Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Film Gunday, Kemanusiaam, Nasionalisme dan Pemberontakan

Ayomenulis. Perang atas nama dan alasan apapun dalam sejarah telah membawa penderitaan dan pengorbanan besar, baik bagi kelompok pemenang maupun kalah, tidak saja korban harta, tapi juga mengorbankan banyak nyawa masyarakat tidak berdosa, laki-laki, perempuan dan anak, harus kehilangan tempat tinggal, keluarga, saudara, anak dan orang tua

Film Gunday termasik film yang mengisahkan bagaimana kengerian ditimbulkan dari ahir perang dunia ketiga antara India dan Pakistan, 16 Desember 1971 dan lahirnya Negara baru Banglades yang dulu merupakan bagian dari wilayah Negara India, tapi belakangan memisahkan diri melalui serentetan perang dan diplomasi, Baca juga, Jemaah Ahmadiyah, Sembilan Tahun Dalam Pengungsian Tanpa Kepastian

Akibat dari peperangan tersebut, puluhan bahkan ratusan ribu masyarakat sipil harus kehilangan nyawa. Selama perang dan sesudahnya, warga banyak memilih mengungsi menyelamatkan diri mencari tempat lebih aman, termasuk dua anak yatim piatu korban perang, Bala dan Bikram, dua sahabat yang menjadi tokoh utama dalam film Gunday

Bagi teman – teman komunitas Dugem alias dunia peggemar atau penikmat film, film Gunday tentu sudah tidak asing lagi dan memang  film Gunday sendiri termasuk film negeri Hindustan India yang sudah lama tayang di layar lebar dan bisa jadi sudah termasuk film yang dianggap basi oleh para penikmat film untuk ditonton

Saya sendiri sebenarnya termasuk orang yang paling tidak terlalu suka menonton flm India sampai sekarang, sehingga tidak terlalu tau banyak tentang perkembangan film India, tapi secara tidak sengaja dalam salah satu kesempatan di tempat kos – kosan teman, terpaksa ikut menonton film Gunday yang diperankan oleh Bala dan Bikram sebagai tokoh utama

Alur cerita yang berlansung cukup menarik juga untuk dikupas dan diulas dalam bentuk resensi film. Gunday, film yang berkisah tentang kehidupan dua anak India korban perang, Bara dan Bikram. Diusia yang masih kecil, mereka sudah dihadapkan dengan kerasnya kehidupan dan merasakan lansung praktik penindasan dan perlakuan tidak adil dari aparat hukum sampai pejabat pemerintahan

Kehidupan keras, tuntutan perut, prilaku sewenang – wenang dan ketidak adilan aparat hukum pemerintahan turut membentuk Bala dan Bikram menjadi pribadi keras, nekat melakukan tindakan penuh resiko dan mempertaruhkan nyawa demi bertahan hidup. Saat berada di kamp pengungsian Bala dan Bikram berani terlibat penjualan senjata api illegal yang dilakukan oknum aparat demi sesuap nasi untuk bias tetap bertahan hidup

Kerasnya menjalani hidup tersebut juga telah membentuk karakter Bala dan Bikram menjadi pemberani dan pemberontak ketikan merasa ditindas dan mendapatkan perlakuan sewenang – wenang, hal tersebut dilakukan misalkan ketikan Bala dan Bikram menembak oknum aparat dari tentara India di lokasi pengungsian karena hendak memisahkan mereka berdua

Persahabatan, Cita – Cita dan Cinta

Salah satu mimpi besar Bala dan Bikram adalah menjadi pengusaha kaya di sektor migas dan batu bara, memiliki istana dan disegani banyak  orang dan itu terwujud setelah mereka berdua keluar melarikan diri dari kamp pengungsian menuju Calcuta, setelah membunuh oknum aparat saat terlibat penjualan senjata api ilegal

Mimpi tersebut mulai mereka wujudkan dengan melakukan aksi kriminal mencuri dan merampas paksa usaha batu bara milik salah seorang mafia di Calcuta, melalui usaha keras dan pengaruh dimiliki, apa dicita – citakan Bala dan Bikram membuahkan hasil

Karena kekompakan sebagai sahabat dan saudara juga, mereka memiliki banyak usaha di sector batu bara, tambang dan migas bernilai triliunan, memiliki banyak karyawan dan membagikan sebagian hasil usaha dijalankan kepada masyarakat tidak mampu

Tapi ketika sedang berada dipuncak, menikmati kejayaan sebagai orang kaya dan berpengaruh di Calcuta India, persahabatan dan persaudaraan Bala dan Bikram termasuk kerajaan usaha dijalankan secara perlahan mulai hancur, semua karena aksi mereka berdua bermusuhan memperebutkan seorang gadis bernama Nanditha

Seorang gadis yang ternyata merupakan inspektur polisi yang menyamar jadi penyanyi dan membuat mereka berdua jatuh hati dan sama – sama suka dengan Nanditha


Jamaah Ahmadiyah, Sembilan Tahun Dalam Pengungsian Tanpa Kepastian



google

Tiga hari lalu, tepatnya tanggal 1 Januari 2016, jutaan masyarakat di seluruh dunia telah merayakan tahun baru dengan semangat dan suka cita. di balik semangat dan suka cita tersebut juga terselip harapan dan doa, semoga di tahun baru 2016, akan ada perubuhan lebih baik bagi kehidupan setiap mereka yang merayakan, serta cita - cita dan impian bisa tercapai

Doa, harapan dan impian itu juga yang didambakan puluhan kepala keluarga Jamaah Amadiyah yang sampai saat ini hidup di lokasi pengungsian, asrama Transito Kota Mataram, tanpa kepastian. Terusir dari kampung halaman, tinggal dan menjalani hidup dalam pengungsian dengan segala keterbatasan,  bagi setiap orang tentu merupakan mimpi buruk yang tidak akan pernah diharapkan selama menjalani kehidupan dan pergaulan sosial di tengah masyarakat, karena hal tersebut tentu sangat menyakitkan

Tapi situasi dan kondisi itulah yang dirasakan puluhan warga Jamaah Ahmadiyah Lombok yang sampai sekarang hidup terkatung – katung di lokasi pengungsian, Asrama Transito Kota Mataram, tanpa ada kepastian jelas dari pemerintah, sampai kapan harus tetap hidup dan tinggal di lokasi pengungsian

Jamaah Ahmadiyah sendiri menempati asrama Transito, Kelurahan Monjok, Kota Mataram sebagai tempat mengungsi sejak tahun 2008, pasca penyerangan dan pengerusakan permukiman JA di Dusun Mesanggok, Desa Ketapang, Kaupaten Lomok Barat, tempat pengungsian yang dulu hanya berupa asrama dengan bangunan tua dan kumuh, menggunakan sekat dari kain sebagai tempat tinggal, di lokasi inilah puluhan warga Ahmadiyah tinggal sampai sekarang

Kini Desember 2015, keberadaan warga Ahmadiyah di lokasi pengungsian, asrama Transito Kota Mataram genap Sembilan tahun. Mimpi bisa kembali ke kampung halaman, berkumpul bersama keluarga, bercocok tanam dan hidup layak, aman serta terbebas dari rasa takut dari ancaman, sampai sekarang masih tetap tersimpan dan menjadi harapan

google
Mendapatkan keadilan, agar para pelaku kekerasan dan pengerusakan permukiman mereka diberikan hukuman setimpal, meminta pemerintah melakukan ganti rugi matriil dan non matrill akibat aksi berutal warga tanpa rasa kasihan dan berprikemanusiaan melakukan pengerusakan serta penjarahan terhadap asset peninggalan warga Ahmadiyah

Sebagaimana warga masyarakat lain, Jamaah Ahmadiyah juga menginginkan hidup layak, aman terbebas dari ketakutan, ancaman, mendapatkan akses layanan publik berkeadilan tanpa ada diskiminasi dan pembedaan dengan warga lain serta menjalani kehidupan, pergaulan sosial tanpa harus dikucilkan

Namun sampai sekarang harapan tersebut nampaknya masih akan menjadi sebatas mimpi dan entah sampai kapan akan terealisasikan, pasalnya keberadaan sekitar 70 kepala keluarga Jamaah Ahmadiyah di lokasi pengungsian oleh Pemerintah Daerah NTB maupun Pemerintah Kabupaten Lombok Barat sampai sekarang seakan tidak pernah dipedulikan

Meski upaya penyelesaian yang difasilitasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ombudsman dan sejumlah pegiat kemanusian seperti Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Tapi langkah tersebut tidak cukup mampu menuntaskan persoalan yang menimpa Jamaah Ahmadiyah
Berbagai diskusi, pertemuan dan kajian melibatkan berbagai kalangan, mulai dari tokoh agama dan aktivis pegiat kemanusiaan dari Lembaga Swadaya Masyarakat serta pemangku kebijakan juga tidak cukup menjadi jawaban.

Rekomendasi dihasilkan tetap saja sebatas rekomendasi tanpa ada penyelesaian. Pemda NTB termasuk Pemkab Lombok Barat sendiri seakan lepas tangan, saling melempar tanggung jawab kalau hal tersebut bukan merupakan kewenangan mereka

google
Sisi Kemanusiaan

Ketika berbicara Ahmadiyah, sebagian orang atau kelompok masyarakat terutama kelompok mayoritas di NTB seringkali melihat dan memposisikan Ahmadiyah dari sisi keyakinan semata dengan pemberian label negatif kelompok sesat dan menyesatkan dan atas dasar pandangan itulah menjadi alas an pembenaran melakukan aksi dan tidak kekerasan

Sementara sisi kemanusiaan dan dampak social terhadap Jamaah Ahmadiyah terutama perempuan dan anak – anak Ahmadiyah sebagai manusia dan warga negara, mahluk ciptaan tuhan yang juga berhak menikmati penghidupan layak kerap diabaikan

Negara dan pelaku kekerasan seringkali abai, bahwa warga Ahmadiyah juga manusia, warga negara yang juga memiliki hak sama dan dijamin undang – undang untuk hidup tenang dan menjalankan keyakinan, terbebas dari berbagai bentuk tindak kekerasan

google
Dalam kasus aksi kekerasan dan pengusiran terhadap Jamaah Ahmadiyah Ketapang, Kabupaten Lombok Barat, selain menimbulkan kerugian matriil berupa hilangnya tempat tinggal juga berdampak terhadap psikologis, meninggalkan trauma mendalam bagi Jamaah Ahmadiyah sampai sekarang

Sudah pasti yang paling merasakan imbas dari setiap aksi kekerasan dilakukan kelompok masyarakat yang mengatasnamakan keyakinan sebagai alas an pembenaran adalah anak  - anak dan kaum perempuan yang melihat dan mengalami secara lansung aksi kekerasan tersebut dan jelas akan menyisakan trauma mendalam dan berdampak buruk terhadap psikologis maupun mental anak

Menutup catatan ini saya ingin mengutip bahasa Gusdur, “Tuhan tidak butuh dibela” atau “kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak Tanya apa agamamu”, ya perbedaan keyakinan tidak seharusnya dijadikan sebagai alas an melakukan tindak kekerasan, tapi justru untuk saling menguatkan

Ayo Menulis