Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Sekolah Mengajariku Serakah

“Nenek ingin aku memperoleh pendidikan, karenanya ia melarangku sekolah” (Margaret Mead)
......Apagun
a kita memiliki sekian ratus alumni sekolah yang cerdas, tetapi masa rakyat di biarkan bodoh? Segeralah kaum sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka (Y.B. Mangunwijaya).

Demikianlah gambaran dunia pendidikan sekarang ini. Pendidikan bukan lagi berfungsi sebagai wadah/media pencerdasan bagi masyarakat sebagaimana yang telah di amanatkan dalam UUD 1945 antara lain “Mencerdaskan kehidupan Bangsa”, atau sebagai sarana memanusiakan manusia, akan tetapi justru berbalik arah dan dialih fungsikan sebagai sarana untuk melakukan praktek pembodohan bagi masyarakat.

Berapa banyak kita temukan dan baca di media masa, entah melalui media elektronik maupun cetak lembaga pendidikan terkenal sebagai lembaga pendidikan favorit bahkan bertaraf internasional yang sudah go publik di dunia, mampu menghasilkan lulusan dan alumni yang konon ceritanya dengan kualitas yang sudah tidak di ragukan lagi. Akan tetapi mejadi penting untuk merenungkan barang sejenak.

Lantas sudahkah para lulusan tersebut memanfaatkan kepintaran yang mereka miliki sepenuhnya untuk meberikan pencerahan terhadap masyarakat?. Sudahkah kepintaran mereka di pergunakan dan di manfaatkan bagi terciptanya masyarakat yang maju dan bermartabat?. Sudahkah eksistensi dari pengetahua yang di dapatkan mereka fungsikan sebagai upaya manusia memanusiakan manusia? pertanyaan semacam inilah kemudian yang menjadi problem mengapa lembaga pendidikan di dunia selalu di hujat kririk para ilmuan seperti Paulo Freir, yang menawarkan konsep pendidikan pembebasan..

Di Indonesia lembaga pendidikan hanpir setiap saat senantiasa mendapat hujan kritik dari orang-orang yang sudah tidak lagi memandang lembaga pendidikan sebagai lembaga yang menghasilkan manusia cerdas dan mencerdaskan. Akan tetapi lembaga pendidikan yang ada saat ini tidak lebih hanya sekedar lembaga yang hanya mampu melahirkan manusia-manusia penjajah, serakah dan bermentalkan pecundang. Karena sekolah yang seharusnya berfungsi sebagai sarana transformasi pengetahuan berubah menjadi lembaga pencerdasan tetapi membodohkan.

Artinya bahwa output yang di hasilkan lembaga pemdidikan sekarang ini memang banyak menghasilkan manusia cerdas, akan tetapi dengan kecerdasan yang mereka miliki justru di manfaatkan untuk melakukan praktek pembodohan. Terjadinya hal semacam ini, tentunya tidak bisa terlepas dari kiprah para penguasa, baik di tataran pemerintahan maupun pengelola lembaga pendidikan.
Mereka para penguasa senantiasa menempatkan lembaga pendidikan tidak lebih hanya sekedar sebagai tempat melakukan ekploitasi, dan lahan mengeruk keuntungan. Tidak heran kemudian kalau banyak kita temukan orang yang memiliki kecerdasan yang semestinya membawa keberkahan, justru berbalik arah bisa mendatngkan kehancuran. Coba tengok sejenak di sekeliling kita entah itu di instansi pemerintahan maupun pendidikan.

Betapa banyak kita temukan orang-orang cerdas namun tidak jarang menjadi bumerang bagi terciptanya prubahan. Ini semua merupakan hasil didikan sekolah. Tidak salah kemudian kalau Muhammad Iqbal pernah mengeluarkan pernyataan yang sepintas lalu, memang terkesan anarkis untuk di dengarkan, akan tetapi demikianlah memang kondisi yang sebenarnya terjadi “Aku tamat dari sekolah dan pesantren penuh duka. Di situ tak kutemukan kehidupan, tidak pula cinta, tak kutemukan hikmah, dan tidak pula kebijaksanaan. Guru-guru sekolah adalah orang yang tak punya nurani, mati rasa, mati selera. Dan kyai-kyai adalah orang yang tak punya hikmah, lemah cita dan miskin pengalaman”.

Lantas siapakah yang mesti di salahkan?. Pemerintahkah, masyarakat atau sekolah yang memang tempat mereka para pelajar ditempa, dan dididik menjadi manusia terdidik. Entahlah, namun yang jelas terlepas dari siapa salah dan benarnya tentuya sedikit tidak akan menjadi bahan refleksi dan Evaluasi bagi pemerintah untuk melakukan sebuah terobosan baru, dengan melakukan pembenahan dan pembersihan di lingkungan instansi pemerintahan dari orang-orang yang senantiasa mencari keuntungan pribadi khususnya di lingkungan yang menangani bidang pendidikan seperti DIKNAS, DIKPORA, dan, DEPAG yang selama ini di pandang masyarakat sebagai sarang korupsi anggaran pendidikan.

Dan yang terpenting adalah perlunya melakukan pengkajian dan mrenovasi ulang tentang hakekat, makna, dan fungsi pendidikan yang sesunguhnya sebagai “Upaya Manusia Memanusiakan Manusia”. Dengan demikian apa yang menjadi impian dan cita-cita bangsa indonesia selama ini “mencerdaskan kehidupan bangsa menuju masyarakat yang adil, maju, dan bermartabat mungkin akan bisa tercapai.

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis