Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

IC Dan Politik Pencitraan

"Pembangunan Islamic Center (IC) NTB yang telah lama menjadi impian masyarakat akan segera dimulai. Kehadiran IC tersebut diharapkan menjadi pusat pembangunan peradaban masyarakat yang islami, yang maju, beriman dan berdaya saing. Disamping itu, diharapkan gedung IC tersebut dapat menjadi Landmark NTB, bahkan menjadi simbol kebangkitan peradaban islam di wilayah Indonesia bagian timur.

NTB yang mayoritas penduduknya muslim, kemudian pulau Lombok yang dikenal dengan Pulau Seribu Masjid, sangat wajar kalau kemudian mendambakan adanya sebuah symbol, sebuah landmark, yang akan menjadi kebanggaan masyarakat, bangunan yang kemudian dapat bermanfaat bagi peningkatan keimanan dan ketakwaan umat". Kurang lebih demikianlah pernyataan kepala BAPEDA Propinsi NTB Dr. Rosiadi, M.Si dalam salah satu kesempatan di harian umum Lombok Post (19/03/2010).

Masyarakat mungkin bisa berbangga hati dengan kehadiran pembangunan IC, sebagai salah satu tanda untuk mempertegas keberadaan NTB dengan Pulau Lombok yang dikenal sebagai Pulau seribu masjid. Sekaligus sebagai media pengembangan dakwah dan pendidikan berwawasan keislaman. Hal ini sejalan dengan visi misinya pemerintahan baru, NTB Bersaing. Apresiasi dan penghargaan besar Sepantasnyalah masyarakat berikan terhadap hajatan pemerintah mencanangkan program pembangunan simbol kebesaran islam.

Namun terlepas dari simbol-simbol kebesaran tersebut. Wacana realisasi pembangunan IC sejatinya sempat memunculkan perdebatan panjang, pro dan kontra mulai dari kalangan elit politik, sampai masyarakat bawah mengenai keberadaan IC untuk ditempatkan sebagai program prioritas atau sampingan, mengingat alokasi anggaran yang dibutuhkan tidak sedikit, untuk pembangunan mega peroyek sekelas IC yang sudah barang tentu akan menelan anggaran dana sampai puluhan, bahkan ratusan miliar, yang sebagian pendanaanya dialokasikan dari APBD?. Bagaimana korelasi antara kehadiran IC dengan kesejahteraan masyarakat?, Apakah mungkin moral dan ahlak masyarakat akan bisa dibina manakala tingkat kesejahtraan masih jauh dari harapan?.

Ketika petani tembakau masih berteriak-teriak menghujat kebijakan pemerintah memberlakukan konversi minyak tanah ke batu bara, ketika masyarakat lombok selatan menjerit berharap bisa diperhatikan secara adil yang seringkali dilanda kekeringan, pembangunan infrastruktur sebagai penopang kegiatan prekonomian tidak pernah mendapat perhatian, ketika listrik sebagai penerangan tidak pernah mampu memberikan kenyamanan dan kepuasan, kegiatan pembangunan yang tidak mengalami pemerataan, dan masih banyak berputar di wilayah perkotaan, senantiasa menjadi kesenjangan yang seringkali tidak mampu mendatangkan rasa keadilan.

Mungkinkah kehadiran IC dapat bermanfaat bagi peningkatan keimanan dan ketakwaan, menuju masyarakat NTB Bersaing. Iwan fals dalam salah satu lirik lagunya mengatakan. Wahai pemimpin kami yang baru, turunkan harga, berikan kami kesejarteraan. Masalah moral, masalah ahlak, kami yang urus, urus saja moralmu, urus saja ahlakmu, biarkan kami cari sendiri. Iwan Fals mungkin ada benarnya.

Bagaimana mungkin moral dan ahlak masyarakat akan bisa diperbaiki, kalau masih dihantui persoalan isi perut dan kesejahteraan hidup, bukankah kemiskinan melahirkan kekufuran. Sebuah kebijakan yang sepintas lalu cukup membanggakan, namun disisi lain dinilai banyak kalangan sebagai sebuah kebijakan yang kurang tepat sasaran. Bagaimana tidak, kalau saja dana sebesar itu dialokasikan untuk peningkatan kualitas pendidikan, pelayanan kesehatan, pembangunan infrastruktur jalan dan pemberian bantuan dana bagi pengembangan pertanian, koprasi dan UKM.

Tentu akan memberikan manfaat lebih besar bagi kesejahteraan masyarakat, ketimbang menjalankan pembangunan yang memboroskan anggaran, yang manfaatnya paling-paling hanya bisa dinikmati cuman oleh beberapa gelintir orang beruang. Toh masjid saja yang tersebar disetiap pelosok kampung dan jalan dengan arsitek yang begitu megah dan menghabiskan dana ratusan, bahkan miliaran rupiah, tidak lebih hanya sebatas simbol pajangan, dan jarang diberdayakan untuk kegiatan keagamaan. Karena tokoh rohaniawan yang seharusnya sebagai teladan dan pemberi pencerahan malah sibuk mengadu keberuntungan melalui kursi kekuasaan.

Lantas masihkah simbol-simbol keagamaan dibutuhkan, kalau yang sudah ada saja, jarang diberdayaka?. Diawal pembahasan mengenai alokasi anggaran yang akan dihabiskan. Pembangunan IC sempat menjadi bahan perdebatan yang cukup menegangkan antara dewan dengan pelaksana kebijakan (eksekutif), karena anggaran yang akan dihabiskan di perkirakan lebih besar, di bandingkan sektor lainnya. Beberapa diantaranya sektor pendidikan dan kesehatan yang semestinya menjadi prioritas terdepan untuk di perhatikan.

Politik Pencitraan

Banyak kalangan ormas menilai pembangunan IC dinilai tidak tepat sasaran, dan hanya akan mehambur-hamburkan anggaran. Bagi mereka kehadiran pembangunan IC tidak lebih hanya bagian dari usaha membangun pencitraan Mengingat secara sosiolois penerimaan masyarakat NTB terhadap ketokohan/kepemimpinan seseorang lebih rentan dilakukan melalui simbol dan pendekatan keagamaan. Modal inilah yang dimiliki Gubernur NTB sekarang ini.

Selain lahir dari ormas islam yang memiliki pengaruh besar di NTB. Secara ketokohan TGB, juga memiliki kharisma cukup besar sebagai seorang tokoh rohaniawan yang dipercaya sebagai pembawa sabda tuhan untuk misi kemanusiaan dan kemaslahatan. Dengan posisinya sekarang ini, bukan tidak mungkin akan dijadikan sebagai modal sosial melenggang memenangkan pemilukada pada periode selanjutnya.

Meski dalam masa kepemimpinannya sekarang ini, tingkat kharisma TGB sedikit mengalami pergeseran, khususnya pasca diberlakukannya kebijakan pemerintah terhadap konversi minyak tanah ke batu bara bagi petani tembakau, dan sederetan program kerja lain, beberapa diantaranya pemberantasan angka kemiskinan, dan pembangunan infrastruktur jalan dinilai masih jauh dari harapan.

Ya, terlepas dari berbagai kelebihan dan kekurangan program kerja yang sudah dicanangkan. Mudah-mudahan akan bisa menjadi bahan masukan dalam melakukan perbaikan, dan tidak terjebak pada kegiatan pencitraan, dan terhanyut dalam klaim keberhasilan yang ditandai dengan banyaknya penghargaan yang diberikan, bukan melihat pada seberapa besar capaian yang sudah dilakukan.[]. Muda-mudahan!

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis