirnya juga akan kembali ke tengah masyarakat. Di sinilah mahasiswa, lewat gelar kesarjanaannya di harapkan bisa memainkan fungsinya sebagai agen of change, dan agen of control di membuat suatu tatanan prubahan yang baru bagi kehidupan masyarakat. Dalam sebuah catatan seorang demonstran Soe Hok Gie. Mengatakan, bahwa “kita sebagai generasi muda (mahasiswa) harus bisa menciptakan sesuatu yang baru, untuk mengatasi keberlansungan kehidupan masyarakat, bukan malah sebaliknya, harus menjadi sampah masyarakat.

Ibarat mengayuh perahu mengarungi lautan. Tidak selamanya selalu bisa berjalan dengan mulus, karena setiap saat bisa saja di hantaman ombak. Begitu juga tentang perjalanan hidup sebuah organisasi/UKM, dalam sebuah PT. setiap saat bisa saja terombang ambing di tengah sikap apatis, dan acuh tak acuh mahasiswa tentang arti penting berorganisasi, sebagai penopang meraih kesuksesan hidup.

Coba lihat tokoh besar seperti, Soe Hok Gie, Nurkholis Majid, Harun Nasution, dan sederetan tokoh besar lainnya. Mereka di kenal banyak orang, bukan karena seberapa banyak gelar di sandang,dan tidak pula karena kuliah singkat ijazah berlipat. Tetapi mereka di kenal semata-mata karena nilai budaya akademisnya yang tinggi. Namun sedikit sekali di antara kebanyakan mahasiswa menyadari akan hal tersebut. Waktu lebih senang di pergunakan untuk sesuatu yang kurang bermanfaat.

Realitas Mahasiswa NTB
Persoalan yang muncul kemudian, sejauh manakah budaya akademis masih tetap di minati dan berkembang di kalangan mahasiswa. Khususnya mahasiswa NTB. Dalam beberapa dekade terahir ini, dari hasi pantauan dan pengalaman. Penulis melihat semacam indikasi, kalau persentase kebanyakan mahasiswa yang berminat menggeluti dunia organisasi di beberapa PT NTB secara perlahan, terus mengalami perubahan cukup signifikan, jika di bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Kalaupun ada, beberapa diantara organisasi maupun UKM/BKM kampus, baik Intra, maupun Ekstra yang mampu merekrut basis anggota dalam komunitas besar, itu tidak lain hanya sebatas formalitas. Sedangkan kalau berbicara soal kualitas, bisa di katakana hanya terdapat pada beberapa gelintir orang.

Itupun bagi mereka yang benar-benar eksisis dan secara serius menggeluti dunia organisasi. Persoalan semacam ini, memang sangat kentara sekali untuk di persoalkan. Akan tetapi menjadi penting untuk merenungkan kembali, tentang penomena dan kondisi kehidupan budaya akademis mahasiswa saat ini, dari generasi ke generasi terus mengalami keterpurukan.

Terlepas dari kondisi semacam ini. Setidaknya ada beberapa persoalan, yang sering kali menjadi pemicu utama semakin melemahnya minat di kalangan mahasiswa terhadap organisasi dan UKM/BKM, di beberapa PT yang bernota bene di daerah NTB saat ini. Baik dari segi intern, maupun ekstern. Pertama terkait dengan kurangnya sosialisasi. Sosialisasi merupakan salah satu ajang promosi paling efektif bagi sebuah organisasi, maupun UKM/BKM kampus, untuk secara terbuka dan panjang lebar memperkenalkan ciri khas masing-masing organisasi, maupun UKM/BKM kepada mahasiswa.

Kegiatan ini selain di bertujuan mencari kader baru, sebagai generasi penerus estapet kpengurusa dari organisasi bersangkutan, juga di hajatkan sebagai wadah membentuk paradigma berfikir mahasiswa. Terutama bagi mahasiswa baru. Kalau sampai tahap ini tidak di lakukan secara intens, dan serius, tidak menutup kemungkinan organisasi bersangkutan, akan menjadi organisasi yang termarjinalkan, di kalangan mahasiswa, di karenakan tidak adanya informasi yang jelas, mengenai seputer organisasi tersebut.

Kedua. kesadaran mahasiswa tentang beroganisasi masi rendah. Sehebat apapun sosialisasi yang di lakukan, untuk menawarkan arti penting berorganisasi kepada mahasiswa, selama kesadaran dari mahasiswa untuk berorganisasi belum ada, suatu hal yang sangat na’if sebuah Organisasi/UKM akan bisa berkembang. Dalam kacamata pengamatan penulis, biasanya tipe mahasiswa semacam ini, selalu bersikap masa bodoh, acuh tak acuh dengan segala persoalan yang ada.

Target cuma satu “kuliah singkat nilai berlipat”.Ketiga. Kaderisasi sangat lemah. Sebuah organisasi akan tetap bisa eksisi dan berkembang, secara berkesinambungan, selama proses pengkaderan masih tetap berjalan secara efektif dan efesien dari generasi ke generasi selanjutnya. Melalui mekanisme seperti inilah, budaya akademis mahasiswa tidak akan mudah luntur, dan tetap berkembang subur untuk di wariskan secara turun temurun.

Keempat. Pengaruh perlakuan dari sebagian kalangan rezim otoriter orang yang konon ceritanya di kenal sebagai pahlawan banyak dosa (dosen), beserta seluruh pejabat akademik, sebagai kaki tangan lembaga, yang acapkali menghegemoni dan memperlakukan mahasiswa tidak ubahnya musuh, yang harus tetap di kekang setiap gerak geriknya,karena di anggap dapat mengancam keberadaan mereka.

Entah itu melalui larangan ikut berorganisasi, intimidasi, dan tidak sedikit pula dengan memberikan uang jajan dan pulsa, terhadap mahasiswa yang kira-kira dianggap berbahaya. Terkikisnya budaya akademis di kalangan mahasiswa, memang tidak bisa di lihat dari satu sisi, namun sudah mencakup semua persoalan sebegitu kompleks, baik sisi Intern, maupun Ekstern. Untuk memecahkan problem semacam ini, memang bukan perkara enteng. Setidaknya membutuhkan nawaitu yang kuat.

Untuk membangun dan memelihara sebuah pradaban budaya akademis di kalangan segenap mahasiswa, sedikitnya di butuhkan semacam keseragaman dan keselarasan tujuan sama secara berimbang, dari segenap unsur yang ada. Dalam artian dari beberapa uraian yang di kemukakan di atas, harus mampu di entaskan sebagai faktor paling strategis dalam menentukan maju tidaknya budaya akademis di kalangan mahasiswa.

Di samping itu perlunya menciptakan hubungan dan komunikasi yang lebih intens antara semua organisasi di lingkungan kampus / PT dengan tidak bersikap individualisme dan menghargai organisasi lain. Dengan terciptanya hubungan yang harmonis antar semua organisasi, maka imej yang terbangun di kalangan mahasiswa tentang organisasi selama ini sebagai sumber dari segala perpecahan mahasiswa bisa di terhapuskan.

Rasionalisasinya, walaupun kesadaran mahasiswa tentang organisasi sudah terbentuk, selama tindakan dan pengaruh dari luar, berupa tindakan otoriter, intimidasi, serta sejenis lain masih tetap gencar terjadi, bukan kemustahilan secara perlahan, budaya akademis akan menghilang dalam pribadi sebagian mahasiswa, selama tindakan diskriminasi masih tetap ada. Tanpa menjunjung tinggi prinsip demokrasi.

Wisuda, Antara Harapan dan Kepengecutan

Nongkrong, berkumpul, dan berbaur bersama di pojok kantin, halaman kampus, bahkan di tempat parkiran speda motor, di temani segelas es/kopi hangat, dan snack, sambil berdiskusi hampir merupakan aktifitas yang sangat mengasikkan bagi kalangan mahasiswa, khususnya di kalangan para aktifis kampus untuk di lakukan. Bahkan sudah menjadi tradisi dan sarapan pagi yang tidak pernah hilang sampai sekarang.

Tema diskusi pun beragam mulai dari yang berbau wanita, seputar politik, sampai pada persoalan pilihan hidup dan masa depan. Ya persoalan wanita dan masa depan, memanag tidak hanya asik diperbincangkan para aktivis sebagai insan akademis, di kalangan banyak orang pun selalu menjadi bahan perbincangan yang tidak pernah habis dan bosan-bosannya untuk di dengarkan, karena memang merupakan sebuah kebutuhan. Bahkan tidak jarang berahir dengan perdebatan.

Apalagi bahasan yang didiskusikan sudah memasuki ranah akademis, khususnya terkait persoalan mengenai keberadaan, dan prospek seorang mahasiswa kedepannya, setelah wisuda dengan menyandang titel. Apa yang mesti bisa di lakukan?. Pertanyaan inilah yang hingga sekarang ini selalu menjadi bahaan perbincangan dan perdebatan paling menegangkan, dan tidak pernah mampu memberikan jawaban yang memuaskan.

Tidak heran kemudian, kalau perbincangan sudah menyangkut persoalan wisuda, biasanya bagi sebagian kalangan aktivis kampus, terutama yang makamnya agak lebih tinggian dianggap sebagai bahan yang tidak terlalu menarik untuk didiskusikan. Bahkan cendrung di abaikan. Mereka cendrung lebih tertarik membicarakan isu-isu seputar politik, menghanyutkan diri dalam aktifitas-aktifitas kerorganisasian, bersaing memperebutkan kursi kepemimpinan, dan sibuk menggalang jaringan.

Yang nantinya akan di jadikan sebagai batu loncatan menggapai harapan, untuk bisa masuk dalam lingkaran kekuasaan. Bagi mereka masalah wisuda, terkadang sering di abaikan, dan tidak pernah terlalu di hiraukan sebagai sebuah kewajiban. Namun lebih dianggap sebagai beban yang perlu di kesampingkan. Meskipunpun begitu, dalam berbagai kesempatan, ada saja sesekali dari mereka yang mencoba memulai perbincangan, mengenai keinginan untuk segera wisuda dan mencari pekerjaan.

Lantas, secara sepontan salah seorang dari mereka yang lebih senioran akan berseloroh/mengatakan “Untuk apa kalian cepat-cepat wisuda, apa yang mau kalian dapat. Mau jadi pegawai negeri sipil itu bukan perkara gampang. Kalau tidak punya teman, keluarga dekat, dan uang banyak, jangan pernah bermimpi bisa jadi PNS. Orang pintar saja masih banyak yang menganggur menungguh giliran kebagian jatah. Coba kalian lihat, mereka yang mau wisuda itu, calon pengangguran semua”.

Itulah kata-kata yang senantiasa masih sangat jelas terngiang-ngiang dalam ingatanku. Kata-kata itu begitu bombastis terlontar dari mulut para aktivis senior, setiap kali terlibat dalam perbincangan, seputar keoptimisan sebagian kalangan mahasiswa, yang terlalu mendewa-dewakan, dan membanggakan, kalau dengan jalan cepat wisuda akan bisa di jadikan sebagai batu loncatan untuk bisa menggapai masa depan. Mencuatnya persepsi semacam itu penulis pikir merupakan sebuah kewajaran, dan sah-sah saja untuk di lakukan oleh semua orang.

Namun terkadang sempat juga terbersit semacam pertanyaan yang begitu mengganjal dalam benak saya. apakah mereka mengeluarkan statement semacam itu sebagai sebuah bentuk motivasi, dengan mengacu pada analisis realitas sosial, atau memang karena adanya semacam dorongan dari dalam diri mereka sebagai sebuah bentuk ekspresi, dan luapan kekecewaan atas kegagalan mereka menuntaskan studinya selama mengenyam pendidikan di bangku kuliah.

Meski dalam realitas sosialnya, persoalan wisuda memang merupakan persoalan yang cukup pelik dan sangat dilematis bagi kalangan mahasiswa. Karena memang sangat erat kaitannya dengan beban moral. Tidak heran kemudian kalau mahasiswa sekaliber aktivis dengan segudang pengalama, jaringan, dan berbekalkan sedikit keterampilan saja masih sedikit mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan. Apalagi mereka (mahasiswa) yang hanya bermodalkan keinginan, harapan, dan impian menunggu keberuntungan. Sudah barang tentu akan banyak mengalami kesulitan.

Karena kalau di amati dari sisi psikologis, sebagian besar mahasiswa pada dasarnya masih belum siap mengarungi bahtera kehidupan yang sesunggunya, apalagi dengan memikul beban titel. Di sisi lain keberadaan perguruan tinggi sebagai pihak yang meluluskan para sarjana sesungguhnya juga turut berkontribusi terhadap nasib mereka. Karena model pendidikan tidak memiliki orientasi jelas. Mereka seakan-akan tidak mau peduli, dan melepaskan tanggung jawab terhadap nasib para lulusannya.

Namun bagaimanapun juga persoalan wisuda mau tidak mau, suka atau tidak suka, tetap saja menjadi tuntutan, karena merupakan bagian dari sistem dan aturan yang mesti di lewatkan untuk bisa menggapai harapan, cita-cita, dan impian. Terlepas dari ketakutan akan kesiapan mengaruhi dinamika kehidupan. Itulah kehidupan, terkadang memang di butuhkan keberanian dan pengerbanan untuk menghadapi setiap persaingan, hambatan, dan rintangan.

Pepatah bijak mengatakan hidup adalah perjuangan. Takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja. Pertanyaannya apakah segera wisuda merupakan sebuah pilihan untuk menggapai harapan, ataukah dianggap sebagai sebuah beban dan momok paling menakutkan. [E...? Kedoaqm Uah]

Kampus Akademis Bermuatan Politis.



Seorang wartawan kompas Wisnu Nugroho pernah menulis tentang betapa SBY tidak percaya diri saat menyampaikan perintah keenam dari sepuluh perintahnya yang disampaiakan selama satu jam di atas mimbar. Sebuah printah klise yang disampaiakan berulang-ulang sejak orde baru berkuasa. Perintah keenam itu berbunyi, “mari kita lakukan (lagi) kampanye besar-besaran untuk mengonsumsi produk dalam negeri” . Namun presiden termasuk para menteri nyatanya seringkali inkonsisten dengan omongannya. Mulai dari dompet, sepatu, tas jinjing putih dengan logo LV (Louis Vuitton) sampai mobil, semua merek luar negeri. Mari memerintahkan para pejabat mengampanyekan hal yang mereka tidak turuti!

Cerita diatas mungkin salah satu potret buram bagaimana pejabat, wakil rakyat, dan orang-orang (Guru) yang seharusnya ditiru dan digugu seringkali mengajarkan dan menganjurkan hal-hal yang justru kontradiksi dengan moralitas, dan prilaku mereka, sebagai cerminan keteladanann, kebijaksanaan, dan kebenaran. Malahan yang seringkali muncul kepermukaan adalah sikap arogan, keangkuhan, ambisi kekuasaan, dan sikap saling menjatuhkan. Dari instansi pemerintahan, sampai institusi pendidikan, yang semestinya sebagai pusat kegiatan akademis, belakangan semakin santer dengan kegiatan politis.

Dilingkungan Perguruan Tinggi (PT) misalnya. hampir dalam setiap kesempatan, jarang sekali, bahkan tidak akan pernah kita mendengar kalangan mahasiswa, karyawan dan dosen berbicara banyak mengenai kegiatan-kegiatan akademis. Agenda pembicaraan selalu diwarnai dengan bau politis. Dari mencari usaha sampingan, sampai bagaimana mendapatkan posisi dan jabatan. Tidak heran kalau hubunan antara pimpinan dengan bawahan, dan bawahan dengan bawahan (mahasiswa, karyawan) tidak pernah mengalami keharmonisan.

Kalau atasan sebagai tokoh panutan saja, dalam memecahkan permasalahan tidak pernah dilakukan dengan kebijaksanaan. Permasalahan dan perbedaan senantiasa disikapi dengan prilaku arogan dan terkesan kekanak-kanakan. Lantas apakah salah kalau mahasiswa setiap melakukan demostran selalu dengan aksi anarkis dan kekerasan?. Jangan pernah mengajarkan kami untuk memiliki etika, ahlak dan moral, kalau sebagian besar orang yang semestinya patut ditiru dan digugu saja, prilaku dan moralnya tidak lebih baik dari kami. Mari mencetak sarjana masa depan bermentalkan pencundang, pintar menciptakan permusuhan sebagai bentuk keteladanan.

Pantas Seorang ilmuan sekelas Muhammad Ikbal pernah mengatakan “aku tamat dari sekolah dan pesantren penuh dengan duka dan kekecewaan. Disitu tak kutemukan kehidupan, tidak pula cinta, tak kutemukan hikmah, dan tidak pula kebijaksanaan. Guru-guru sekolah adalah orang yang tak punya nurani, mati rasa, mati selera. Dan kyai-kyai adalah orang yang tak punya hikmah, lemah cita, miskin pengalaman”. (Majalah Mahasiswa Tegalboto : 2008).

Tercatat dalam setiap suksesi pemilihan, dari tingkatan pimpinan sampai bawahan (mahasiswa), pengelompokan atas nama organisasi dan golonan senantiasa dikedepanka. Dan mahasiswa merupakan salah satu senjata andalan paling menguntungkan, sebagai batu locatan memperjuangkan kepentingan. Karena otak mahasiswa memang rawan diperjual belikan, dan dihargakan dengan sebatang rokok dan nasi bungkus warung sampingan. Dan lucunya beberapa gelintir dosen dan karyawan malah ikut-ikutan.

Walhasil lihat saja hajatan utama PT, sebagai pusat pengembangan keilmuan yang dibebankan kepada dosen, melalui tugas pokok untuk melaksanakan tridharma PT, berupa pengabdian, penelitian, dan pengajaran, belakangan banyak mengalami kemunduran, dan terbengkalaikan, karena sibuk mencari usaha sampingan, dan bagi-bagi jabatan. Waktu, tenaga dan pikiran yang seharusnya lebih banya digunakan untuk menjalankan kewajiban, malah seringkali disalah gunakan.

Lantas sampai kapan kebersamaan, persaudaraan, dan keharmonisan itu akan mampu diciptakan, apakah setelah dendam lama terlampiaskan? Apakah setelah ambisi kekuasaa memberikan kepuasan? Setelah puas menciptakan permusuhan dan perpecahan? Atau menunggu masuk kuburan?. Ha...ha...ha...mari melaksanakan hal-hal yang mereka (guru/dosen) ajarkan, terkadang tidak pernah sesuai dengan tingkah laku dan perbuatan. Silahkan anda yang menentukan.

Ayo Menulis