Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

UN, dan Tercidrainya Nilai Kemanusiaan

http://www.turmuzitur.blogspot.com/
Ayomenulis. Minggu pagi (26/05/2013) di salah satu stasiun televisi swasta, Metro TV, publik kembali harus dikejutkan dengan aksi nekad seorang siswi asal Depok, melakukan aksi bunuh diri, dengan menggantung diri di kamar, gara-gara stres dan khawatir tidak lulus Ujian Nasional (UN). Padahal pengumuman kelulusan belum saja disampaikan. Kisah siswi di atas mungkin satu dari sekian banyak kisah siswa/siswi lain, yang hampir setiap tahun, menjelang UN tiba, terlebih setelah hasil kelulusan UN diumumkan  selalu menyisakan kisah pilu.

Sebagian besar siswa maupun siswi yang tidak lulus UN merasa tidak siap menerima kenyataan tidak lulus UN, tidak siap menanggung malu kepada teman, takut pulang ke rumah bertemu orang tua, hanya gara-gara tidak lulus UN. Memilih kabur dari rumah, kawin lari dengan sang pacar (baca tradisi suku sasak lombok), melampiaskan dengan minum minuman keras, hanya sebagian kecil dari cara siswa melampiaskan rasa kecewa, frustasi dan rasa sedih tidak lulus UN.

Lebih tragis, sebagian siswa tidak lulus UN seringkali melakukan tindakan nekad diluar akal sehat, dengan melakukan percobaan bunuh diri dengan menggores urad nadi, menegak racun, hingga memilih mengahiri hidup dengan menggantung diri. Bagi mereka yang masih menggunakan akal sehat dan yang mampu diselamatkan dari upaya percobaan bunuh diri, tentu masih bisa melegakan.

Tetapi, kalau upaya bunuh diri gara-gara tidak lulus UN sudah tidak lagi mampu dihindarkan, seperti yang dilakukan siswi SMP asal Depok di atas, tentu sangat disayangkan dan kerap menjadi persoalan akan terus berulang dan memakan banyak korban. Tercatat semenjak kelulusan siswa ditentukan melalui UN, semenjak itu pula berapa banyak dari sekian siswa setingkat SMP sampai SMU harus meregang nyawa secara sia, hanya karena angka kelulusan dicapai siswa tidak memenuhi standar kelulusan ditetapkan.

Pendidikan Memanusiakan Manusia

Sukarno pernah bilang, “bangsa yang hebat adalah bangsa yang senantiasa menghargai sejarah”, pepatah bijak mengatakan “pengalaman adalah guru paling berharga dalam kehidupan”. Pemerintah dan menteri pendidikan nampaknya merasa enggan dan tidak pernah mau belajar dari sejarah, pengalaman dan kesalahan. Pergantian pucuk pimpinan dan dalih meningkatkan kualitas pendidikan kerap menjadi alasan pembenaran mempertahankan UN sebagai persyaratan kelulusan.

Semenjak diberlakukan sebagai syarat kelulusan bagi siswa beberapa tahun lalu. UN nampaknya telah hadir sebagai penguasa baru menjadi tantangan sekaligus momok menakutkan bagi siswa dan guru. Kehadiran UN setidaknya telah menimbulkan beragam reaksi kurang positif bagi siswa maupun tenaga pengajar. Tidak saja secara pisiskis tetapi secara psikologis. Setiap tahun, menjelang UN dilangsungkan, siswa tidak ubahnya seperti sapi perahan dan robot dan harus mengihlaskan banyak waktu bermain bersama teman, dicekoki dengan materi pelajaran berjubel, demi mengejar target kelulusa.

UN telah merampas kebebasan merampas kebebasan siswa, kepintaran siswa hanya cukup diukur dengan capaian angka. Tidak sampai disitu menjelang maupun sesudah UN dilaksanakan kerap dibuat panik dan stres secara mental memikirkan nasib, takut tidak lulus, malu sama terman, tidak bisa melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi (PT) dan takut pulang kerumah.

Sementara bagi tenaga pengajar, UN juga menjadikan sebagian tenaga pengajar berlaku tidak jujur. Atas nama siswa, pertaruhan gengsi dan nama baik sekolah, kejujuran terkadang harus tergadaikan dengan memberikan kunci jawaba kepada siswa. Lantas masih pantaskah UN tetap dipertahankan?

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis