Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

PT dan Praktek Korupsi

Andai apa yang saya tulis kerapkali mencoreng dunia pendidikan, maka saya hanya ingin berkata ”tanpa harus saya tulis, dunia pendidikan di negeri ini sudah tercoreng dengan sendirinya”. Tobatlah oknum pendidik dan berubahlah (Ahmadi Sofyan)

Sebagai lembaga tertinggi dalam dunia pendidikan, keberadaan Perguruan Tinggi (PT) setidaknya memiliki peran strategis dan tanggung jawab, turut mewarnai corak dan dinamika kehidupan yang berlansung di tengah masyarakat, khususnya di bidang pendidikan. Maju tidak, baik dan buruknya pradaban, karakter/prilaku suatu masyarakat, hampir sebagiannya merupakan representasi/cerminan dari lembaga pendidikan.

Kehadiran PT menjadi tumpuan harapan, bagi terciptanya perubahan kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik. Karena dari PT lah sebagian besar aktor-aktor perubahan itu dilahirkan. Wajar saja kalau sebagian besar tanggung jawan perubahan itu dinisbatkan di atas pundak PT. Perubahan yang diharapkan tidak saja menyangkut soal bagaimana PT mampu menciptakan sumber daya manusia yang cerdas dan mensejahterakan.

Lebih dari itu, diharapkan pada proses bagaimana melahirkan sosok manusia yang berkarakter, dan memiliki keperibadian yang baik, yang dalam konsep Ari Ginanjar perpaduan antara kecerdasan intlektual, emosional dan spiritual questions. Untuk melahirkan manusia yang memiliki keperibadian yang baik, maka dibutuhkan keteladanan yang baik pula dari mereka (guru), sebagai sosok manusia yang pantas ditiru dan digugu.

Penulis kira Kita semua akan setuju dengan istilah yang mengatakan, bahwa baik buruk prilaku suatu masyarakat merupakan cerminan dari lembaga pendidikan. Dan anggapan itu memang bukan sekedar peristilahan atau semboyan, kenyataan memang membuktikan, bagaimana sebagian PT, Institusi dan dan lembaga pendidikan memang gagal menghadirkan keteladanan.

Kampus lebih banyak dimanfaatkan sebagai sentral kegiatan berbau politis ketimbang aktifitas akademis, mengkotak-kotakkan diri atas nama kepentingan kelompok kesukuan dan golongan terkadang menjadi fenomena demikian memuakkan di lingkungan PT. Kewajiban melaksanakan Tri Dharma PT, berupa pengabdian, penelitian dan pengajaran tidak jarang diposisikan sebatas menggugurkan kewajiban, dan intens dilakukan manakala terbentur dengan keperluan kepangkatan, bukan atas motivasi dan tuntutan keilmuan.

Wewenang dan jabatan yang diamanahkan kerap disalahgunakan. Terkuaknya dugaan praktik korupsi terhadap dana pembangunan kampus baru, di salah satu PT ternama NTB yang santer diberitakan media dalam beberapa minggu terahir, membuktikan akan betapa tidak mudah mencari sosok keteladanan di lingkungan PT, yang selama ini dinilai sebagai tempat berkumpulnya para ilmuan, tokoh intlektual, pengamat dan praktisi pendidikan.

Parahnya aktor-aktor yang bermain justru lebih banyak melibatkan orang-orang dari internal PT, yang beberapa diantaranya selama ini selain cukup disegani dari sisi keilmuan dilingkungan kampus, juga oleh sebagian masyarakat sudah dipandang sebagai tokoh kharismatik. Kenyataan ini membuktikan betapa PT, sebagai lembaga pencetak dan sarangnya ilmuan yang makamnya sekelas tokoh rohaniawan sekalipun, tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur sebuah PT bisa terbebas dari praktik korupsi.

Keberadaan PT oleh banyak kalangan Justru dinilai berpotensi lebih besar berlansungnya praktik korupsi. Sebut saja mulai dari makup dana proyek pembangunan infrastruktur, anggaran dana penelitian, dolmut dan sederetan program lain. Belum lagi praktik nepotisme, atas nama kelompok, golongan, organisasi dan kesukuan, yang berlansung di lingkungan PT, bukan menjadi rahasia umum lagi.

Seorang pejabat di sebuah PT misalnya, bisa memasukkan keluarganya empat sampai lima orang, bahkan bisa lebih. Praktik semacam bisa ditemukan dalam setiap proses rekrutmen karyawan/stap pengajar yang berlansung. Sikap arogan dan sentimen organisasi terkadang lebih besar mendominasi ketimbang mengedepankan transparansi dan profesionalisme kerja, yang kemudian berdampat besar terhadap kualitas kerja dan lulusan yang dihasilkan PT.

Lihat saja dalam kurun waktu kepemimpinan yang berlansung, beberapa PT, terutama yang bermasalah sekarang ini, bukannya mengalami banyak perbaikan, justru semakin mengalami keterpurukan. Setipa agenda/program yang dicananagkan hampira tidak bisa terlepas dari muatan kepentingan. Lambat laun kampus pun tidak ubahnya arena perpolitikan tempat mencari jabatan dan menciptakan permusuhan.

Drama kekuasaan semacam inilah yang kemudian berpotensi menyebabkan terjadinya praktik korupsi, yang tidak saja dilakukan oleh satu dua orang, bahkan bisa lebih dan dilakukan secara bersamaan dengan kelompok/golongan lingkar kekuasaan. Adanya dugaan korupsi pada proyek pembangunan rumah sakit Unram, dan pembangunan kampus baru IAIN Mataram yang belum lama ini santer diberitakan media

Sejatinya bisa dijadikan sebagai momen melakukan pembenahan terhadap tata klola, pelayanan dan manajemen organisasi PT secara propesional, bukan emosional. Mengembalikan citra dan girah PT sebagai kampus yang lebih bernuansa akademis, bukan politis.

Ayo Menulis