Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Cita-Citaku Cukup Sampai Disitu Saja



Ahmad Jumaely

Ayomenulis. Melihat dan menyaksikan secara lansung bagaimana heroik dan uniknya penampilan anak-anak yang tampil pada puncak acara peringatan hari anak nasional di gedung olahraga Gelanggang Pemuda, Nusa Tenggara Barat (NTB), tanggal 1 September kemarin, ada rasa kagum sekaligus bangga, bagaimana sebagian dari mereka di usia yang masih belia sudah mampu menampilkan suatu pertunjukkan luar biasa, dengan semangat dan mental luar biasa juga, Baca, Bukan Sekedar Belajar Bahasa Indonesia

Penampilan luar biasa tersebut bisa jadi karena anak-anak jaman sekarang terutama yang lahir sejak tahun dua ribuan, telah terbiasa dibina sejak masih bangku Taman Kanak (TK) bahkan semenjak masih dilingkungan keluarga, melatih dan mengasah kemampuan serta mental sebagai sang juara. Berbeda misalkan dengan saya atau anak-anak kelahiran tahun delapan puluhan, apalagi ke bawahnya

Jangankan pernah dibina atau sekolah TK, belajar membaca dan menulis saja baru bisa, ketika menginjak kelas dua dan tiga SD bahkan ada yang baru lancer membaca ketika kelas lima, anak-anak yang sekolah juga sekenanya saja, lebih –lebih di kampung, mandi nyemprung di kali, sarapan dengan sepotong ubi atau pisang rebus lansung pergi ke sekolah

google
Hahahah, Jadi bernostalgia dengan masa lampau, masa dulu dengan sekarang jelas berbeda, zaman tidak mundur ke belakang, tapi selalu maju ke depan, bantahan anak-anak sekarang kalau diceritakan tentang perbbandingan kehidupan anak-anak kelahiran tujuh puluhan atau delapan puluhan dengan kehidupan anak sekarang dan memang benar adanya

Tapi satu hal yang masih membekas dan tidak banyak berubah dari anak-anak masa dulu semenjak zaman pak Soeharto jadi Presiden sampai sekarang, yaitu terkait cita-cita, ketika anak-anak ditanya apa cita-citanya, jawabannya tidak lebih, tidak kurang dan tidak akan jauh berbeda “menjadi PNS atau pekerja kantoran” kalaupun ada yang berbeda paling hanya satu dua dan jawaban berbeda dari anak-anak lain yang memiliki cita-cita di luar PNS sudah pasti tidak akan dianggap istimewa 

Dalam setiap kegiatan lomba, seminar termasuk peringatan hari anak nasional yang berlansung di gedung olahraga Gelanggang Pemuda lalu, jarang sekali misalkan ditemukan anak-anak mmulai dari TK sampai SMA ketika ditanya cita-cita, ingin menjadi pedagang, pengusaha, arsitektur apalagi petani, tentunya petani berdasi, jawaban didapatkan pasti berkisar di antara keiinginan jadi Polisi, TNI, guru maupun profesi lain seperti Jaksa dan hakim yang tidak jauh dari PNS menggunakan seragam dan atribut pemerintahan

Doktrin tentang cita-cita yang sama tersebut demikian mengkar dan tertanam kuat di hati dan benak sebagian besar anak-anak di Indonesia, bahkan itu berlansung semenjak baru mulai bisa berbicara, sekolah TK, mahasiswa bahkan sampai menyandang predikat sebagai sarjana muda dari Perguruan Tinggi (PT). Sama halnya misalkan ketika anak-anak terutama anak yang tidak pernah mengenal bangku sekolah TK

google
Sampai sekarang ketika diminta menggambar pemandangan, hasil didapatkan tidak akan jauh-jauh berbeda, pasti pemandangan yang digambar adalah gunung dan membuatkan matahari dan pepohonan di atasnya. Tidak tau apa yang salah, apakah karena doktrin dan sistim pendidikan kita yang mengajarkan bahwa cita-cita paling mulia hanya menjadi pegawai saja, atau mungkin saja cita-cita di luar PNS memang tidak ada dan masih belum dipandang istimewa

Pada acara peringatan hari anak nasional di gedung olahraga Gelanggang Pemuda kemarin dari sekian anak yang ditanya cita-cita apa oleh Gubernur NTB, jawaban diberikan hampir sama dan tidak jauh berbeda dengan jawaban anak lain pada umumnya dalam setiap acara.

Bercita-cita menjadi apa saja bagi setiap kita tentu sah-sah saja, tidak akan mengurangi pahala, tidak pula mendapat dosa termasuk juga bercita-cita menjadi guru, dokter, hakim, Polisi, TNI, pengacara maupun Jaksa, karena merupakan cita-cita dan pekerjaan mulia juga

google
Karena bisa jadi saya dan kita semua, juga termasuk dari korban doktrin pendidikan tentang cita-cita yang sama, sehingga ketikan memilih berbeda dengan kebanyakan cita-cita yang selama ini dianggap istimewa oleh masyarakat akan, maka akan dinilai sebagai suatu kegagalan, bukan keberhasilan dan kurang mendapatkan penghormatan

Sama halnya ketika kita menjalani pekerjaan yang berbeda dengan spesialisasi pendidikan yang didapatkan dari lembaga pendidikan, sudah pasti akan dinilai sebagai suatu hal menyimpang, sebagai pelarian karena tidak mendapatkan pekerjaan sebagaimana jurusan, sarjana pendidikan atau pertanian misalkan, ketika memilih profesi menjadi wartawan juga akan dianggap menyimpang, pelarian bahkan kecelakaan

Memiliki cita-cita menjadi pegawai kantoran, pemerintahan maupun aparat keamanan tentu bukan sesuatu perbuatan terlarang dan tidak ada juga yang melarang, mengurangi kekayaan, tidak pula menghilangkan ketampanan atau kecantikan

Demikian pula ketika seseorang menekuni pekerjaan yang berbeda dari kebiasaan dan yang selama ini diagungkan masyarakat kebanyakan, bukan berarti sebagai sesuatu kegagalan dan penyimpangan. Apapun cita-cita, keinginan, angan-angan dan pekerjaan dijalankan, pada ahirnya memiliki satu tujuan, mencari makan!

2 komentar

4 September 2015 pukul 02.01

Kalau cita-cita saya pengen jadi a world traveler.. ;)

Reply
5 September 2015 pukul 18.49

Luar biasa ibu yanet, lanjutkan, akunya bisa membantu dengan do'a

Reply

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis