Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Menjadi Penonton dan Pembaca Sungguhan

Dalam berbagai kesempatan, bersama teman-teman komunitas Dunia Penggemar Film (Dugem) dan Komunitas Kopi Darat (Kopdar) di Mataram saya sering mengadakan kegiatan nonton bareng dan bedah film, atau dalam bahasa mahasiswa dan kaum akademisi, akrab juga dengan istilah kajian film. He…he… bahasanya jadi terlalu mahasiswa banget. tapi yang jelas membedahnya bukan pakai pisau lho, tapi pakai otak.

Film yang dibedah juga bukan sembarang film. Bisa film dokumenter tentang kisah para aktivis, penulis hingga film tentang kehidupan masyarakat kekinian, tentang korupsi dan kesejangan sosial ekonomi kehidupan masyarakat Kota metropolitan. Kegiatan nonton bareng juga tidak sebatas melibatkan aktivis dan mahasiswa. Sekali waktu juga melibatkan masyarakat umum.

Tergantung segmen dan jenis film hendak ditonton. Kalau filmnya ringan, dikemas dengan skenario sederhana, menghibur dan dekat dengan kehidupan masyarakat dan bisa diterima semua kalangan, dengan tetap mengedepankan nilai edukasi dan kritik sosial. Film macam ini biasa jadi incaran dan rebutan berbagai kalangan. Tapi kalau film diputar berat, paling menjadi konsumsi komunitas terbatas.

Film di tengah kehidupan masyarakat yang sudah demikian kompleks, modern, akrab dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di satu sisi memang telah terbukti menjadi salah satu konsumsi dan media alternatif bagi masyarakat sebagai hiburan maupun media membangun kesadaran bersama. Tapi dalam sisi berbeda film terkadang juga bisa menjadi bumerang bagi kehidupan.

Kalau masyarakat sebagai penonton tidak kritis dan pandai memilih film secara lebih slektif dijadikan sebagai tontonan. Sebab film dengan cerita dan skenario bernuansa edukasi sekalipun tidak bisa jadi jaminan penuh kalau pesan disampaikan melalui film ditayangkan sesuai dengan fakta lapangan dan murni untuk tujuan kemanusiaan.

Sebab pembuatan film dalam sisi tertentu hampir sama dengan penulisan buku, dilakukan peseorang maupun kelompok tertentu. Bisa juga merupakan hasil pesanan. Tidak bisa terlepas dari motif kepentingan subyektifitas, muatan kepentingan politis tertentu dan keinginan pemesan, termasuk sponsor. Lebih-lebih film yang secara terangan disuguhkan beberapa media televisi yang menjadikan film sebatas kebutuhan komersil.

Kebiasaan sebagian di antara kita bersama masyarakat lain sebagai penonton dan pembaca, paling sulit dihilangkan, mudah tergerus dengan alur, skenario, cerita buku dan film disaksikan. Cepat mengambil kesimpulan kalau tokoh, kebenaran dalam film maupun buku bacaan tersebut benaran adanya. Membuat sebagian penonton dan pembaca demikian fanatik dengan tokoh diagungkan.

Membangun persepsi kalau tokoh utama sebagai sosok yang selalu berada pada posisi yang harus dibela dan dibenarkan. Kalau ada tokoh lain yang berperan sebagai tokoh jahat, menghina atau mencoba mengganggu tokoh utam, akan dipandang sebagai sebuah kejahatan. Tipikal penonton macam tersebut jelas menghilangkan cara berfikir kritis.

Sebab tidak selamanya tokoh utama dalam sebuah buku maupun film selalu benar dan sesuai fakta karena merupakan hasil pikiran subyektifitas penulis buku maupun skenario flm. Karena itu, menjadi penonton film, pembaca buku tidak cukup sebatas kebutuhan hiburan, kesenangan maupun mecari informasi semata.

Menelan secara mentah, tanpa mencerna, mengkaji, membandingkan dan menganalisis secara lebih cermat. Mana tontonan dan bacaan berkualitas dengan tidak. Sebab buku termasuk film sejatinya mengajarkan kita untuk berfikir secara lebih obyektif, bukan subjektif.

Ayo Menulis