Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Moratorium PNS dan Pendidikan Keterampilan

PNS
Tindakan pemerintah memberlakukan moratorium PNS, boleh saja dinilai sebagai kebijakan, yang dalam pandangan sejumlah pakar dan pengamat, sebagai langkah efektif mengatasi defisit anggaran, yang saat ini sedang mengalami kebangkrutan, karena terlalu banyak terkuras untuk membiayai belanja pegawai dan birokrasi pemerintahan. Meski kebijakan ini tergolong sebagai langkah tepat, bukan berarti mampu menuntaskan berbagai permasalahan yang ada.

Karena tidak dibarengi dengan langkah kongkrit memberikan solusi/alternativ bagi masyarakat, mengantisipasi dampak di balik kebijakan yang diberlakukan. Tidak berlebihan kebijakan ini di mata sebagian masyarakat selain dinilai  diskriminatif, juga terkesan mencidrai rasa keadilan masyarakat. Mengapa pengamat dan pemegang kebijakan menimpakan kesalahan hanya bertumpu pada satu lembaga (kepegawaian), sebaga pemicu terjadinya defisit anggaran?.

Besarnya dana tunjangan pejabat birokrasi pemerintahan, biaya perjalanan dinas anggota dewan yang justru menghabiskan banyak anggaran tidak menjadi sorotan. Bagaimana prilaku anggota dewan demikian arogan dan tidak malu-malu menolak perumahan yang menghabisan anggaran sampai ratusan juta, hanya karena dalih tidak memenuhi kelayakan.  Belakangan, malah meminta kenaikan anggaran untuk sewa perumahan.

Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan apa yang selama ini dikampanyekan pemerintah dan angota dewan yang demikian getol/gencarnya menyuarankan penghematan anggaran. Bagaimana pun kebijakan ini dipandang efektif, setidaknya telah menyisakan permasalahan baru bagi masyarakat, di mana ruang mendapatkan kesempatan kerja semakin mengalami penyempitan.  Mengaharap  mendapatkan  pekerjaan di prusahaan swasta tidaklah mudah. Mengingat pertumbuhan prusahaan industri swasta yang ada di NTB, tergolong masih sangat minim.

Menjalankan usaha secara mandiri, selain tidak memiliki keterampilan, seringkali terbentur masalah permodalan.  Meski pemerintah telah menggelontorkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR), banyak kalangan masyarakat mengakui, mekanisme peminjaman  yang terkesan berbelit-belit dan terlalu birokratis, menjadikan masyarakat malas untuk melakukan peminjaman.

Karena itu rasanya tidak ada celah bagi para pengamat praktisi pendidikan,  pemerintahan, maupun wakil rakyat,  menyalahkan sepenuhnya masyarakat, mahasiswa dan sarjana,  sebagai pribadi yang pemalas/tidak kreatif menciptakan lapangan pekerjaan, kalau peraturan dan iklim yang bisa menjadikan masyarakat lebih kreatif tidak mampu diciptakan pemerintah.

Pendidikan Keterampilan.
Pesatnya pertumbuhan angkatan kerja, yang tidak mampu dibarengi ketersedian lapangan pekerjaan yang memadai, mau tidak mau menuntut pemerintah dan pemegang kebijakan pendidikan agar  senantiasa bisa melakukan inovasi, mengelola dan mendisain sistem dan arah kebijakan pendidikan yang selain mampu melahirkan output yang berkarakter, juga memiliki keterampilan sebagai bekal ketika telah berada di tengah masyarakat.
Tidak bisa dipungkiri dari sekian persen lembaga pendidikan yang ada, hanya sebagian kecil yang sudah mengarah pada kurikulum pendidikan berbasis keterampilan. Kebanyakan lembaga pendidikan yang ada, terutama di NTB, dari tingkat paling bawah sampai sekelas lembaga pendidikan tinggi sekalipun, model pendidikan yang berlansung cendrung masih berkutat pada materi pembelajaran yang sifatnya teoritis dan hafalan, terkesan kaku dan monoton, karena dilakukan secara berulang-ulang pada setiap jenjang pendidkan.  

Ada beberapa mata pelajaran misalnya, pengajarannya bisa dipersingkat, yang isinya sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda, semenjak diajarkan dari  Sekolah Dasar, sampai SMA. Materinya pun itu-itu saja, hanya mengulang-ulang teori dan pemahaman yang sama. Ini kemudian berdampak terhadap kesiapan mentalitas peserta didik ketika keluar dari lembaga pendidikan. kebanyakan peserta didik maupun mahasiswa ketika berada di tengah masyarakat merasa kelimpungan dan tidak siap berkompetisi mendapat/menciptakan lapangan kerja sendiri, hanya berbekalkan ijazah dan gelar kesarjanaan.

Kalau saja waktu tiga tahun dimanfaatkan melakukan pemberdayaan keterampilan, justru akan memberikan dampak lebih positif bagi keberlansungan hidup para peserta didik ke depannya. Pengamat social, Komarudin Hidayat dalam sebuah diskusi dengan salah satu anggota DPRI bidang pendidikan, yang diselenggarakan Metro TV, dalam acara Metro corner mengakui kalau sistem pendidikan sekarang  porsinya memang masih belum terlalu banyak mengarah pada pembentukan peserta didik yang terampil.

Kebijakan pemerintah memberlakukan moratorium PNS selain sebagai upaya pemerintah mengatasi defisit anggaran yang hampir mengalami kebangkrutan, khususnya NTB sejatinya sebagai sebuah isyarat /sinyal peringatan bagi pengamat, praktisi dan pemegang kebijakan pendidikan, melakukan evaluasi sistem pendidikan NTB dari orientasi pencari pekerja menjadi pencipta lapangan pekerjaan.  Salah satunya melalui pendidikan keterampilan.
Di NTB terobosan semacam ini sebenarnya sudah mulai dilakukan, baik yang diprakarsai pihak swasta maupun pemerintah, semenjak beberapa tahun terahir dengan mendirikan lembaga-lembaga kursus keterampilan yang tersebar di seluruh kabupaten kota, seperti Balai Latihan Kerja (BLK), di tambah dengan mendirikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yang membekali siswa dengan berbagai keterampilan, yang nantinya diharapkan menjadi bekal siswa untuk hidup lebih mandiri.

Kurikulum pembelajaran pun tidak lagi berbicara banyak masalah teori dan hafalan semata, sebagaimana kebanyakan sekolah sederajat. Melainkan lebih pada praktik lapangan, supaya pada saat di lapangan siswa tidak mengalami kegamangan. Dalam perjalanannya meski sudah berlansung lama, dampak/efek dari kebijakan ini, tergolong masih belum terlalu maksimal manfaatnya terlihat dalam mengurangi angka pengangguran.

Selain iklim yang mendukung masyarakat untuk  tumbuh sebagai tenaga-tenaga terampil dan kreatif belum banyak tercipta, masih minimnya keinginan dan minat peserta didik masuk, mempelajari dan menekuni pendidikan keterampilan yang tersedia,  turut menjadi salah satu penghambat melahirkan tenaga-tenaga terampil di tengah masyarakat.

Persoalan lain adalah masih terfokusnya penerapan pendidkan keterampilan hanya pada lembaga pendidikan tertentu. Semestinya pendidikan keterampilan tidak hanya diberikan/ajarkan di BLK, atau SMK, namun bisa juga diajarkan di semua lembaga dan jenjang pendidikan sederajat, tentunya disesuaikan dengan standar dan tingkat kemampuan siswa. Dari hal paling sederhana semisal pendidikan disain grafis, menjahit, kaligrapi dan sederetan keterampilan lain, yang selain bernilai ekonomis tinggi, juga mendorong setiap orang lebih mandiri.

Kedepan  permasalahan yang  dihadapi pemerintah tentu tidak akan sama dengan sekarang, bahkan mungkin akan lebih kompleks, dan menguras banyak energi, kalau tidak pandai-pandai berinovasi dan mengambil tidakan antisipasi, melalui pembekalan pendidikan keterampilan kepada masyarakat, sebagai salah satu upaya/ikhtian pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Semoga

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis