Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Terkikisnya Budaya Akademis Mahasiswa


Dunia kampus seringkali identik dengan istilah Repoblik kebebasan, sebuah dunia di mana hampir menjadi dambaan setiap orang, untuk terjun ke dalamnya, sebagai sebuah jembatan meraih kesuksesan hidup. Di dunia inilah, merupakan babak awal dari sebuah perjuangan hidup yang sesungguhnya.

Di mana mental dan pribadi setiap orang dengan predikat Kemahasiswaannya benar-benar di tuntut untuk bisa menjadi manusia mandiri, cerdas, berkualitas, dan berkarakter serta yang tidak kalah penting adalah memiliki kecakapan hidup (life skill). Bukan sebagai pasar transaksi demi memaerkan sebuah sensasi

Mengamati tradis atau kebiasaan mahasiswa sebagai insan akademis dewasa ini, pada dasarnya menjadi tolak ukur untuk bisa membedakan tipe mahasiswa yang apatis dan kritis. Kalau dilihat dari tingkat, kecerdasan, wawasan, dan perekembangan kualitas intlektual yang di miliki masing-masing mahasiswa pada dasarnya tidak terlepas dari peran kreatifitas mahasiswa sendiri, dalam mengembangkan segala potensi yang di miliki. Baik yang menyangkut kecerdasan intlektual, emosional, maupun spiritual.

Dalam kehidupan kampus atau perguruan tinggi (PT), sebagai sebuah lembaga, yang menjadi wadah bagi mahasiswa, untuk bisa mengembangkan potensi yang di miliki, PT biasanya menyuguhkan berbagai macam organisasi dan unit kegiatan mahasiswa (UKM/BKM), baik Intra maupun Ekstra, yang menawarkan bergai macam ragam, dan sederetan, wadah sebagai tempat menuangkan kreatifitas berfikir, dengan mennjukkan ciri khas masing-masing. Sesuai dengan keinginan, bakat, dan minat masing-masing mahasiswa.

Tidak bisa di pungkiri, kehadiran berbagai macam organisasi dalam sebuah PT setidaknya sudah memberikan nuansa tersendiri, dan andil cukup besar bagi perjalanan intlektualitas mahasiswa. Sebagai lembaga tempat ber-ekspresi dan berkreasi menuangkan berbagai macam ide, gagasan, dan kreatifitas berfikir. Organisasi juga bisa di katakan, sebagi wahana pendidikan berwawasa sosial kemasyarakatan yang mengajarkan tentang berbagai macah hal.

Mulai dari bagaimana berorganisasi yang baik, bagaimana mengelola manajemen organiasasi secara propesinal, supaya tetap berjalan secara kondusif, dan satu hal yang tidak kalah penting manfaat lain dari organisasi, bagi setiap mahasiswa, melalui organisasi setidaknya akan bisa membuka cakrawala pengetahuan melalui pengalaman dan pergaulan komunikasi yang baik, dalam kehidupan bermasyarakat.

Karena betapapun juga kita (mahasiswa) merupakan bagian dari masyarakat, dan pada ahirnya juga akan kembali ke tengah masyarakat. Di sinilah mahasiswa, lewat gelar kesarjanaannya di harapkan bisa memainkan fungsinya sebagai agen of change, dan agen of control di membuat suatu tatanan prubahan yang baru bagi kehidupan masyarakat. Dalam sebuah catatan seorang demonstran Soe Hok Gie. Mengatakan, bahwa “kita sebagai generasi muda (mahasiswa) harus bisa menciptakan sesuatu yang baru, untuk mengatasi keberlansungan kehidupan masyarakat, bukan malah sebaliknya, harus menjadi sampah masyarakat.

Ibarat mengayuh perahu mengarungi lautan. Tidak selamanya selalu bisa berjalan dengan mulus, karena setiap saat bisa saja di hantaman ombak. Begitu juga tentang perjalanan hidup sebuah organisasi/UKM, dalam sebuah PT. setiap saat bisa saja terombang ambing di tengah sikap apatis, dan acuh tak acuh mahasiswa tentang arti penting berorganisasi, sebagai penopang meraih kesuksesan hidup.

Coba lihat tokoh besar seperti, Soe Hok Gie, Nurkholis Majid, Harun Nasution, dan sederetan tokoh besar lainnya. Mereka di kenal banyak orang, bukan karena seberapa banyak gelar di sandang,dan tidak pula karena kuliah singkat ijazah berlipat. Tetapi mereka di kenal semata-mata karena nilai budaya akademisnya yang tinggi. Namun sedikit sekali di antara kebanyakan mahasiswa menyadari akan hal tersebut. Waktu lebih senang di pergunakan untuk sesuatu yang kurang bermanfaat.

Realitas Mahasiswa NTB
Persoalan yang muncul kemudian, sejauh manakah budaya akademis masih tetap di minati dan berkembang di kalangan mahasiswa. Khususnya mahasiswa NTB. Dalam beberapa dekade terahir ini, dari hasi pantauan dan pengalaman. Penulis melihat semacam indikasi, kalau persentase kebanyakan mahasiswa yang berminat menggeluti dunia organisasi di beberapa PT NTB secara perlahan, terus mengalami perubahan cukup signifikan, jika di bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Kalaupun ada, beberapa diantara organisasi maupun UKM/BKM kampus, baik Intra, maupun Ekstra yang mampu merekrut basis anggota dalam komunitas besar, itu tidak lain hanya sebatas formalitas. Sedangkan kalau berbicara soal kualitas, bisa di katakana hanya terdapat pada beberapa gelintir orang.

Itupun bagi mereka yang benar-benar eksisis dan secara serius menggeluti dunia organisasi. Persoalan semacam ini, memang sangat kentara sekali untuk di persoalkan. Akan tetapi menjadi penting untuk merenungkan kembali, tentang penomena dan kondisi kehidupan budaya akademis mahasiswa saat ini, dari generasi ke generasi terus mengalami keterpurukan.

Terlepas dari kondisi semacam ini. Setidaknya ada beberapa persoalan, yang sering kali menjadi pemicu utama semakin melemahnya minat di kalangan mahasiswa terhadap organisasi dan UKM/BKM, di beberapa PT yang bernota bene di daerah NTB saat ini. Baik dari segi intern, maupun ekstern. Pertama terkait dengan kurangnya sosialisasi. Sosialisasi merupakan salah satu ajang promosi paling efektif bagi sebuah organisasi, maupun UKM/BKM kampus, untuk secara terbuka dan panjang lebar memperkenalkan ciri khas masing-masing organisasi, maupun UKM/BKM kepada mahasiswa.

Kegiatan ini selain di bertujuan mencari kader baru, sebagai generasi penerus estapet kpengurusa dari organisasi bersangkutan, juga di hajatkan sebagai wadah membentuk paradigma berfikir mahasiswa. Terutama bagi mahasiswa baru. Kalau sampai tahap ini tidak di lakukan secara intens, dan serius, tidak menutup kemungkinan organisasi bersangkutan, akan menjadi organisasi yang termarjinalkan, di kalangan mahasiswa, di karenakan tidak adanya informasi yang jelas, mengenai seputer organisasi tersebut.

Kedua. kesadaran mahasiswa tentang beroganisasi masi rendah. Sehebat apapun sosialisasi yang di lakukan, untuk menawarkan arti penting berorganisasi kepada mahasiswa, selama kesadaran dari mahasiswa untuk berorganisasi belum ada, suatu hal yang sangat na’if sebuah Organisasi/UKM akan bisa berkembang. Dalam kacamata pengamatan penulis, biasanya tipe mahasiswa semacam ini, selalu bersikap masa bodoh, acuh tak acuh dengan segala persoalan yang ada.

Target cuma satu “kuliah singkat nilai berlipat”.Ketiga. Kaderisasi sangat lemah. Sebuah organisasi akan tetap bisa eksisi dan berkembang, secara berkesinambungan, selama proses pengkaderan masih tetap berjalan secara efektif dan efesien dari generasi ke generasi selanjutnya. Melalui mekanisme seperti inilah, budaya akademis mahasiswa tidak akan mudah luntur, dan tetap berkembang subur untuk di wariskan secara turun temurun.

Keempat. Pengaruh perlakuan dari sebagian kalangan rezim otoriter orang yang konon ceritanya di kenal sebagai pahlawan banyak dosa (dosen), beserta seluruh pejabat akademik, sebagai kaki tangan lembaga, yang acapkali menghegemoni dan memperlakukan mahasiswa tidak ubahnya musuh, yang harus tetap di kekang setiap gerak geriknya,karena di anggap dapat mengancam keberadaan mereka.

Entah itu melalui larangan ikut berorganisasi, intimidasi, dan tidak sedikit pula dengan memberikan uang jajan dan pulsa, terhadap mahasiswa yang kira-kira dianggap berbahaya. Terkikisnya budaya akademis di kalangan mahasiswa, memang tidak bisa di lihat dari satu sisi, namun sudah mencakup semua persoalan sebegitu kompleks, baik sisi Intern, maupun Ekstern. Untuk memecahkan problem semacam ini, memang bukan perkara enteng. Setidaknya membutuhkan nawaitu yang kuat.

Untuk membangun dan memelihara sebuah pradaban budaya akademis di kalangan segenap mahasiswa, sedikitnya di butuhkan semacam keseragaman dan keselarasan tujuan sama secara berimbang, dari segenap unsur yang ada. Dalam artian dari beberapa uraian yang di kemukakan di atas, harus mampu di entaskan sebagai faktor paling strategis dalam menentukan maju tidaknya budaya akademis di kalangan mahasiswa.

Di samping itu perlunya menciptakan hubungan dan komunikasi yang lebih intens antara semua organisasi di lingkungan kampus / PT dengan tidak bersikap individualisme dan menghargai organisasi lain. Dengan terciptanya hubungan yang harmonis antar semua organisasi, maka imej yang terbangun di kalangan mahasiswa tentang organisasi selama ini sebagai sumber dari segala perpecahan mahasiswa bisa di terhapuskan.

Rasionalisasinya, walaupun kesadaran mahasiswa tentang organisasi sudah terbentuk, selama tindakan dan pengaruh dari luar, berupa tindakan otoriter, intimidasi, serta sejenis lain masih tetap gencar terjadi, bukan kemustahilan secara perlahan, budaya akademis akan menghilang dalam pribadi sebagian mahasiswa, selama tindakan diskriminasi masih tetap ada. Tanpa menjunjung tinggi prinsip demokrasi.

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis