Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Menikmati Keindahan Pantai dan Pasir Putih Gili Kondo



Sejumlah pengunjung saat berkeliling di Gili Kondo Kabupaten Lombok Timur

Ayomenulis. Selama ini di mata wisatawan domestik maupun mancanegara, ketika datang berkunjung dan berlibur ke Pulau Lombok, objek wisata yang banyak diketahui dan paling sering dikunjungi pasti Pantai Senggigi, tiga Gili di Kabupaten Lombok Utara, Gili Terawangan, Gili Air dan Meno kemudian Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), sementara objek wisata lain belum banyak diketahui, apalagi sampai sering dikunjungi, Baca, Air Terjun Jeruk Manis dan Wisata Alam Pegunungan Rinjani

Padahal masih banyak lagi objek wisata lain yang pesona dan keindahan dimiliki tidak kalah dengan objek pariwisata yang selama ini dikenal dan sering dikunjungi wisatawan, Gili Kondo Kabupaten Lombok Timur misalkan memiliki keindahan tidak kalah menarik, mulai dari bentangan pasir putih sepanjang pinggir Gili dengan air laut kebiruan, menjadikan Gili Kondo tampak indah dan eksotik sebagai tempat mencari ketenangan dan menghabiskan liburan

Gelombang air laut di sepanjang pinggir pantai Gili Kondo sampai beberapa meter ke tengah laut juga tidak keras dan tenang, sangat cocok dijadikan sebagai tempat untuk mandi sambil bermain pasir, melepas penat, usai menempuh perjalanan melakukan penyebrangan menggunakan perahu dari pinggir pantai Labuhan Lombok, Kabupaten Lombok Timur

Bagi wisatawan yang mungkin ingin melakukan surving, Gili kondo juga menjadi pilihan tepat melakukan surving bersama untuk melihat keindahan terumbu karang dasar laut Gili Kondo. Selain itu yang membedakan Gili Kondo dengan tiga Gili lain di Kabupaten Lombok Utara adalah suasana lingkungan alam sekitar termasuk sepanjang pantai yang belum berpenghuni

Foto : Turmuzi
Kalau tiga Gili Kabupaten Lombok Utara sudah mulai dipadati bangunan dan banyak penghuni, Hampir seluruh daratan dan pinggiran pantai Gili Kondo justru hanya dipenuhi dengan semak belukar dan pepohonan yang tumbuh secara liar dan beberapa unit balai-balai terbuat dari bambu beratapkan ilalang yang nampak sudah mulai lapuk menghadapa laut Gili Kondo

Sehingga sangat cocok dijadikan sebagai lokasi mencari  ketenangan setelah selama sepakan disibukkan dengan berbai aktivitas dan beban pekerjaan yang membuat fikiran dan kepala terasa penat. Gili Kondo biasanya akan banyak dikunjungi warga menjelang libur panjang maupun libur ahir pekan baik dari warga local maupun warga dari luar

Memasuki dan menginjakkan kaki di Gili Kondo wisatawan akan disuguhkan dengan pemandangan wisata alam dan pantai yang mampu mendatangkan ketenangan dan kedamaian.  Tidak jauh dari Gili Kondo juga terdapat dua Gili lain, yakni Gili Lampu dan Gili Maban, berderet ke utara, kedua Gili tersebut juga termasuk dua gili belum berpenghuni dan masih belum banyak dikunjungi wisatawan local maupun mancanegara.

Sama halnya dengan Gili Kondo, kedua Gili tersebut juga termasuk Gili yang memiliki keindahan alam dan bentangan pantai yang masih sangat alami. Nah bagi anda yang secara kebetulan datang berlibur ke Lombok, selain tiga Gili yang selama ini dikenal di Kabupaten Lombok Utara, tidak ada salahnya anda mencoba berkunjung dan menghabiskan libur ahir pekan di tiga Gili Kabupaten Lombok Timur, khususnya Gili Kondo dan dua Gili lain

foto : Turmuzi
Untuk menuju Gili Kondo, dari Bandara Internasional Lombok (BIL) wisatawan terlebih dahulu ke Kota Mataram menggunakan taksi atau bus damri, kemudian dari Kota Mataram wisatawan bisa menyewa mobil rencar ataupun speda motor menuju Labuhan Lombok, Kabupaten Lombok Timur dengan waktu tempuh sekitar dua jam lebih

untuk bisa mencapai Gili Kondo, dari pinggiran pantai Labuhan Lombok menuju Gili Kondo, wisatawan harus naik perahu cukup dengan membeli tiket seharga 25 ribu perorang, dengan jarak tempuh sekitar satu jam, maka anda bisa lansung menikmati pesona dan keindahan Gili Kondo sambil mandi dan bermain pasir

Selain itu, bagi wisatawan yang hendak berlibur ke Gili Kondok sebagaiknya membawa perbekalan baik air maupun makanan dan peralatan kemah bagi wisatawan yang mungkin ingin menginap, sebab di Gili Kondo belum berpenghuni, sehingga tidak ada penjual makanan maupun tempat penginapan, selain hanya semak belukar, pepohonan dan beberapa unit balai dari bamboo beratapkan ilalang

Bukan Sekedar Belajar Bahasa Indonesia


googel

Ayomenulis. Dalam salah satu kesempatan bersama dua teman lain pernah diminta seorang teman membantu memeriksa dan memberikan penilaian terhadap ratusan tulisan peserta lomba menulis essay  tingkat Sekolah Mnenengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) se-Nusa Tenggara Barat, dengan mengangkat tema “Berbagi Untuk NTB” yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) NTB, Petualangan Cinta Intelektual Kampus

Ada sekitar seratusan lebih siswa yang mengirimkan tulisan, baik melalui email maupun sofcopy, jumlah ini dilur prediksi panitia, karena dalam sejarah setiap lomba menulis diselenggarakan, jarang-jarang jumlah peserta bisa sebanyak itu, karena memang lomba menulis dikalangan pelajar, mahasiswa dan masyarakat secara umum di NTB kurang terlalu banyak peminat. 

Berbeda misalkan dengan lomba lain, sebut saja lomba debat bahasa inggris, menggambar, maupun beberapa jenis lomba lain, sudah pasti peminat akan tinggi. Peserta lomba yang mencapai ratusan orang tersebut tentu sangat mengagumkan, karena jarang-jarang setiap lomba menulis dselenggarakan, peserta sampai ratusan. Ada rasa bangga melihat antusiasme pelajar untuk menulis dan mau berbagai, sebagaimana tema lomba

Meski merasa sedikit prihatin juga saat memeriksa satu persatu dari ratusan tulisan siswa yang masuk ke email panitia maupun yang dikirim lansung dalam bentuk sofcopy, masih banyak di anatara ratusan siswa yang belum bisa membedakan anatara tulisan opini, essay, makalah dan naskah hotbah. Sebagian besar tulisan yang masuk masih berupa makalan dengan membuat kata pengantar serta pendahuluan

googel
Tapi memang bisa dimaklumi, selain masih sama-sama belajar, di lingkungan sekolah selama puluhan  tahun bahkan semenjak masih Sekolah Dasar (SD), pelajaran  bahasa Indonesia yang diajarkan guru kebanyakan tentang pembelajaran tata bahasa, ejaan yang disempurnakan (EYD), maupun Subjek Predikat, Objek dan Keterangan (SPOK), selebihnya kemudian motode pembelajaran diterapkan adalah catat buku sampai habis (CBSA)

Sedikit sekali misalkan guru bahasa Indonesia mau mengajarkan siswa bagaimana menangkap gagasan dari pristiwa atau fenomena masyarakat dan lingkungan sekitar, siswa lebih banyak dijejali dan dituntut dengan sistem pembelajaran formal sebagaimana telah diatur dalam kurikulum , agar bisa mengejar target kelulusan dan model pembelajatan semacan ini, kalau kata kritikus sistem pendidikan kapitalis, Paulo Freir menjadikan peserta didik tidak ubahnya seperti sapi perahan

Padahal sistim pendidikan kekinian lebih dituntut pada model pembelajaran partisipatif, di mana siswa diharapkan lebih banyak terlibat aktif selama kegiatan pembelajaran berlansung dan memang dengan kemajuan perkembangan informasi seperti sekarang, sumber informasi dan pembelajaran tidak lagi bertumpu pada guru dan buku mata pelajaran semata

googel
Sehingga dalam kegiatan pembelajaran keberadaan guru dan siswa tidak lagi sekedar subjek dan predikat, dimana apa kata guru peserta didik mengikuti, melainkan lebih diposisikan sebagai mitra melakukan sharing pengalaman dan pengetahuan. Peserta didik harus lebih banyak diberikan ruang kebebeasan mengemukakan ide, gagasan serta menggali berbagai potensi diri dimiliki

Dengan demikian aktivitas pembelajaran tidak bertumpu pada kurikulum pembelajaran semata, termasuk juga pelajaran bahasa Indonesia, guru bahasa seharusnya tidak sekedar mengajarkan materi pembelajaran bahasa sebagaimana termuat dalam kurikulum pembelajaran berupa SPOK, EYD dan mencatat materi pembelajaran lain hanya untuk misi mencapai kelulusan

Karena model pembelajaran tersebut selain cepat mendatangkan kebosanan, juga tidak mampu membangun suasana pembelajaran menyenangkan di kalangan peserta didik dan hanya akan melahirkan peserta didik yang hanya pandai meniru atau mengutif omongan orang, membeo dan membebek sebagaimana dikemukakan Paulo Freir dalam buku kapitalisme pendidikan

Mengutif kembali perkataan sang tokoh pendidikan Indonesia, Kihajar Dewantara, bahwa pembelajaran yang sesungguhnya adalah bagaimana manusia memanusiakan manusia. Pembelajaran diajarkan harus mampu menjadikan peserta didik menjadi pribadi yang tidak hanya berpengetahuan, tapi juga memiliki jiwa pembelajaran, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk lebih berkembang, berwawasan. Semoga  

Gelar Kependidikan, Haruskah Jadi Beban?



googel
Ayomenulis. Dalam satu tahun terahir saya sempat jadi ajang curhatan beberapa teman maupun adik kelas semasa kuliah dulu yang telah merampungkan pendidikan pascasarjana (S2) maupun yang sekarang ini masih menempuh studi pascasarjana S2 semester ahir di sejumlah universitas ternama Yogyakarta maupun Jakarta. Menelpon dan bercerita bagaimana susahnya diterima menjadi tenaga pengajar di beberapa Perguruan Tinggi (PT) negeri maupun swasta di NTB

Pengakuan paling miris dari seorang teman kuliah satu jurusan dulu di Mataram dan tahun kemarin menuntaskan studi pascasarjana di salah satu universitas terkenal di Jakarta dengan predikat nilai amat baik. Dia mengaku sempat merasa frustasi, pasalnya berkas lamaran yang dimasukkan ke perguruan tinggi tempat dia menyelesaikan studi strata satu dulu, jangankan diterima mengajar, dilihat saja tidak pernah, cerita teman tersebut 

Beberapa hari lalu, secara tidak sengaja, saya juga sempat membaca percakapan dua orang di dinding facebook. Satunya laki dan baru saja wisuda, sementara satunya lagi masih mahasiswi semeter ahir. Mahasiswi membuat status tentang suasana hatinya yang sedang galau kepingin kuliner bareng dengan yang tersayang yang lulus mendapatkan beasiswa pascasarhana Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan dan saat itu sedang mendapatkan pengayaan bahasa di Jakarta

Sementara mahasiswa, berbicara dengan sedikit berkeluh kesah tentang kegalauan suasana hatinya yang resah dan gelisah, bingung mau mengerjakan apa dan mau berbuat apa setelah wisuda, mau melanjutkan studi ke jenjang strata dua (S2) tidak ada biaya, mau mengajar tidak ada tempat, karena setiap sekolah swasta dan negeri tempat mengajukan lamaran tidak lagi menerima guru baru, karena sudah penuh. Ya mau gmn lagi curhat mahasiswa kepada mahasiswi

Cerita berbeda datang dari salah seorang teman yang bekerja sebagai staf tata usaha di salah satu perguruan tinggi swasta Mataram, bagaimana seorang dosen muda bergelar doktor marah-marah kepada mahasiswanya, lantaran minta diberikan kemudahan mendapatkan nilai, karena ingin segera wisuda

googel
Sambil bekecak pinggang, dosen muda bergelar doktor tersebut berkata, kamu ini enak sekali ya mau mendapatkan nilai dengan mudah untuk segera wisuda, kamu tidak tau, saya ini sudah kuliah bertahun-tahun dan menghabiskan biaya banyak untuk mendapatkan gelar doktor, semua sudah saya jual, mungkin bumi sama langit ini saja yang belum saya jual, hardik doktor muda tersebut dengan mata melotot, cerita teman tersebut menirukan bicara sang doktor muda kepada mahasiswa

Kisah mahasiswa dengan mahasiswi dan dosen muda bergelar doktor dengan mahasiswa tersebut, mungkin satu dari sekian kisah mahasiswa, kaum berpendidikan yang menghabiskan waktu, biaya dan tenaga menempuh pendidikan hingga jenjang tinggi sampai bertahun lamanya, tapi sekembali dari menempuh studi dengan gelar tinggi, tidak sedikit harus gigit jari, karena tidak kebagian tempat untuk mengabdi

Suatu kondisi dan kenyataan, bahwa gelar kependidikan dan selembar ijazah didapatkan dari lembaga pendidikan tidak selalu membawa keberuntungan dan bisa berbalik jadi beban, ketika gelar kependidikan yang didapatkan melalui perjuangan selama bertahun-tahun dengan waktu, biaya dan keringat bercucuran tersebut tidak mampu mengantarkan pemilik gelar pada tingkatan hidup dan status social diharapkan

Bukan bermaksud mau mengukur, membandingkan dan memposisikan pendidikan dari kacamata matrialistik, pekerjaan dan uang semata, tapi harus diakui bahwa seidealisme misi orang menempuh pendidikan di tengah persaingat hidup yang semakin gila_gilaan, muara ahir dari tujuan orang menempuh pendidikan, bahasa bodohnya, adalah mencari pekerjaan, status social, kebutuhan dan tuntutan kenaikan pangkat dan jabatan

Menempuh pendidikan atas dasar tuntutan keilmuan di era kompetisi dan persaingan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan layak, mungkin hanya akan menjadi dongeng kehidupan yang hanya bisa ditemukan dalam bentuk buku-buku catatan. Tidak heran kebanyakan mahasiswa mencukupkan diri menempuh pendidikan sampai strata satu dan ingin lansung masuk dunia kerja

googel
Karena selain kemampuan keuangan untuk melanjutkan jenjang pendidikan tidak memungkinkan, dalam kenyataannya gelar kependidikan dan jenjang pendidikan tinggi juga tidak cukup menjanjikan seseorang mendapatkan penghidupan yang lebih baik

Karena memang harus diakui kebanyakan lembaga pendidikan tinggi terutama di Indonesia, khususnya di NTB, kurikulum diajarkan sifatnya masih berupa teori hafalan sedikit sekali bagaimana mengarahkan mahasiswa setelah keluar dari lembaga pendidikan selain memberikan gelar kependidikan juga membekali dengan keterampilan. 

Walhasil alih-alih mendapatkan penghidupan membahagiakan, gelar kependidikan disandang tidak sedikit harus jadi beban dan terjebak jadi sarjana pengangguran. Tidak heran baru semester bawah saja mahasiswa suda mulai dipusingkan dan dihantui ketakutan-ketakutan bagaimana masa depan, apa yang mesti harus dikerjakan setelah ijazah dan gelar kependidikan disandang

Rizki sudah diatur tuhan, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu, kalau sudah berilmu tidak akan mengalami kesusahan itulah nasehat dan pelajaran yang kerap diajarkan para guru dan kaum berpendidik di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lain, namu sekali lagi, zaman tidak pernah mundur ke belakang, tapi terus maju ke depan, beda zaman, beebeda pula kondisi dan kedaan. Kata orang bijak pintar saja tidak cukup jadi acuan, harus juga dibarengin dengan keterampilan

Kenyataannya mahasiswa, guru, dosen dan kaum berpendidikan bergelar profesor sekalipun menempuh pendidikan, motivasinya tidak lagi murni atas tuntutan keilmuan semata, melainkan lebih pada bagaimana dengan gelar kependidikan tersebut bisa mempercepat kenaikan kepangkatan, tunjangan dan persyaratan mendapatkan jabatan 

Setiap tahun ribuan bahkahkan ratusan ribu sarjana lulusan lembaga pendidikan perguruan tinggi negeri dan swasta dihasilkan dan saat ini sebagian besar di antaranya masih menganggur, karena sempitnya lapangan pekerjaan ditambah dengan kelompok masyarakat dengan jenjang pendidkan rendahan

googel
Belum lagi sarjana lulusan dari perguruan tinggi sempalan, yang cukup kuliah satu tahun atau senin selasa bisa dengan cepat mendapatkan gelar sarjana. Tidak terkecuali juga mereka yang dengan gelar master, doctor bahkan professor yang belakangan Jumlahnya juga semakin berjubelan dan tidak ketulungan dengan satu misi dan tujuan, mencari pekerjaan!

Jangan sampai kemudian Sarjana dengan gelar kependidikan yang seharusnya membawa perubahan, tapi setelah di masyarakat justru menjadi beban, menimbulkan kekacauan, tukang palak, menenteng proposal kegiatan dan melakukan penindasan dan penipuan sebagai jalan pelampiasan

Mengutif perkataan Lery Ellisen, seorang CEO Oracle Corp Amerika Serikat,  pada suatu kesempatan diundang memberi pidato pembukaan kelas 2000 Universitas Yale dan ‘diseret turun’ dari panggung sebelum menyelesaikan pidatonya, lantaran dianggap menjatuhkan mental sarjana lulusan universitas tersebut

Lulusan Yale University, saya minta maaf bila anda telah mengalami prolog seperti ini sebelumnya, namun saya ingin anda melakukan sesuatu untuk diri Anda semdiri. Tolong lihatlah sekeliling anda dengan baik. Lihatlah teman di sebelah kiri dan kanan anda. 

Sekarang pikirkan ini, 5 tahun dari sekarang, 10 tahun dari sekarang, bahkan 30 tahun dari sekarang, kemungkinannya adalah orang di sebelah kiri Anda akan menjadi pecundang. Orang di sebelah kanan anda juga akan jadi pecundang. Dan anda di tengah? Apa yang Anda harapkan? Pecundang, pecundang, cum laude pecundang.

Nyatanya ketika saya melihat ke hadapan saya sekarang, saya tidak melihat seribu harapan untuk masa depan yang cerah. Saya tidak melihat pemimpin masa depan dalam seribu industri. Saya melihat seribu pecundang. Anda kesal. Itu bisa dimengerti. Sudah dikatakan bahwa abad ke-20 adalah abad di mana gelar akademik dari universitas sangat penting, tapi tidak lagi di abad 21. Kecendrungan ini sudah dimulai di AS, Jepang, dan kemudian di seluruh dunia.


Ayo Menulis