Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Ibadan yang Belum Menggugah

http://turmuzitur.blogspot.com/
Hari Jum’at tanggal 01 november kemarin, sepulang dari Denpasar Bali mengikuti training Pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Keadilan Sosial. Sore harinya sehabis beristirahat, saya memilih lansung balik ke Mataram, sebab masih ada pekerjaan hendak diselesaikan. Meski cuaca mendung saya nekada melaju sepeda motor melewati jalang lingkar selatan menuju Mataram.

Baru saja saya sampai jalan jalur Bandara Internasional Lombok (BIL), perbatasan antara Lombok Barat dan Lombok Tengah, cuaca tadinya mendung tiba-tiba berubah menjadi hujan lebat, mengguyur dengan derasnya. Supaya tidak kehujanan terpaksa saya berhenti berteduh di salah satu masjid pingiran jalan. Sementari hari sudah semakin sore dan shalat magrib hampir tiba. Saya pun bergabung menunaikan shalat berjamaah bersama tiga jamaah laki dan seorang ibu.

Shalat magirib berlalu hinga menjelang shalat isa tiba, hujan masih juga belum berhenti. Baru sehabis shalat isa hujan berhenti. Saya lansung bergegas menuju tempat sepeda motorku parkir. Tapi sesampai di sana, alangkan kecewanya saya, mendapati helem di atas sepeda motor sudah tidak ada. Niat hati sedikit tenang berangkat melanjutkan perjalanan, setelah menunaikan ibada seketika berubah dengan kekecewaan, gerutuan dan sumpah serapah.

Helem yang hilang nilainya mungkin tidak seberapa, tapi yang tidak saya habis pikir, tempat ibadah, yang seharusnya dijadikan sebagai tempat berdoa memintah berkah, justru ternodai prilaku beberapa gelintir manusia serakah. Sebuah pemandangan yang sangat memperihatinkan dan kontraproduktif, kalau dibandingkan dengan gegap gempita, semangat dan antusiasme sebagian masyarakat demikian tinggi.

Berlomba dan beramai-ramai secara bergotong royong mencurahkan segenap tenaga, pikiran dan mengeluarkan biaya tidak sedikit (besar) untuk membangun masjid. Antusiasme sebagian masyarakat tersebut telah melahirkan banyak masjid. Di NTB dan Lombok khususnya, menemukan masjid di Lombok tida sulit. Hampir setiap dusun masjid bisa ditemukan.

Tidak berlebihan kalau Lombok akrab disebut sebagai pulau seribu masjid. Di tambah lagi pembangunan mega proyek islamic center (IC) diperkirakan pembangunan akan menelan anggaran hingga puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Satu masjid dengan arsitektur mewah dan luas bangunan, biaya dihabiskan dari hasil iuran dan sumbangan nilainya bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Sebuan nilai cukup fantastis yang kalau himpunan dana bernilai ratusan hingga miliaran tersebut, ditambah semangat dan antusiasme warga menyumbang, mengeluarkan iuran, dimanfaatkan melakukan pemberdayaan masyarakat miskin termasuk anak jalanan. Manfaatnya tentu akan lebih dirasakan.

Untuk apa membangun sarana ibadah masjid, greja, pura dan vihara yang banyak, mewah besar menghabiskan dana ratusan hingga miliaran rupiah, sementara sebagian besar masyarakat masih berkubang dalam kemiskinan, bagaimana masyarakat mau diajak beriman sementara mereka masih kelaparan dan tidak mampu menikmati manisnya kue pembangunan.

Bagaimana masyarakat bisa menaati norma nilai dan aturan, kalau ketimpangan, perlakuan diskriminasi, tindak kekerasan, ketimpangan dan ketidak adilan seringkali mengemuka dan dipertontokan para aparat hukum, pemerintahan pemegang kebijakan. Untuk apa membangun sarana ibah banyak dan mewah, kalau dimanfaatkan beberapa gelintir orang.

He,,,he,,,,Jadi terlalu LSM dan HAM banget versi teman-teman peserta training Pendidikan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Keadilan Sosial AJAR di Bali beberapa hari lalu. Ok kembali ke laptop kata tukul dalam acara empat mata. Semoga saja semangat beribadah kita tidak bertumpu pada plaksanaan sisi ritul semata, namun mampu menangkap makna substansialnya dalam kehidupan bermasyarakat.

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis