Ayomenulis. Minggu
pagi (26/05/2013) di salah satu stasiun televisi swasta, Metro TV, publik kembali
harus dikejutkan dengan aksi nekad seorang siswi asal Depok, melakukan aksi
bunuh diri, dengan menggantung diri di kamar, gara-gara stres dan khawatir
tidak lulus Ujian Nasional (UN). Padahal pengumuman kelulusan belum saja
disampaikan. Kisah siswi di atas mungkin satu dari sekian banyak kisah
siswa/siswi lain, yang hampir setiap tahun, menjelang UN tiba, terlebih setelah
hasil kelulusan UN diumumkan selalu
menyisakan kisah pilu.
Sebagian
besar siswa maupun siswi yang tidak lulus UN merasa tidak siap menerima
kenyataan tidak lulus UN, tidak siap menanggung malu kepada teman, takut pulang
ke rumah bertemu orang tua, hanya gara-gara tidak lulus UN. Memilih kabur dari
rumah, kawin lari dengan sang pacar (baca tradisi suku sasak lombok),
melampiaskan dengan minum minuman keras, hanya sebagian kecil dari cara siswa
melampiaskan rasa kecewa, frustasi dan rasa sedih tidak lulus UN.
Lebih
tragis, sebagian siswa tidak lulus UN seringkali melakukan tindakan nekad
diluar akal sehat, dengan melakukan percobaan bunuh diri dengan menggores urad
nadi, menegak racun, hingga memilih mengahiri hidup dengan menggantung diri.
Bagi mereka yang masih menggunakan akal sehat dan yang mampu diselamatkan dari
upaya percobaan bunuh diri, tentu masih bisa melegakan.
Tetapi,
kalau upaya bunuh diri gara-gara tidak lulus UN sudah tidak lagi mampu
dihindarkan, seperti yang dilakukan siswi SMP asal Depok di atas, tentu sangat
disayangkan dan kerap menjadi persoalan akan terus berulang dan memakan banyak
korban. Tercatat semenjak kelulusan siswa ditentukan melalui UN, semenjak itu
pula berapa banyak dari sekian siswa setingkat SMP sampai SMU harus meregang
nyawa secara sia, hanya karena angka kelulusan dicapai siswa tidak memenuhi
standar kelulusan ditetapkan.
Pendidikan Memanusiakan Manusia
Sukarno
pernah bilang, “bangsa yang hebat adalah bangsa yang senantiasa menghargai
sejarah”, pepatah bijak mengatakan “pengalaman adalah guru paling berharga
dalam kehidupan”. Pemerintah dan menteri pendidikan nampaknya merasa enggan dan
tidak pernah mau belajar dari sejarah, pengalaman dan kesalahan. Pergantian
pucuk pimpinan dan dalih meningkatkan kualitas pendidikan kerap menjadi alasan
pembenaran mempertahankan UN sebagai persyaratan kelulusan.
Semenjak
diberlakukan sebagai syarat kelulusan bagi siswa beberapa tahun lalu. UN
nampaknya telah hadir sebagai penguasa baru menjadi tantangan sekaligus momok
menakutkan bagi siswa dan guru. Kehadiran UN setidaknya telah menimbulkan beragam
reaksi kurang positif bagi siswa maupun tenaga pengajar. Tidak saja secara
pisiskis tetapi secara psikologis. Setiap tahun, menjelang UN dilangsungkan,
siswa tidak ubahnya seperti sapi perahan dan robot dan harus mengihlaskan banyak
waktu bermain bersama teman, dicekoki dengan materi pelajaran berjubel, demi
mengejar target kelulusa.
UN
telah merampas kebebasan merampas kebebasan siswa, kepintaran siswa hanya cukup
diukur dengan capaian angka. Tidak sampai disitu menjelang maupun sesudah UN
dilaksanakan kerap dibuat panik dan stres secara mental memikirkan nasib, takut
tidak lulus, malu sama terman, tidak bisa melanjutkan kuliah ke perguruan
tinggi (PT) dan takut pulang kerumah.
Posting Komentar