Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Demokrasi, Anarki Vs Hati Nurani

Buruknya pelaksanaan pesta demokrasi kampus, pemilihan Presiden Mahasiswa, MPM, dan DPM di kampus putih IAIN Mataram dari masa kemasa, seakan tidak pernah mau hengkang dari kehidupan mahasiswa. Hampir dalam setiap pelaksanaannya, pemilihan BEM, baik ditingkatan Fakultas, maupun Institut selalu diwarnai dan dinodai dengan aksi kericuhan/praktik-praktik tidak sehat oleh beberapa gelitir mahasiswa yang hanya mengedepankan kepentingan golongan.

Kalau mau menengok kebelakang barang sejenak, sejarah pemilu raya republik mahasiswa IAIN Mataram, tercatat semenjak penulis pertama kali menginjakkan kaki di kampus putih tahun 2006 lalu. Nuansa lingkungan kampus memang lebih banyak diwarnai muatan politis daripada kegiatan akademis. Kampus seakan beralihfungsi sebagai tempat melakukan peraktik politis, oleh kalangan mahasiswa maupun pejabat kampus.

Tak ayal praktik semacam ini sedikit tidak telah banyak berkontribusi meracuni otak, serta mendatangkan efek negatif terhadap prubahan prilaku dan karakter mahasiswa sebagai seorang akademisi. Berdasarkan informasi yang penulis gali dari beberapa narasumber.

Bobroknya pelaksanaan pemilihan BEM Mulai dari mekanisme pemilihan, manipulasi berkas persyaratan calon, sampai pada penggelembungan surat suara, sebenarnya sudah berlansung lama, dan tradisi semacam ini memang sengaja diwariskan oleh kelompok mahasiswa dan beberapa gelintir pejabat kampus yang ingin menancapkan kekuasaan/kepentingan golongan dilingkungan kampus.

Praktik semacam Ini sudah barang tentu bisa mencoreng wajah demokrasi kampus. Anehnya aksi semacam ini justru dilakukan oleh kelompok mahasiswa yang kerap kali meneriakkan demokrasi, dan nilai-nilai kejujuran. Ini tentunya sangat kontradiksi dan sangat bertentangan keras dengan wacana demokrasi yang sering mereka teriakkan. Namun prilaku, watak, dan sikap mereka sama sekali tidak mencerminkan kebenaran, serta jauh dari nilai kejujuran, melainkan banyak diwarnai kepentingan subyektif dan golongan.

Pemilu raya tanggal 10 Juni lalu cukuplah menjadi bukti dan catatan paling memalukan dalam sejarah PILPRESMA di IAIN Mataram, dimana nilai demokrasi telah ternodai oleh sikap anarkis sekelompok mahasiswa yang hanya mengedepankan egoisme dan kepentingan pribadi. Setelah pada pemilihan sebelumnya (tahun 2006 lalu) pristiwa yang sama juga sempat terjadi.

Pada PILPRESMA beberapa minggu lalu pristiwa yang sama terulang kembali. Pelaksanaan pemilihan kembali diwarnai dengan tindakan anarkis oleh kelompok mahasiswa banci yang tidak punya nyali untuk menerima kekalahan, dan bersaing secara jujur/sportif. Dengan melemparkan opini berbau subjektif, argumen fiktif dan fitnah keji yang seharusnya tidak layak keluar dari mulut seorang akademisi kepada panitia Pilpresma, MPM, dan DPM beberapa minggu lalu.

Melalui selebaran-selabaran kampungan yang sarat dengan unsur pembodohan, kebohongan, dan jauh dari nilai-nilai kejujuran. Akan tetapi hitam tetaplah hitam, dan putih tetaplah putih. Penulis pikir mahasiswa sesunggunya sudah cukup cerdas untuk menilai secara bijak, dan lebih selektif, mana sesungguhnya kelompok mahasiswa yang didalam menjalankan fungsinya senantiasa mengedepankan nilai kejujuran, kecurangan/kebohongan. Kalau penyakit semacam ini tidak segera dibasmi, bukan suatu hal yang mustahil kalau otak mahasiswa akan terus terjangkiti, dan diracuni doktrin yang mengarah pada tindakan dan prilaku keji.

Aksi Anarki Dibalik Perebutan Kursi.
Banyak kalangan menilai, mencuatnya aksi anarkis dan premanisme kampus pada PILPRESMA 10 Juni lalu merupakan rentetan dari persaingan memperebutkan kursi tertinggi, yang skenarionya memang sengaja diseting oleh beberapa kalangan simpatisan sebagai reaksi penutupan sebelum disingkirkan dari lingkaran kekuasaan, dengan mengadu domba mahasiswa, dan sengaja membuat kekacauan.

Tabir ini secara perlahan mulai terkuak kepermukaan. Pelaksanaan pemilihan Presma, MPM, dan DPM beberapa hari lalu, selain berahir dengan aksi kericuhan, ternyata berbuntut pada aksi pengancaman dan intimidasi baik kepada panitia, maupun beberapa dosen yang dinilai bukan termasuk golongan. Anehnya pelakunya bukan hanya mahasiswa, melainkan juga melibatkan beberapa dosen, dan pejabat kawakan, yang memang kemungkinan kuat merupakan otak dibalik mencuatnya aksi kericuhan.

Kalau sebagian guru/atasan dalam menyelesaikan persoalan saja masih jauh dari kebijaksanaan, dan cendrung mengutamakan ambisi kepentingan golongan, yang haus akan kekuasaan. Bukan sesuatu pemandangan yang mengejutkan kalau sebagian mahasiswa dalam menyelesaikan setiap persoalan selalu dengan kekerasan. Lantas masih pantaskah kita berteriak tentang kejujuran.

Kalau pada ahirnya watak dan prilaku masih jauh dari nilai kejujuran dan kebenaran. Tingginya gelar, kopiah yang tertata rapi, jilbab yang katanya lambang kesucian, ternyata tidak bisa dijadikan sebagai ukuran kesalehan, kejujuran, dan kesucian seseorang, namun belakangan telah banyak dialihfungsikan hanyalah sebagai simbol/topeng menutupi kebusukan, kelicikan, dan kemunafikan. dan alat meraih ambisi kekekuasaan.

Hampir dalam setiap ruang dan kesempatan kampus ini seakan tidak pernah sepi dari aksi kericuhan, permusuhan, dan saling menjatuhkan. Ada saja sekelompok orang yang senantiasa memetingkan golongan. Dari level mahasiswa yang sok berteriak atas nama kejujuran, karyawan sok berwenang, sampai pejabat kawakan yang sifatnya terkadang sering kekanak-kanakan. Siapa yang memegang korsi kekuasaan, maka setiap perkataan dan kebijakan yang dikeluarkan, harus dilaksanakan, kalau tidak ingin tersingkirkan. Itulah rukun kekuasaan.

Entah sampai kapan kampus ini harus menjadi sarang permusuhan, saling menjatuhkan dan politik mementingkan golongan, tanpa pernah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk saling menghargai dan mencerdaskan. Kampus ini sesungguhnya sudah lama merindukan/mendambakan suasana penuh kedamaian, persaudaraan, dan kekeluargaan, yang jauh dari permusuhan dan politik kepentingan golongan. Kapan kita bisa berfikir secara lebih arif dan bijak dalam menyikapi setiap perbedaan tanpa harus saling menyalahkan, menjatuhkan, dan bermusuhan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Mudah-mudahan kita bisa merenungkan.[]

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis