Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Pendidikan (Kita) Miskin Keteladanan

googel
Saya sangat mencintai dunia pendidikan, teramat sangat. Namun fenomena dunia pendidikan yang kian makin tidak karuan, sehingga saya memiliki cara tersendiri untuk memberontak, salah satunya dengan menulis. (Ahmadi Sofyan, penulis buku “desperadoes kampus).

Pepatah bijak mengatakan “guru dan dokter tidak akan berguna nasihatnya, maka terimalah bodohmu jika kau tentang sang guru, dan terimalah sakitmu kalau kau tentang sang dokter, atau ada istilah “guru ditiru dan digugu”. pepatah tersebut beberapa waktu lalu boleh saja pernah menjadi salah satu kalimat paling sakti dan demikian sakral, dalam dunia pendidikan. Tetapi tidak untuk sekarang ini.

Carut marutnya sistem dan gagalnya para pelaku pendidikan menghadirkan keteladanan bagi peserta didik, telah membuka ruang untuk melakukan otokritik. Pernahkah kita mendengar bagaimana seorang guru dalam berbagai kesempatan apel pagi, sebelum dan menjelang ahir belajar, demikian getol dan tidak bosan-bosannya memberikan petuah kepada siswanya agar senantiasa rajin belajar di rumah.

Tetapi tidak jarang apa yang dinasehatkan berbanding terbalik dengan prilaku mereka (guru) yang terkadang lebih malas ketimbang sisiwa untuk belajar. Seorang guru yang melarang siswanya untuk merokok, namau giliran mereka merokok, kerapkali alasa sudah bisa mencari uang menjadi dalih pembenaran.

Guru Bahasa Indonesia yang demikian pintar dan lihainya mengajarkan siswa bagaimana membuat kerangka tulisan yang baik, namun gagal menghadirkan karya sebagai bukti untuk mempertanggung jawabkan apa yang diajarkan.

googel
Atau seorang dosen, doktor bahkan profesor dalam berbagai kesempatan seminar, whokshop dan di setiap menyampaikan materi perkuliahan seringkali tampil sebagai pribadi yang kharismatik, berwibawa dan bijaksana mengingatkan mahasiswanya agar senantiasa rajin belajar dan banyak-banyak membaca buku.

Mengajarkan kepada mahasiswa agar senantiasa kreatif menciptakan lapangan kerja sendiri dengan berwira usaha, karena kuliah tidak mesti harus berorientasi menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tetapi prilaku yang ditampilkan, terkadang tidak mampu menggambarkan apa yang selama ini didakwahkan.

Sebagian guru terkadang justru lebih tidak kreatif, miskin karya. Banyak“guru besar” yang semestinya menjadi tokoh panutan dalam dunia pendidikan, seringkali tidak mampu menampilkan keteladanan dan kebijaksanaan, predikat sebagai “guru besar” yang didapatkan terkadang lebih dikarenakan tuntutan kepangkatan dan keperluan jabatan, bukan semata-mata lahir karena tuntutan keilmuan.

Parahnya lagi, keberadaan kampus semakin santer diwarnai dengan kegiatan berbau politis, ketimbang akademis. Bagaimana mungkin menuntut peserta didik agar senantiasa berprilaku baik, dalam segala hal, sementara prilaku gurunya terkadang tidak lebih baik, bahkan mungkin lebih buruk, tidak kreativ melakukan transformasi pengetahuan, miskin wawasan dan berprilaku tidak jujur.

Menjelang ujian nasional berlansung misalnya, demi menjaga nama baik sekolah, berbagai upaya sudah pasti akan dilakukan dengan mengajarkan siswa untuk melakukan ketidak jujuran. Atau seorang dosen yang dalam setia suksesi pemilihan pimpinan di lingkungan kampus, hanya karena berbeda kepentingan, ambisi kukuasaan, seringkali memunculkan permusuhan dan mengkotak-kotakkan diri dalam berbagai kelompok kesukuan.

googel
Lantas apakah salah kemudian kalau ilmuan konserpatif sekelas Paul Freir, Muhammad Ikbal atau aktivis Sok Hok Gie melemparkan kritik yang menohok dan demikian pedas terhadap dunia pendidikan kita, kalau dalam kenyataannya para praktisi, akademisi dan pelaku pendidikan kita gagal menghadirkan keteladanan, melahirkan pribadi-pribadi pembelajar, bukan penghafal yang hanya bisa meniru, membeo dan membebek.

Untuk itu mewujudkan pendidikan yang berkarakter menuju NTB beriman dan berdaya saing, rasanya tidak cukup sebatas catatan di atas kertas, dengan membangun sederetan sekolah dengan status RSBI/SBI, memasang iklan setiap hari di media masa tidak pula dengan memajang baliho besar di setiap sekolah dengan foto-foto.

Pendidikan kita membutuhkan sosok pendidik yang cerdas dan mencerdaskan, pendidik yang memiliki kapasitas yang benar-benar mumpuni dan bisa diandalkan untuk mengelola lembaga pendidikan secara profesional, guna melahirkan pribadi-pribadi yang tidak hanya pintar, namu berkarakter dengan keperibadian yang luhur, sikap empati dan memiliki kepekaan social yang tinggi terhadap sesama.

Dan ini akan bisa terwujud manakala pemerintah, dalam melakukan perekrutan dan penempatan posisi-posisi penting dan strategis di instansi pendidikan tidak tebang pilih atau karena kedekatan emosional, tetapi benar-benar dilakukan secara proporsional, memiliki kapasitas, reputasi dan trac recot yang baik dalam bidang pendidika.

Bukankah Rasulullah sebagai suri tauladan yang baik mampu mengajarkan keteladanan. Nabi melakukan perubahan tidak dengan memasang iklan, tidak hanya sekedar omongan dan tidak pula dengan memasang baliho besar-besaran di setipa pinggir jalan. Tetapi beliau melakukannya lansung dengan mempraktikkan melalui tingkah laku dan perbuatan.

Sekarang ini satu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa karakter masyarakat merupakan gambaran lembaga pendidikan pada umumnya. Karena itu apa yang terjadi di lembaga pendidikan, begitulah yang terjadi dimasyarakat. Lembaga pendidikan merupakan tempat belajar dan mengajar, tempat menerima dan memberi pelajaran.

Lembaga pendidikan merupakan tempat aktivitas fisik dan psikis, berupa membaca, mendengar, mengamati dan melihat segala macam objek belajar sehingga membawa pengaruh kepada peserta didik dalam bersikap, bertingkah laku dan berbuat dalam kehidupan sehari-harinya. Pendidikan menempati peran yang sangat strategis sebagai modal besar peradaban Bangsa.

Lebih lanjut orang akan setuju untuk mengatakan bahwa dunia pendidikan dapat didentikan sebagai pabrik yang senantiasa menghasilkan prodak, berupa sumber daya manusia. Bagus tidaknya prodak yang di hasilkan akan bergantung pada kualitas mesin dan profesionalitas para pengelolanya.

1 komentar :

14 Juni 2013 pukul 03.56

bener banget itu ,, bobrok dan pendidikan dijadikan ajang politik oleh pejabat ...
makasih atas follow nya

Reply

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis