Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Menanti Bupati Berhati Nurani

Pesta demokrasi pemelihan kepala daerah calon Bupati dan wakil Bupati (Cabup dan cawabup) di beberapa kabupaten kota Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak lama lagi akan di langsungkan. Khususnya Kabupaten Lombok Tengah. Semua orang sudah barang tentu berharap, kalau pelaksanaan Pilkada kali ini tidak hanya sebatas kegiatan serimonial melakukan kegiatan kampanye, dan silaturrahmi mengumbar segudang jani, sebagai alat manipulasi semata untuk mendapatkan simpati masyarakat.

Pilkada kali ini benar-benar diharapkan akan mampu melahirkan sosok pemimpin masa depan yang nantinya di harapkan akan bisa membawa perubahan lima tahun mendatang. Inilah skelumit harapan/dambaan masyarakat di tengan kondisi ekonomi yang semakin mengalami keterpurukan. Namun sadar atau tidak harapan masih saja tetap harapan yang tidak pernah mampu terealisasikan. Dan senantiasa berahir dengan ketidakpuasan dan kekecewaan. Tidak heran kemudian, bagi sebagian besar masyarakat, ada tidaknya kegiatan Pemilu/Pilkada dalam setiap kesempatan, tidak pernah di anggap sebagai agenda terlalu penting, dan di jadikan beban untuk dilaksanakan.

Dan secara politik, mereka juga tidak merasa memiliki kepentingan. Tidak sedikit pula sebagian besar masyarakat lebih memilih menjadi golongan putih (Golput). Sebagai bentuk protes dan pemboikotan terhadap pemerintah. Munculnya sikap semacam ini memang sepenuhnya tidak bisa kita salahkan/tumpahkan kepada masyarakat semata, sebagai sebuah pilihan yang tidak bijak, dengan jalan menjadi Golput sebagai alternatif pelampiasan atas ketidakpuasan.

Mengingat selain pengetahuan mengenai politik, tergolong masih sangat lemah, secara emosional, reaksi ini sebenarnya muncul ke permukaan sebagai bentuk luapan kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah dan partai politik yang tidak pernah mampu melaksanakan keinginan dan harapan masyarakat.

Di sisi lain partai politik sebagai organisasi yang senantiasa dekat, dan membutuhkan kehadiran/dukungan dari masyarakat, justru tidak mampu memainkan kiprahnya terjun secara lansung setiap saat, berbaur memberikan pencerahan tentang berpolitik kepada masyarakat. “Sebuah fakta yang sangat miris tentunya bila gerakan pemberdayaan sosial, advokasi, pembelaan, konsultasi sosial, pengaduan justru lebih banyak di lakukan oleh kelompok NGO dan gerakan mahasiswa.

Padahal mestinya peran ini di mainkan secara maksimal oleh partai politik karena mereka hidup dan eksis dari ruang ini. Tidak akan kita temukan misalnya pasca pemilu partai politik kita akan terlihat di sudut-sudut desa, di pematang-pematang sawah, disetiap gardu, di sudut-sudut jalan berdebu sebagaimana dulu waktu berkampanye, karena jelas dikepala mereka ada anggapan bahwa tugas pengabdian telah usai, dan saatnya berjuang lewat parlemen. Anehnya semua pengurus partai juga berfikir begitu”. (Badrul. A.M : 2006 )

Mereka akan hadir ketengah-tengah masyarakat dan berlagak sebagai organisasi politik yang senantiasa memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat manakala musim Pemilu/Pilkada telah tiba. Lantas berdosakah kemudian kalau sebagian besar masyarakat memilih menjadi Golput, di tengan kebijakan pemerintah dan partai politik yang tidak pernah berpihak kepada mereka.

Sangat tidak adil kemudian kalau organisasi besar keislaman semacam Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa kampungan dan haram terhadap kalangan masyarakat yang lebih memilih menjadi Golput, tanpa melakukan pengkaji terhadap maraknya fenomena Golput di tengah masyarakat. Jangan heran kalau kemudian kehadiran kembali partai politik bersama para kandidat Cabup dan Cawabup pada saat momen Pilkada tiba ketengah masyarakat, seringkali di tanggapi dengan sikap dingin, caci maki, dan mulut mencibir, dari masyarakat.

Menghadapi kondisi semacam ini, partai politik, Cabup dan Cawabup biasanya, harus rela mengeruk kantung sedalam-dalamnya sebagai alat untuk menarik simpati dan dukungan dari masyarakat. Cara lain paling dianggap ampuh, dengan memanfaatkan tokoh kharismatik (Tuan Guru). Sebab Kalau tokoh sentralnya sudah mampu di seret mengikuti arus politik praktis, sudah barang tentu jamaah akan tunduk dan patuh dengan pilihan sang panutan. Model pendekatan yang di lakukan pun cukup beragam, dan terkesan rapi.

Dari silaturrahmi, lobi tingkat tinggi, pemberian konpensasi, sampai janji mendapatkan kursi. Dalam tren bahasa politik, biasa di sebut dengan politik balas jasa. Anehnya tokoh kharismatik sekaliber tuan guru gembala rohani sebagai pemegang otoritas tertinggi, yang diharapkan akan mampu mengedepankan sikap netralitas/demokratis, dihadapan jamaah, terkadang seringkali memanfaatkan masyarakat sebagai batu loncatan meraih jabatan dan kekuasaan.

Berbekalkan kharisma dan modal sosial kemasyarakatan, tidak sulit bagi tuan guru untuk melenggang meraih kursi kekuasaan. Giliran dikrtik akan eksistensi ketuanguruannya, maka dengan entengnya tuan guru akan menjawab. “Berdakwah pada dasarnya tidak hanya bisa dilakukan lewat pengajian di majlis ta’lim saja. Akan tetapi penerapan secara lansung dalam kehidupan rill, kebijakan-kebijakan yang diberlakaukan melalui kekuasaan justru lebih berpotensi menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat mungkin akan bisa diwujudkan.

Inilah realitas perpolitikan di NTB sekarang ini, khususnya di kabupaten Lombok Tengah. Kehadiran mereka, partai politik dan Cabup-Cawabut seringkali bagaikan benalu yang setiap saat bukannya membawa berkah, namun sebagai sumber musibah, Ditambah lagi dengan kondisi mental dan moralitas elit politik yang senantiasa doyan menjalani profesi sebagai politikus busuk, yang memiliki kebiasaan senang mencari muka/penjilat, demi mendapatkan ambisi kekuasaan.

Karena itu, ditengah semakin memudarnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadapa kinerja pemerintah, dan partai politik, khususnya dalam pelaksanaan Pemilu/Pilkada, kali ini. Untuk bisa memulihkan kembali tingkat kepercayaan masyarakat yang sudah semakin mengalami keterpurukan. Semestinya bisa dimanfaatkan Cabup dan Cawabup. Khususnya partai politik,untuk membangun kembali bargaining position, melalui gerakan pemberdayaan, advokasi, pendidikan dan intermediasi politik bagi masyarakat.

Dan yang terpenting bagaimana kemudian paradigma tentang pemilu kada yang di laksanakan selama ini, di kepala Cabup dan Cawabup, tidak lagi dimaknai sebagai ajang silaturrahmi mengumbar janji, dan bagi-bagi kursi semata, melainkan dijadikan sebagai media advokasi. Dengan demikian, “Menanti Bupati Berhati Nurani” mungkin akan bisa terealisasi Dan kehadiran partai politik di tengah-tengah masyarakat benar-benar diakui dan dirasakan kontribusinya sebagai ikon/garda depan dalam melakukan setiap perubahan dan memberikan pencerahan kepada masyarakat.

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis