Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Dilema Perguruan Tinggi

http://www.turmuzitur.blogspot.com/
Ayomenulis. Begadang sampai larut malam, mengutak atik blog dan menulis artikel untuk postingan blog ayomenulis hari ini, belum sepenuhnya bisa hilang dari kebiasaan. Tadi malam sehabis pulang berkunjung dari rumah salah seorang senior di Perumnas, saya sempatkan diri membuka situs web berita kompas.com, sekedar melihat berita terbaru dan menarik di rubrik news.

Dari sekian berita tersebut, ada salah satu berita yang cukup menarik perhatian saya, melibatkan tokoh besar, yang juga mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud. MD. sebagai narasumber. Berita tersebut mengulas mengenai keprihatinan dan pandangan Mahfud MD, tentang kasus korupsi yang hampir sebagian besarnya melibatkan lulusan Perguruan Tinggi (PT). Mahfud menilai banyaknya kasus korupsi yang melibatkan sebagian lulusan PT, akibat sebagian institusi PT telah gagal melahirkan lulusa yang berahlak.

"Bila dicermati, yang melakukan tindak korupsi kebanyakan orang-orang pandai yang hatinya tumpul. 80 persen koruptor merupakan sarjana. Ini membuktikan bahwa institusi perguruan tinggi di negara ini gagal mencetak lulusan yang berakhlak. Sekarang ada ribuan orang pintar tetapi sedikit yang berakhlak. Fenomena ini yang harus segera diperbaiki dalam sistem pendidikan di PT" tegas Mahfud.

PT dalam beberapa tahun terahir memang sedang santer menjadi sorotan dan bahan perbincangan publik. Sorotan tersebut muncul, sebagian bukan lagi karena prestasi, melainkan karena kasus korupsi yang berujung caci maki. Mulai dari kasus korupsi fisik institusi PT, yang melibatkan tokoh akademisi disegani dengan menyandang gelar bergengsi, termasuk alumni yang terlibat lansung dalam lingkaran birokrasi dan menjadi politisi.

Predikat sebagai kaum akademisi dengan gelar bergengsi ternyata tidak tidak sepenuhnya bisa dijadikan sebagai tolak ukur terbebas dari kasus korupsi. Sekarang ini keberadaan sebagian PT, terutama di NTB sudah mulai nampak kelihatan abu-abu, dan nampaknya sudah lumayan sulit bisa membedakan identitas dan jenis kelamin sebagian PT, sebagai institusi pusat kegiatan akademis atau politis. Sebab kedua aktivitas tersebut hampi berlansung di sebagian PT

Beberapa PT di NTB justru lebih santer dengan aktivitas politis, baik di internal PT dalam membuat dan menentukan kebijakan, senantiasa di warnai praktik diskriminatif, tindak kecurangan dan nepotisme, mengkotak-kotakkan diri atas nama kelompok suku dan golongan. Lebih parah di lingkungan eksternal PT juga demikian mudahnya dikendalikan segelintir orang. PT begitu dengan mudahnya bisa diplintir dan digerus ke dalam ranah politik.

Dalam suksesi Pemilukada Gubernur dan wakil Gubernur NTB kemarin misalkan, meski nampak dilakukan secara abu-abu sejumlah dosen dari beberapa PT swasta maupun negeri berstatus PNS, malah lebih disibukkan ikut terlibat melakukan kampanye menjadi timses salah satu pasangan calon Gubernur, ketimbang menunaikan tugas dan tanggung jawab melaksanakan tri dharma PT melakukan pengajara.

Lebih konyol salah seorang pejabat paling penting di salah satu PT ternama malah sampai membuat statement dukungan di media, dengan membawa nama institusi dan atribut lembaga pendidikan yang dipimpin, dikemas dengan kegiatan kuliah umum. Dihadapan dosen, karyaman, penjabat kampus dan mahasiswa yang hadir berkata “siapa sih tidak menginginkan calon pemimpin ganteng.

Sebuah statement, bagi saya selain sangat konyol dan tidak pantas, secara tidak lansung merusak citra diri dan PT sebagai institusi akademis di mata publik, semestinya bersikap netral. Kalau sudah begitu, lambat laun PT tidak ubahnya seperti lembaga politis, mencari kekayaan dan jabatan, bukan lagi sebagai lembaga tempat melakukan pengajaran, pengabdian dan penelitian.

Tidak heran dari sisi kualitas lulusan dihasilkan tidak banyak mengalami kemajuan, menumpuk menjadi penganguran di setiap sudut dan pojok perkampungan. Tidak jauh berbeda dengan sebagian besar tenaga pengajar, dari sekelas master, doktor sampai guru besar, juga tidak banyak mengalami kemajuan, terlebih dari sisi keilmuan.

Apalagi bisar berpartisipasi dan berperan aktif dalam membantu pemerintah mengatasi berbagai persoalan di tengah masyaraka. Sebagian doktor dan guru besar malahan tidak ubahnya bagaikan mahluk individual, demikian asing dari dunia luar dan hanya pintar berkoar-koar di dalam kandang.

Besarnya persentase doktor dan guru besar dihasilkan, sebagian tidak lagi murni dilakukan karena tuntutan keilmuan melainkan sebatas memenuhi tuntutan jabatan dan kepangkatan. Dalam setiap kesempatan forum diskusi maupun seminar, saya terkadang merasa lucu juga melihat beberapa doktor dan profesor berbicara, kelihatan nampak kaku dan kurang menarik untuk didengarkan.

Kalau citra dan suasana semacam ini di lingkungan PT, terus tetap terbangun, untuk melahirkan lulusan berahlak dan berkarakter baik, sebagaimana dikemukakan Mahfud. MD dalam ulasan di atas, rasanya sulit akan mampu tercapai, kalau prilaku sosok yang dijadikan sebagai keteladanan dan dijadikan panutan, belum sepenuhnya mampu mengalami perbaikan.

Sebab, memperbaiki dan menata lembaga pendidikan tinggi secara profesional, sebagai lembaga, pusat kegitan akademis, dengan kualitas lulusan bisa diandalkan, tidak cukup dilakukan sambilan dan diukur dengan banyaknya tenaga pengajar bergelar doktor dan guru besar dihasilkan, melainkan dengan sikap keteladanan dan kebijaksanaan

8 komentar

14 Juni 2013 pukul 23.09

berarti ente sudah menyalahkan gelar ente sebagai seorang lulusan PT IAIN Mataram yang ente banggakan, berarti ente caetakan yang berasumsi bahwa pembuatan cetakan sama yang dicetak sama-sama seperti itu, karena gak mungkin pencetak tidak menginginkan sesuai dengan keinginnanya.

Reply
15 Juni 2013 pukul 00.05

ada kata sebagian, itu artinya tidak semua, pasti terdapat alumni dan dosen yang masih berkepribadian baik, tanpa ada muatan kepentingan politik

Reply
15 Juni 2013 pukul 02.24

tapi dalam tulisan anda, sebagian itu kecil banget, bahkan kalau dipersenkan kurang dari 1%..

Reply
16 Juni 2013 pukul 03.46

sya melihat fenomena ini memang benar adanya,,

Reply
17 Juni 2013 pukul 06.24

kalau kata sebagian terlalu banyak ditulis dalam tulisan tersebut, justru akan mengakibatkan terjadi banyak pengulangan kata. Tulisan saya lebih pada analisis dan kritikan sifatnya analisis moral, bukan analisis seperti karya ilmiah skripsi tau tesis bung. Kalau kita mau jujur fenomena ini sejatinya memang sudah semenjak lama terjadi. hanya sering sering kelihatan kabur, karena selalu dibungkus atas nama akademis

Reply
20 Juni 2013 pukul 06.34

saya gak setuju chuy, ente hANY berasmsi cuma bikin gaduh aja

Reply
20 Juni 2013 pukul 18.08
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Reply
20 Juni 2013 pukul 18.12

coba deh anda baca ulang paragraf yang ke 13 bung, jika anda memahaminya pasti anda merasa tertawa. namun jika anda memahaminya secara apa yang anda tulis, anda pasti gak akan tertawa karena anda merasa bahwa itu adalah tulisan saya, kenapa saya harus tertawa.

Reply

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis