Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Wisuda, Antara Harapan dan Kepengecutan

Nongkrong, berkumpul, dan berbaur bersama di pojok kantin, halaman kampus, bahkan di tempat parkiran speda motor, di temani segelas es/kopi hangat, dan snack, sambil berdiskusi hampir merupakan aktifitas yang sangat mengasikkan bagi kalangan mahasiswa, khususnya di kalangan para aktifis kampus untuk di lakukan. Bahkan sudah menjadi tradisi dan sarapan pagi yang tidak pernah hilang sampai sekarang.

Tema diskusi pun beragam mulai dari yang berbau wanita, seputar politik, sampai pada persoalan pilihan hidup dan masa depan. Ya persoalan wanita dan masa depan, memanag tidak hanya asik diperbincangkan para aktivis sebagai insan akademis, di kalangan banyak orang pun selalu menjadi bahan perbincangan yang tidak pernah habis dan bosan-bosannya untuk di dengarkan, karena memang merupakan sebuah kebutuhan. Bahkan tidak jarang berahir dengan perdebatan.

Apalagi bahasan yang didiskusikan sudah memasuki ranah akademis, khususnya terkait persoalan mengenai keberadaan, dan prospek seorang mahasiswa kedepannya, setelah wisuda dengan menyandang titel. Apa yang mesti bisa di lakukan?. Pertanyaan inilah yang hingga sekarang ini selalu menjadi bahaan perbincangan dan perdebatan paling menegangkan, dan tidak pernah mampu memberikan jawaban yang memuaskan.

Tidak heran kemudian, kalau perbincangan sudah menyangkut persoalan wisuda, biasanya bagi sebagian kalangan aktivis kampus, terutama yang makamnya agak lebih tinggian dianggap sebagai bahan yang tidak terlalu menarik untuk didiskusikan. Bahkan cendrung di abaikan. Mereka cendrung lebih tertarik membicarakan isu-isu seputar politik, menghanyutkan diri dalam aktifitas-aktifitas kerorganisasian, bersaing memperebutkan kursi kepemimpinan, dan sibuk menggalang jaringan.

Yang nantinya akan di jadikan sebagai batu loncatan menggapai harapan, untuk bisa masuk dalam lingkaran kekuasaan. Bagi mereka masalah wisuda, terkadang sering di abaikan, dan tidak pernah terlalu di hiraukan sebagai sebuah kewajiban. Namun lebih dianggap sebagai beban yang perlu di kesampingkan. Meskipunpun begitu, dalam berbagai kesempatan, ada saja sesekali dari mereka yang mencoba memulai perbincangan, mengenai keinginan untuk segera wisuda dan mencari pekerjaan.

Lantas, secara sepontan salah seorang dari mereka yang lebih senioran akan berseloroh/mengatakan “Untuk apa kalian cepat-cepat wisuda, apa yang mau kalian dapat. Mau jadi pegawai negeri sipil itu bukan perkara gampang. Kalau tidak punya teman, keluarga dekat, dan uang banyak, jangan pernah bermimpi bisa jadi PNS. Orang pintar saja masih banyak yang menganggur menungguh giliran kebagian jatah. Coba kalian lihat, mereka yang mau wisuda itu, calon pengangguran semua”.

Itulah kata-kata yang senantiasa masih sangat jelas terngiang-ngiang dalam ingatanku. Kata-kata itu begitu bombastis terlontar dari mulut para aktivis senior, setiap kali terlibat dalam perbincangan, seputar keoptimisan sebagian kalangan mahasiswa, yang terlalu mendewa-dewakan, dan membanggakan, kalau dengan jalan cepat wisuda akan bisa di jadikan sebagai batu loncatan untuk bisa menggapai masa depan. Mencuatnya persepsi semacam itu penulis pikir merupakan sebuah kewajaran, dan sah-sah saja untuk di lakukan oleh semua orang.

Namun terkadang sempat juga terbersit semacam pertanyaan yang begitu mengganjal dalam benak saya. apakah mereka mengeluarkan statement semacam itu sebagai sebuah bentuk motivasi, dengan mengacu pada analisis realitas sosial, atau memang karena adanya semacam dorongan dari dalam diri mereka sebagai sebuah bentuk ekspresi, dan luapan kekecewaan atas kegagalan mereka menuntaskan studinya selama mengenyam pendidikan di bangku kuliah.

Meski dalam realitas sosialnya, persoalan wisuda memang merupakan persoalan yang cukup pelik dan sangat dilematis bagi kalangan mahasiswa. Karena memang sangat erat kaitannya dengan beban moral. Tidak heran kemudian kalau mahasiswa sekaliber aktivis dengan segudang pengalama, jaringan, dan berbekalkan sedikit keterampilan saja masih sedikit mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan. Apalagi mereka (mahasiswa) yang hanya bermodalkan keinginan, harapan, dan impian menunggu keberuntungan. Sudah barang tentu akan banyak mengalami kesulitan.

Karena kalau di amati dari sisi psikologis, sebagian besar mahasiswa pada dasarnya masih belum siap mengarungi bahtera kehidupan yang sesunggunya, apalagi dengan memikul beban titel. Di sisi lain keberadaan perguruan tinggi sebagai pihak yang meluluskan para sarjana sesungguhnya juga turut berkontribusi terhadap nasib mereka. Karena model pendidikan tidak memiliki orientasi jelas. Mereka seakan-akan tidak mau peduli, dan melepaskan tanggung jawab terhadap nasib para lulusannya.

Namun bagaimanapun juga persoalan wisuda mau tidak mau, suka atau tidak suka, tetap saja menjadi tuntutan, karena merupakan bagian dari sistem dan aturan yang mesti di lewatkan untuk bisa menggapai harapan, cita-cita, dan impian. Terlepas dari ketakutan akan kesiapan mengaruhi dinamika kehidupan. Itulah kehidupan, terkadang memang di butuhkan keberanian dan pengerbanan untuk menghadapi setiap persaingan, hambatan, dan rintangan.

Pepatah bijak mengatakan hidup adalah perjuangan. Takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja. Pertanyaannya apakah segera wisuda merupakan sebuah pilihan untuk menggapai harapan, ataukah dianggap sebagai sebuah beban dan momok paling menakutkan. [E...? Kedoaqm Uah]

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis