Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa. Sebagaimana telah diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa. (Qs. Al Baqarah : 183)
Puasa dalam kaitannya dengan ibadah,
kalau dikaji secara lebih mendalam pada dasarnya mengandung nilai-nilai
pendidikan yang sangat luas. Selain merupakan bentuk pengabdian seorang hamba
kepada sang pencipta.
Puasa juga mengandung sederetan
pesan moral tentang sendi-sendi kehidupan dan nilai kemanusiaan. Karena itu
ibadah puasa semestinya tidak hanya cukup pada pemaknaan menahan diri dari
perkara yang sifatnya menyangkut kebutuhan jasmani, lapar dan dahaga.
Yang terpenting dari itu, bagaimana
dengan berpuasa mampu menjadikan kita sebagai pribadi-pribadi yang senantiasa
memiliki sikap empati dan kepekaan sosial terhadap sesama. Inilah makna sejati
dari kata “taqwa” sebagaimana keterangan ayat di atas, dalam kaiatanya dengan
kewajiban manusia melaksanakan ibadah puasa.
Seorang yang melaksanakan ibadah
puasa, baru pantas menyandang predikat “taqwa,” ketika ia mampu melakukan
prubahan besar terhadap keperibadiannya, mampu mendatangkan mamfaat bagi
sesama.
Pengamat sosial Prof. Dr Komarudin
Hidayat, dalam bukunya “Psikologi Agama,” mengatakan agama ibarat pakaian,
meski dalam banyak sisi keduanya memiliki banyak perbedaan, namun dalam sisi lain
keduanya sama-sama mendatangkan rasa nyaman.
Seorang yang beragama, mestinya jiwa
dan badannya menjadi sehat, kehormatan dirinya terjaga, dan prilaku serta tutur
katanya enak di pandang dan didengar.
Kalau ketiga hal tadi tidak di
temukan, pasti ada yang salah dengan dirinya, atau ukuran pakaiannya yang tidak
pas, mestinya dengan beragama, mampu mendatangkan rasa nyaman terhadap dirinya
dimana pun ia berada.
Demikian halnya dengan puasa. Dengan
berpuasa semestinya mampu menjadikan sesorang sebagai pribadi yang jujur,
memiliki kepedulian, dan solidaritas sosial tinggi dan sikap saling toleran
terhadap sesama.
Kalau dengan berpuasa kepribadian
semacam ini tidak mampu kita cerminkan, maka puasa yang kita laksanakan bisa
termasuk sebagai sebuah kegagalan. Inilah poin terpenting yang selama ini masih
belum mampu kita petik dari pelaksanaan ibadah puasa.
Banyak orang melaksanakan ibadah
puasa seringkali bukan atas dasar kesadaran untuk menciptakan perubahan,
melainkan tidak lebih hanya sebatas menggugurkan kewajiban. Sehingga tidak
sedikit orang sukses melaksanakan puasa hanya dari sisi ritual semata, namun
gagal menangkap makna substansialnya.
Nabi Muhammad SAW dalam salah satu
haditsnya bersabda : “betapa banyak di antara umatku yang berpuasa, namun hanya
mendapatkan rasa lapar dan dahaga, dan tidak sedikit di antara umatku yang
gemar beribadah, tapi hanya merasakan lelahnya saja.”(HR. Ahmad).
Karena itu puasa semestinya mampu
menempa dan menggembleng keperibadian seorang yang berpuasa sebagai sosok
manusia yang senantiasa memiliki kepekaan sosial terhadap nasib sesama di
tengah pergaulan hidup bersama masyarakat. Saling menghargai, memberi dan
berbagi. Sebagai bentuk kepedulian terhadap penderitaan yang mereka hadapi.
Dengan berpuasa, mampu menjadikan seseorang tampil sebagai sosok pemimpin yang
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dalam setiap tindakan.
Sebab puasa pada hakikatnya,
mengajarkan tentang keadilan. Ini tercermin dari adanya kewajiban melaksanakan
ibadah puasa di antara umat muslim, tidak membedakan antara miskin-kaya,
tua-muda dan sama-sama merasakan lapar dan dahaga.
Sebuah ajaran begitu sarat dengan
nilai keteladanan, semestinya mampu diimplementasikan para pemegang kebijakan dalam setiap tindakan, mampu dipertanggung
jawabkan, sesuai dengan yang pernah dijanjikan.
Sebagaimana dicontohkan Nabi
Muhammad SAW dalam memperlakukan masyarakat kecil dan golongan lemah yang
tertindas. Dengan membangkitkan harga diri dan nilai-nilai kemanusiaan mereka.
Beliau hidup di tengah mereka dalam kondisi sama-sama lapar dan tidur di atas
pelepah daun kurma.
Demikian dekatnya Nabi dengan rakyat
miskin, sampai-sampai Nabi berkata kepada para sahabatnya. Kalau kalian mencari
aku, maka “carilah aku di tengah orang-orang yang lemah di antara kalian.” http://blog.hikmah-puasa-ramadhan.htm.
Ahirnya semoga ibadah puasa sekarang
ini, mampu kita jadikan sebagai momentum melakukan perbaikan terhadap setiap
tindakan yang dilakukan, hanya untuk satu tujuan, terciptanya kemaslahatan
berlandaskan nilai kejujuran dan keadilan.
Intelektual muslim Azumardi Azra
dalam artikelnya “merayakan kedermawanan bulan ramadhan” di harian umum
Republika (28/07) mengatakan datangnya bulan ramadhan setidaknya mampu
melahirkan energi positif bagi setiap muslim, menjadi orang yang sangat
dermawan, memiliki kepekaan sosial tinggi.
Meski hanya berlansung pada bulan
ramadhan. Setidaknya telah mampu menjadi wahana pemersatu dan mempererat jalinan ikatan
emosional dengan sesama. Andai saja kedermawanan bulan ramadhan bisa tetap
dilestarikan, persoalan kemiskinan kesenjangan sosial dalam kehidupan
masyarakat sedikit tidak akan mampu dihilangkan.
Posting Komentar