Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Kampus Akademis Bermuatan Politis.



Seorang wartawan kompas Wisnu Nugroho pernah menulis tentang betapa SBY tidak percaya diri saat menyampaikan perintah keenam dari sepuluh perintahnya yang disampaiakan selama satu jam di atas mimbar. Sebuah printah klise yang disampaiakan berulang-ulang sejak orde baru berkuasa. Perintah keenam itu berbunyi, “mari kita lakukan (lagi) kampanye besar-besaran untuk mengonsumsi produk dalam negeri” . Namun presiden termasuk para menteri nyatanya seringkali inkonsisten dengan omongannya. Mulai dari dompet, sepatu, tas jinjing putih dengan logo LV (Louis Vuitton) sampai mobil, semua merek luar negeri. Mari memerintahkan para pejabat mengampanyekan hal yang mereka tidak turuti!

Cerita diatas mungkin salah satu potret buram bagaimana pejabat, wakil rakyat, dan orang-orang (Guru) yang seharusnya ditiru dan digugu seringkali mengajarkan dan menganjurkan hal-hal yang justru kontradiksi dengan moralitas, dan prilaku mereka, sebagai cerminan keteladanann, kebijaksanaan, dan kebenaran. Malahan yang seringkali muncul kepermukaan adalah sikap arogan, keangkuhan, ambisi kekuasaan, dan sikap saling menjatuhkan. Dari instansi pemerintahan, sampai institusi pendidikan, yang semestinya sebagai pusat kegiatan akademis, belakangan semakin santer dengan kegiatan politis.

Dilingkungan Perguruan Tinggi (PT) misalnya. hampir dalam setiap kesempatan, jarang sekali, bahkan tidak akan pernah kita mendengar kalangan mahasiswa, karyawan dan dosen berbicara banyak mengenai kegiatan-kegiatan akademis. Agenda pembicaraan selalu diwarnai dengan bau politis. Dari mencari usaha sampingan, sampai bagaimana mendapatkan posisi dan jabatan. Tidak heran kalau hubunan antara pimpinan dengan bawahan, dan bawahan dengan bawahan (mahasiswa, karyawan) tidak pernah mengalami keharmonisan.

Kalau atasan sebagai tokoh panutan saja, dalam memecahkan permasalahan tidak pernah dilakukan dengan kebijaksanaan. Permasalahan dan perbedaan senantiasa disikapi dengan prilaku arogan dan terkesan kekanak-kanakan. Lantas apakah salah kalau mahasiswa setiap melakukan demostran selalu dengan aksi anarkis dan kekerasan?. Jangan pernah mengajarkan kami untuk memiliki etika, ahlak dan moral, kalau sebagian besar orang yang semestinya patut ditiru dan digugu saja, prilaku dan moralnya tidak lebih baik dari kami. Mari mencetak sarjana masa depan bermentalkan pencundang, pintar menciptakan permusuhan sebagai bentuk keteladanan.

Pantas Seorang ilmuan sekelas Muhammad Ikbal pernah mengatakan “aku tamat dari sekolah dan pesantren penuh dengan duka dan kekecewaan. Disitu tak kutemukan kehidupan, tidak pula cinta, tak kutemukan hikmah, dan tidak pula kebijaksanaan. Guru-guru sekolah adalah orang yang tak punya nurani, mati rasa, mati selera. Dan kyai-kyai adalah orang yang tak punya hikmah, lemah cita, miskin pengalaman”. (Majalah Mahasiswa Tegalboto : 2008).

Tercatat dalam setiap suksesi pemilihan, dari tingkatan pimpinan sampai bawahan (mahasiswa), pengelompokan atas nama organisasi dan golonan senantiasa dikedepanka. Dan mahasiswa merupakan salah satu senjata andalan paling menguntungkan, sebagai batu locatan memperjuangkan kepentingan. Karena otak mahasiswa memang rawan diperjual belikan, dan dihargakan dengan sebatang rokok dan nasi bungkus warung sampingan. Dan lucunya beberapa gelintir dosen dan karyawan malah ikut-ikutan.

Walhasil lihat saja hajatan utama PT, sebagai pusat pengembangan keilmuan yang dibebankan kepada dosen, melalui tugas pokok untuk melaksanakan tridharma PT, berupa pengabdian, penelitian, dan pengajaran, belakangan banyak mengalami kemunduran, dan terbengkalaikan, karena sibuk mencari usaha sampingan, dan bagi-bagi jabatan. Waktu, tenaga dan pikiran yang seharusnya lebih banya digunakan untuk menjalankan kewajiban, malah seringkali disalah gunakan.

Lantas sampai kapan kebersamaan, persaudaraan, dan keharmonisan itu akan mampu diciptakan, apakah setelah dendam lama terlampiaskan? Apakah setelah ambisi kekuasaa memberikan kepuasan? Setelah puas menciptakan permusuhan dan perpecahan? Atau menunggu masuk kuburan?. Ha...ha...ha...mari melaksanakan hal-hal yang mereka (guru/dosen) ajarkan, terkadang tidak pernah sesuai dengan tingkah laku dan perbuatan. Silahkan anda yang menentukan.

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis