Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Membangun Pendidikan Yang Berkeadilan

Mungkin masih membekas dalam ingatan kita tentang sosok pemimpin jepang, yang begitu bersemangat dan enerjik membangkitkan semangat juang segenap tentara dan rakyat jepang. Meski dalam kondisi negara yang sudah porak-poranda, setelah Nagasaki dan Hirosima di bom oleh tentara sekutu. Lantas apa yang di lakukan pemerintah jepang?. Di depan segenap rakyat dan tentaranya yang masih tersisa, kaisar jepang lantas bertanya!. Akan tetapi dia bukannya menanyakan seberapa banyak jumlah tentara yang masih hidup, dan berapa banyak harta yang masih tersisa.

Justru langkah pertama di lakukan pemerintah jepang adalah menghitung berapa banyak jumlah guru dan dokter masi hidup. Mereka membangun kembali negaranya yang porak poranda itu di mulai dari pendidikan dan kesehatan. Hasilnya sangat menakjubkan, selama kurang lebih dari 20 tahun, Jepang berhasil mensejajarkan negaranya dengan negara-negara maju lainnya di dunia. Sebuah langkah dan terobosan yang patut mendapatkan apresiasi dan penghargaan luar biasa, bagi sosok pemimpin yang memiliki perhatian dan komitmen besar untuk memajukan bangsanya, dengan mengedepankan pendidikan dan kesehatan. Itu di Negara Jepang?

Lantas bagaimana dengan pendidikan di Indonesia, khususnya NTB. Sejauh manakah perhatian pemerintah selama ini terhadap pendidikan, khususnya dari segi kesetaraan dan kualitas. Dalam beberapa paruh terahir, sedikitnya masalah pengangguran, kemiskinan, mahalnya biaya kesehatan, dan masih rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), merupakan bukti nyata, kalau selama ini perhatian pemerintah terhadap pendidikan di-NTB masih di nilai setengah hati dalam merealisasikan amanat UUD 1945, sebagai usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan justru sebaliknya yang terjadi, pendidikan seringkali di manfaatkan sebagai produk kapitalis dan lahan melakukan eksploitasi secara masal dalam rangka mencari keuntungan sebanyak mungkin.

Pendidikan Tidak Merata
Tingginya biaya pendidikan, dengan seabrik kebijakkan yang mengatur di dalamnya, seringkali menjadikan pendidikan tidak ubahnya seperti prusahaan kaum kapitalis yang senantiasa menguntungkan kepentingan indipidu. Di dalamnya hanya bisa di jamah oleh kalangan bermodalkan tinggi (kaum elitis), di sisi lain mereka!. Terutama dari kalangan masyarakat miskin dan buruh senantiasa menjadi golongan termarginalkan dari sistem yang di berlakukan sang penguasa.
Harapan untuk dapat mengenyam pendidikan lebih murah dan berkualitas mulai dari pendidikan paling bawah, sampai jenjang paling tinggi, mungkin hanya sebatas mimpi di siang bolong. Syukur-syukur kalau bisa menyelesaikan, SD sampai SLTP, mungkin masih bisa menjadi buruh pabrik atau tenaga kerja indonesia (TKI) ke luar negeri. Apalagi sampai menamatkan pendidikan sampai SMA, dengan bermodalkan selembar ijazah. dan sedikit berbekal keterampilan. Mungkin masih ada harapan untuk mendapatkan pekerjaan. Sendangkan bagi mereka yang mungkin Sekolah Dasar (SD), saja tidak selesai, bahkan tidak pernah sama sekali mengenyam namanya pendidikan.

Lantasa apa mau di perbuat. Ya...! Tidak usah pusing-pusing memikirkannya, kawin saja pak!. Punya istri, banyak anak banyak rizki. Ngapain sekolah?. Sekolah itu mahal, menghabiskan biaya. Sekolah itu memang khusus di pruntukkan untuk orang elit, dan penguasa. Mereka itulah generasi-generasi penerus anak pejabat, suka makan uang rakyat, dan yang tidak kalah hebat adalah suka menipu rakyat. Sedangkan orang miskin tidak di perbolehkan untuk sekolah. Denga kondisi semacam ini. Betapa banyak dari mereka-pelajar mau tidak mau, suka maupun tidak harus rela melepaskan status kebesarannya sebagai pelajar.

Impian untuk mewujudkan cita-cita yang sekian lama di bangun dan di damba-dambakan harus kandas di tengah jalan. Masa kecil dan remaja yang semestinya di manfaatkan untuk bermain dan belajar, justru di habiskan di pasar kerja hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hampir setiap tahunnya persentase putus sekolah terus mengalami peningkatan. Dari brosur pasangan calon TGH.M.Zainul Majdi, MA, dan Ir.H. Badrul Munir, MM tercatat 222 ribu penduduk prodktif berusia 15-24 tahun yang tidak mampu membaca dan menulis. Tingkat rata-rata lama sekolah penduduk NTB tidak lebih dari 6,5 tahun. Artinya hanya tamat SD. Setiap tahunnya sekitar 4.000 anak putus sekolah untuk tingkat dasar.

Dan sejatinya secara tidak lansung akan berimplikasi dengan semakin berpesta poranya angka pengangguran. Di tengah semakin melambung tingginya biaya pendidikan negeri, sebagai lembaga pendidika milik pemerintah. Maka Pondok Pesantren, hadir sebagai lembaga pendidikan swasta, yang di rintis oleh sang tokoh kharismatik Tuan Guru, setidaknya telah membawa angin segara bagi keberlansungan pendidikan di NTB. Khususnya bagi masyarakat dari kalangan ekonomi kurang mampu untuk bisa mengenyam pendidikan.

Tidak bisa di pungkiri, kalau kehadiran pondok pesantren, sesungguhnya sudah memberikan nuansa dan andil yang cukup besar dalam memajukan pendidikan di NTB saat ini. Karena selain memerankan fungsi sentralnya sebagai lembaga pendidikan yang berbasiskan agama. Pondok pesantren juga berusasaha menyesuaikan diri dengan lembaga pendidikan negeri, dengan melakukan pengintegrasian antara pelajaran yang bercirikan agama dengan pendidikan umum.

Dan terbukti memang tidak sedikit dari dari kebanyakan lembaga pendidikan pesantren di NTB, yang di klola Tuan Guru, sudah mampu bersaing dan mensejajarkan diri dengan lembaga pendidikan negeri. Ini terbukti dari banyaknya jebolan alumni pesantren, yang sudah mampu memainkan kiprahnya, baik dalam tataran birokrasi pemerintahan, maupun pendidikan. Untuk membangun prestasi semacam ini memang bukan perkara enteng, membutuhkan proses panjang, dan biaya tidak sedikit.

Pendidikan Pesantren Yang Dianak Tirikan
Akan tetapi terlepas dari itu pendidikan pesantren selama ini oleh pemerintah terkesan di anak tirikan, sebagai lembaga pendidikan yang terpinggirkan dari dunia modernisasi dan globalisasi. Sehingga sering kali yang menjadi prioritas utama perhatian pemerintah dalam berbagai sisi adalah sekolah umum. Di samping juga karena imej dan persepsi tentang pendidikan pesantren yang terbangun di kalangan kebanyakan masyarakat selama ini masih sangat kental sekali, yang memandang pendidikan pesantren dengan mata sebelah, karena dianggap terbelakang, kolot, tidak berkembang, irasional, dan juga kampungan.

Di sisi lain, tuntutan akan proses pembangunan dengan program yang lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi (fisik). Orientasi pendidikan adalah menjadi pegawai atau buruh yang melayani pemerintah atau industri. Hal ini tentunya akan berdampak pada terpinggirkannya sektor pendidikan (agama, pesantren) yang di nilai tidak mendukung proses pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi yang terbungkus dalam idiologi ”pembangunannisme”. Konsekuwensinya, lembaga pendidikan pesanteren makin di jauhi masyarakat. Pemerintah dengan segala kekuasaannya dan segala ”kebijakan” yang telah di keluarkan mencitrakan bahwa belajar yang mencerdaskan itu di sekolah (Lembaga formal) dengan kualitas yang lebih menjanjikan.

Kiranya melalu gambaran tentang kondisi pendidikan yang berlansung dalam masa pemerintahan saat ini. Dimana, dengan masih terdapatnya perhatian pemerintan yang masih terkesan tidak adil, dalam memberikan perhatian dan kesempatan mengenyam pendidikan terhadap masyarakat NTB, khususnya mereka-masyarakat yang berasal dari kalangan ekonomi lemah.

Maka. ”Seandainya Aku Menjadi Gubenur NTB”. Menjadi perlu untuk melakukan terobosan baru untuk memajukan pendidikan NTB kedepannya, dengan memberikan kesempatan kepada masyaraka seluas-luasnya untuk bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, dengan biaya yang murah, tanpa harus membedakan antara orang miskin maupun kaya.

Dan yang terpenting untuk saya lakukan sebagai orang yang berasal dari kalangan komunitas pesantren, sekiranya bisa menjadi gubenur NTB adalah tidak lagi meng-anaktirikan lembaga pendidikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang terpinggirkan, menghilangkan persepsi dan padangan masyarakat tentang pesantren, sebagai lembaga pendidikan kolot, terbelakang, dan ketinggalan zaman. Dengan memberikan perhatian serius dan se-maksimal mungkin, sebagai upaya nyata dalam memajukan, mencerdaskan masyarakat NTB yang maju dan relejius.
Mengahiri tulisan sederhana ini, meminjam bahasanya sebuah hadits nabi Muhahammad SAW ”Sebaik- baiknya pemimpin adalah yang senantiasa mampu memegang amanah”, serta mampu mememiliki hati nurani, bukan hanya bisa mengumbar janji. Semoga.

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis