Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Masyarakat, Kenyang Dulu Damai Kemudian

Dialog Publik TVRI NTB
Jum’at (9/28) kemarin saya bisa berkesempatan hadir mengikuti acara dialog publik “Meretas Konflik Komunal di Tengah Masyarakat” yang diadakan Nusa Tenggara Center (NC) secara live di TVRI NTB. Tadinya saya berharap banya, acara yang menghadirkan beberapa nara sumber dari unsur akademisi, kepala Bangkespoldagri Propinsi NTB dan kepolisian tersebut, akan lebih banyak membuka ruang melakukan dialog dengan masyarakat maupun peserta yang hadir, mencari akar persoaalan pemicu terjadi konflik komunal ditengah masyarakat, serta merumuskan langkah kongkrit mengatasi persoalan tersebut.

Karena bagaimanapun yang menjadi pelaku, banyak tau pemicul timbulnya konflik dan terlibat secara lansung adalah masyarakat, guna mendapatkan informasi secarah utuh dan berimbang. Untuk itu setiap upaya membahas, merumuskan upaya pencegahan konflik yang berlansung, mesti porsinya lebih banyak melibatkan peran serta dan partisi masyarakat, termasuk pada acara dialog publik kemarin.

Dalam beberapa kesempatan acara dialog, maupun berita yang diturunkan media, tentang konflik yang terjadi di tengah masyarakat, yang lebih banyak berbicara dan menjadi nara sumber cendrung didominasi para pengamat, aparat hukum dan pemerintahan. Statement dan komentar yang dilontarkan ketikan dijadikan sebagai pembicara maupun nara sumber, meski secara tidak lansung, seringkali berahir pada kesimpulan, bahwa timbulnya konflik komunal merupakan kesalahan masyarakat.

Dalih masih kurangnya kesadaran masyarakat, tidak taat dan patuh pada aturan, norma agama, adat istiadat, egoism serta rasa keakuan masyarakat merasa diri paling kuat/hebat, senantiasa menjadi barang dagangan dan kambing hitam sejumlah pengamat, aparat hukum maupun pemerintahan senantiasa menimpakan kesalahan kepada masyarakat. Demikian halnya dialog publik yang diadakan NC jum’at kemarin, bagi saya belum mengarah pada upaya mencari solusi penyelesaian.

Pemaparan ketiga nara sumber tersebut tersebut justru saya lihat, lebih mengarah pada sebuah kesimpulan, bahwa seolah akar pemasalahannya hanya bertumpu pada masyarakat. Padahal ada banyak factor pemicu timbulnya konflik komunal di tengah masyarakat. Sebut saja factor kesenjangan social ekonomi dan pembangunan. Tidak dinafikkan kesenjangan di bidang ekonomi dan pembangunan masih tetap ditemukan antara miskin dan kaya, perkotaan pedesaan, ketimpangan dan perlakuan diskriminatif pemerintah bukan rahasia umum untuk disaksikan.

Politik sektarian juga cukup kental nuansanya dalam setiap agenda pembangunan yang dilaksanakan para pemegang kebijakan, secara tidak lansung semakin memperlebar pluang terjadinya ketimpangan kelompok satu dengan kelompok lain dan daerah satu dengan daerah lainnya ditengah masyarakat. Dan praktik politik model ini memang tidak sekedar wacana, melainkan memang masih tetap ada berlansung sampai sekarang.

Sseorang kawan bercerita bagaima seorang warga dalam salah satu kesempatan meminta kepada bupatinya memperhatikan pembangunan jalan di wilayahnya, yang kondis jalan tersebut tergolong cukup parah, yang mengejutkan, bupati tersebut secara spontan dan tanpa merasa beban menjawab, “wah kalau daerah situ, dulu kebanyakan masyarakat tidak memilih saya, jadi mohon maf nanti dulu, kata kawan tersebut menirukan kata-kata bupati. 

Adanya ketimpangan seperti ini, lambat laun menimbulkan rasa frustasi dengan lingkungan sekitar yang sudah tidak lagi mampu memberikan rasa nyaman, kesejahteraan dan rasa keadilan. Dari sini mulai timbul/terbangun rasa ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dalam kondisi semacam ini, masyarakat biasanya mudah sekali tersulut emosi, terlibat perkelahian, dari perorangan hingga bentrokan besar-besaran

Disis lain ruang-ruang publik berupa lembaga pendidikan, termasuk Perguruan Tinggi (PT) yang tadinya di harapkan sebagai wadah melahirkan pribadi yang memiliki sikap keteladanan, justru telah berubahh menjadi tempat menyeramkan penuh dengan persaingan, permusuhan dan jauh dari sikap cerminan keteladanan. Lembaga PT lebih santer dengan muatan politis ketimbang muatan akademis.

Pertanyaanya, bagaimana mau menuntut masyarakat beriman, serta taat pada norma-norma dan aturan, sementara rakyat masih kelaparan, dan betapa sulitnya menemukan sosok pemimpin/guru teladan meski di lembaga pendidikan sekalipun.

2 komentar

29 September 2012 pukul 06.05

krtikan yang tajam.. sangat menukik, tapi kurang kenak sasaran.. bahasanya menggurui

Reply
30 September 2012 pukul 06.17

thaks atas masukannya, saya kira kritikan yang saya lontarkan sbg bentuk protes sata juga atas, kebiasaan sejumlah pengamat, maupun pemegang kebijakan, baik dalam acara2 dialog, maupun komentar dimedia yg cendrung berahir pada sebuah kesimpulan, bahwa yang salah dalah setiap konflik yg terjadi seolah2 rakyat, sementara mereka sendiri seakan cuci tangan dari kesalaha. Bagaimana mau suruh suruh masyarakat damai dan beriman, sementara mereka masih lapar. Makanya saya bilang "kenyang dulu, damai kemudian"

Reply

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis