Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Mencetak Sarjana Pengangguran

PENGGURAN sudah menjadi persoalan yang tidak kunjung selesai. Bagaikan lingkaran setan terus menghantui bangsa ini. Mengurai penganguran dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bak mengurai benang basah yang sulit ditemukan ujung pangkalnya. Tiap tahun angka pengangguran mengalami peningkatan. Persoalan ini sesunguhnya merupakan wacana klasik yang sudah basi di persoalkan ketengah publik. Sehinga tidak terlalu menarik untuk didiskusikan lagi. Tapi paling tidak bisa dijadikan bahan refleksi bersama tentang berbagai indikator yang membentuknya..


Timbulnya masalah pengangguran di Indonesia sebenarnya tidak terlepa dan dilatar belakangi beberapa faktor. Diantaranya derasnya pertumbuhan penduduk. Sempitnya lapangan pekerjaan, kemiskinan, tingginya biaya pendidikan serta minimnya pertumbuhan ekonomi. Namun kalau ditelisik lebih mendalam tingginya angka penangguran di Indonesia sesunggunya semata-mata bukan disebabkan faktor diatas semata. Di samping memang karena masih rendahnya kualitas pendidikan. yang hanya berorientasi pada pembentukan manusia-manusia yang berprofesi untuk menjadi karyawan. Akibatnya sebagian besar dari mereka terjebak menjadi pengangguran.

Di wilayah NTB pengangguran tidak hanya berkutat pada pada faktor kemiskinan, sempitnya lapangan kerja, kondisi ekonomi, dan seabrik permasalahan lain. Namun cenderung disebabkan karena kualitas pendidikan yang masih memprihatinkan. Khususnya pada jenjang pendidikan perguruan tinggi. Kondisi ini tentunya tidak terlepas dari aturan dan kebijakan pemerintah terhadap sistem pendidikan yang di berlakukan terkesan carut marut dan membingungkan. Ujung-ujungnya bisa berimbas bagi terciptanya peluang pengangguran.
Berangkat dari akar masalahan ini bisa disimpulkan latar belakang paling signifikan dan memalukan, banyak terjadi pengangguran di NTB. Khususny Lombok Tengah memegang persentase pengangguran paling tinggi diantara kabupaten lain di NTB. Realitas ini sudah sepantasnya dijadikan bahan refleksi oleh pemerintah, segenap elemen masyarakat, dan para birokrat untuk membuat semacam terobosan baru. Namun sayang kondisi semacam ini bukannya di manfaatkan untuk mencari solusi dan alternatif terbaik yang diberikan, malah di manfaatkan sebagai lahan bisnis yang subur. Untuk mengeruk keuntungan dan berlomba-lomba melakukan korupsi.

Pada hal kalau diperhatikan didaerah ini telah menjamur Perguruan Tinggi (PT) yang bernaung dibawah lembaga pendidikan swasta. Mereka membuka program study secara sembrono. Tanpa melakukan introsfeksi terhadap kondisi kelayakan yang dimiliki untuk membuat PT. Hal ini sepantasnya bisa menjadi bahan pertimbangan pihak yayasan.

Kasus Lombok Tengah
Persoalan ini sudah barang tentu menyangkut nasib dan masa depan orang banyak. Terutama dari segi kualitas pendidikan yang dihasilkan. Lantas apa sebenarnya motif kebanyakan lembaga pendidikan swasta yang menjamur di Lombok Tengah secara asal-asalan memberanikan diri membuka PT ?. Apakah semata-mata sebagai bentuk partisipasi dalam memajukan kualitas pendidikan dan mengurangi pengangguran?. Atau justru sebaliknya, hanya dijadikan sebagai lahan bisnis yang subur untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Sebab kalau dilihat dari banyak sisi, sebagai syarat berdirinya PT, terutama dari sisi finansial, kebanyakan PT yang menjamur di Lombok Tengah pada dasarnya masih jauh dari standar dan syarat yang sudah ditetapkan. Bagi sebuah PT, mulai dari sarana dan prasarana yang bisa menunjang proses perkuliahan. Berupa gedung perkuliahan yang memadai, model dan sistem pemblajaran ideal, nantinya di harapkan bisa dijadikan sebagai wahana dalam meningkatkan dan mengembangkan sarjana pendidikan yang intlektual dan propesional.

Pendidikan kita sudah seharusnya melepaskan diri metode pemblajaran yang sudah usang, dan basi. Kalau model-model semacam ini masih di pelihara dan berkembang subur, maka bukannya kualitas yang di hasilkan, akan tetapi malah tidak lebih hanya akan menghasilkan sarjana murahan.Dengan masih di berlakukannya model pemblajaran klasik semacam ini secara tidak lansung bisa mematikan kreatifitas berfikir mahasiswa dalam menggali potensi yang dimiliki.

Bagaimanapun juga, dalam proses transformasi pengetahuan yang berlangsung dalam sebuah PT, ruang geraknya bukan lagi harus terkungkung dengan segala aturan seperti anak sekolahan, atau santri yang harus tunduk dengan segala petuah dan fatwa tuan guru, tanpa pernah diberi ruang gerak mengoreksi benar salahnya. Akan tetapi pendidikan yang berlangsung dalam PT, laiaknya disebut republik kebebasan dan demokratis. Wadah berekspresi dan berkreasi serta awal pengembaraan intlektualitas menuju pribadi-pribadi sejati.

Sepintas jika ditengok dari segala sisi yang kompleks, syarat ideal dalam PT, maka pada dasarnya kebanyakan PT yang dikelola kebanyakan lembaga pendidikan swasta (pondok pesantren) di NTB. Terutama di Lombok Tengah pada dasarnya belum layak dikatakan sebagai PT. Dan lebih layak disebut sebagai pasar obral, tetapi murahan dalam kualitas dan kelayakan. Sebab belum memenuhi kriteria sebuah PT.
Secara lebih spesifik, bila merefleksi kembali ulasan tentang syarat, dan model ideal sebuah perguruan tinggi, maka ada dua hal yang harus diperhatikan. Menurut hemat penulis merupakan kebutuhan sangat vital, tidak bisa ditawar-tawar. Dua hal inilah yang menentukan maju tidaknya, berkualitas tidaknya, sebuah perguruan tinggi dalam menjawab tantangan zaman. Yaitu, tenaga pengajar yang profesional, dan perpustakaan yang menunjang, dalam upaya transformasi segala macam ilmu pengetahuan, baik melalui proses formal (dalam kelas), maupun non formal (pepustakaan atau diskusi).

Dengan adanya dua hal inilah, paling tidak, bisa dijadikan penopang bagi kualitas sarjana yang dihasilkan. Tidak terkesan sebagai sarjana murahan, hanya doyan kekuasaan, penambah pengangguran. Namun sudahkah beberapa macam model dan hal di atas, mampu di jawab perguruan tinggi di Lombok tengah?. Belum!.

Malahan dari keseluruhan apa yang uraikan diatas pada dasarnya hampir tidak ada dikebanyakan perguruan tinggi swasta di Lombok Tengah. Mungkin untuk kedua unsur disebutkan diatas, brupa tenaga pengajar dan perpustakaan, pada sebagian PT swasta di Lombok Tengah, secara kuantitas mungkin sudah cukup banyak. Namun secara kualitas, masih sangat jauh. Sehinga suatu hal yang sangat na’if untuk di nafikkan, output yang di hasilkan tidak lebih hanya sekedar sarjana murahan yang hanya doyan uang dan kekuasaan, penambah pengangguran. Namun kebanyakan PT swasta di Lombok Tengah kurang menyadari akan hal tersebut.

Dengan mengusung visi dan misi bernuansa Islami, membentuk sarjana pendidikan beriman dan bertakwa, justru dijadikan senjata ampuh dan motivasi, berlomba-lomba melakukan jihad fi’sabilillah, fastabikul khairot. Firman Allah, dalam Al’Qur’an. Sebagai upaya dalam mengmbangkan agama Islam, termasuk lewat pendidikan, terutama perguruan tinggi.
Bila di lihat visi dan misi yang di usung, dan di kemas lewat bingkai keilamannya. Memang kedengarannya begitu mengesankan. Akan tetapi mungkinkah pendidikan bisa maju dan berkembang, hanya dengan bermodalkan bermodalkan mencetak sarjana ber’iman dan bertaqwa kepada Allah?. Mungkinkah kualitas yang di hasilkan bisa di pertanggungjawabkan, hanya dengan bermodalkan kitab-kitab kuning klasik, yang sudah tidak lagi mampu menjawab tantangan zaman?.

Mungkinkah dengan mengusung semangat jihad fi’sabilillah, berlomba-lomba menuju kebaikan. Fastabikul khairot bisa menghasilkan sarjana intelek dan profesional?. Lucu memang, kebanyakan lembaga pendidikan swasta di Lombok Tengah memiliki argumentasi tidak rasional yang dijadikan sebagai batu loncatan untuk menghipnotis masyarakat. Jadi pendidikan tidak membutuhkan dalih-dalih muluk dan terlalu seksi, seseksi goyang ngebor Inul Daratista, yang dalam hitungan detik bisa membuat orang terpesona, dan lupa diri.

Kenyataan ini tentunya bukan omong kosong.. Di Lombok tengah, ada PT swasta bisa menghasikan sarjana pendidikan dalam jangka satu tahun. Bisa dibayangkan dalam rentan waktu ssingkat, apa yang bisa di dapatkan. Sedangkan dalam perguruan tinggi berstatus negeri pun kalau mau jujur kualitas yang di hasilkan selama ini, dengan tenggang waktu studi paling sedikit empat tahun sesungguhnya kalau berbicara masalah kualitas, masih perlu dipertanyakan.

Bermodal setumpuk kitab kuning klasik dengan tenaga pengajar, dan model pemblajaran sudah usang dan basi. Lantas apa mau di dapat?. Apa hanya untuk mengejar selembar ijazah, dengan predikat sarjana pendidikan sebagai alat untuk merengek-rengek masuk lembaga instansi pemerintah?. Sungguh sangat memalukan !. Pantas jika bangsa ini jadi pengemis dan menjadi kuli di rumah sediri. Di Lombok Tengah untuk memperoleh ijazah sarjana tidak sulit lagi. Bahkan sangat murah-meriah seharga ratusan ribu.. Mulai satu juta sampai lima juta rupiah. Cocok disebut kuliah singkat ijazah berlipat.

Maka esensi pendidikan sesungguhnya bukan lagi beroreantasi pada usaha memanusiakan manusia. Melainkan hanya akan melahirkan generasi bermentalkan pecundang, dan menjadikan pendidikan sebagai barang rongsokan yang bisa di beli dengan uang. Lantas seperti apa sebenarnya bentuk implementasi pertanggung jawaban perguruan tinggi, terhadap kualitas lulusan yang di hasilkan ?.

“Masa bodoh ah! Yang penting kantong bisa tebal. Mau berkualitas, mau tidak bukan urusan gue.” Wah! Istigfar pak, hati-hati dengan dosa. Dari sinilah jika merujuk kembali pada inti permasalahan sesungguhnya. Bahwa, masalah pengangguran dan kemiskinan yang terjadi di NTB umumnya, Lombok Tengah utamanya, semata-mata bukan lagi di latarbelakangi banyaknya angka putus sekolah atau sempitnya lapangan pekerjaan melainkan juga disebabkan oleh membanjirnya sarjana kilat.

Posting Komentar

Terimakasih telah mengunjungi blog saya, komentar positif dan bersifat membangun akan menjadi masukan dan perbaikan

Ayo Menulis