Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Bukan Sekedar Belajar Bahasa Indonesia


googel

Ayomenulis. Dalam salah satu kesempatan bersama dua teman lain pernah diminta seorang teman membantu memeriksa dan memberikan penilaian terhadap ratusan tulisan peserta lomba menulis essay  tingkat Sekolah Mnenengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) se-Nusa Tenggara Barat, dengan mengangkat tema “Berbagi Untuk NTB” yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) NTB, Petualangan Cinta Intelektual Kampus

Ada sekitar seratusan lebih siswa yang mengirimkan tulisan, baik melalui email maupun sofcopy, jumlah ini dilur prediksi panitia, karena dalam sejarah setiap lomba menulis diselenggarakan, jarang-jarang jumlah peserta bisa sebanyak itu, karena memang lomba menulis dikalangan pelajar, mahasiswa dan masyarakat secara umum di NTB kurang terlalu banyak peminat. 

Berbeda misalkan dengan lomba lain, sebut saja lomba debat bahasa inggris, menggambar, maupun beberapa jenis lomba lain, sudah pasti peminat akan tinggi. Peserta lomba yang mencapai ratusan orang tersebut tentu sangat mengagumkan, karena jarang-jarang setiap lomba menulis dselenggarakan, peserta sampai ratusan. Ada rasa bangga melihat antusiasme pelajar untuk menulis dan mau berbagai, sebagaimana tema lomba

Meski merasa sedikit prihatin juga saat memeriksa satu persatu dari ratusan tulisan siswa yang masuk ke email panitia maupun yang dikirim lansung dalam bentuk sofcopy, masih banyak di anatara ratusan siswa yang belum bisa membedakan anatara tulisan opini, essay, makalah dan naskah hotbah. Sebagian besar tulisan yang masuk masih berupa makalan dengan membuat kata pengantar serta pendahuluan

googel
Tapi memang bisa dimaklumi, selain masih sama-sama belajar, di lingkungan sekolah selama puluhan  tahun bahkan semenjak masih Sekolah Dasar (SD), pelajaran  bahasa Indonesia yang diajarkan guru kebanyakan tentang pembelajaran tata bahasa, ejaan yang disempurnakan (EYD), maupun Subjek Predikat, Objek dan Keterangan (SPOK), selebihnya kemudian motode pembelajaran diterapkan adalah catat buku sampai habis (CBSA)

Sedikit sekali misalkan guru bahasa Indonesia mau mengajarkan siswa bagaimana menangkap gagasan dari pristiwa atau fenomena masyarakat dan lingkungan sekitar, siswa lebih banyak dijejali dan dituntut dengan sistem pembelajaran formal sebagaimana telah diatur dalam kurikulum , agar bisa mengejar target kelulusan dan model pembelajatan semacan ini, kalau kata kritikus sistem pendidikan kapitalis, Paulo Freir menjadikan peserta didik tidak ubahnya seperti sapi perahan

Padahal sistim pendidikan kekinian lebih dituntut pada model pembelajaran partisipatif, di mana siswa diharapkan lebih banyak terlibat aktif selama kegiatan pembelajaran berlansung dan memang dengan kemajuan perkembangan informasi seperti sekarang, sumber informasi dan pembelajaran tidak lagi bertumpu pada guru dan buku mata pelajaran semata

googel
Sehingga dalam kegiatan pembelajaran keberadaan guru dan siswa tidak lagi sekedar subjek dan predikat, dimana apa kata guru peserta didik mengikuti, melainkan lebih diposisikan sebagai mitra melakukan sharing pengalaman dan pengetahuan. Peserta didik harus lebih banyak diberikan ruang kebebeasan mengemukakan ide, gagasan serta menggali berbagai potensi diri dimiliki

Dengan demikian aktivitas pembelajaran tidak bertumpu pada kurikulum pembelajaran semata, termasuk juga pelajaran bahasa Indonesia, guru bahasa seharusnya tidak sekedar mengajarkan materi pembelajaran bahasa sebagaimana termuat dalam kurikulum pembelajaran berupa SPOK, EYD dan mencatat materi pembelajaran lain hanya untuk misi mencapai kelulusan

Karena model pembelajaran tersebut selain cepat mendatangkan kebosanan, juga tidak mampu membangun suasana pembelajaran menyenangkan di kalangan peserta didik dan hanya akan melahirkan peserta didik yang hanya pandai meniru atau mengutif omongan orang, membeo dan membebek sebagaimana dikemukakan Paulo Freir dalam buku kapitalisme pendidikan

Mengutif kembali perkataan sang tokoh pendidikan Indonesia, Kihajar Dewantara, bahwa pembelajaran yang sesungguhnya adalah bagaimana manusia memanusiakan manusia. Pembelajaran diajarkan harus mampu menjadikan peserta didik menjadi pribadi yang tidak hanya berpengetahuan, tapi juga memiliki jiwa pembelajaran, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk lebih berkembang, berwawasan. Semoga  

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis