Ayomenulis. Setiap pristiwa, selalu menyisakan banyak cerita, setiap kebijakan sudah pasti memiliki konsekuensi, menimbulkan berbagai macam reaksi, dari rasa simpati hingga sikap kontropersi. Demikian halnya dengan langkah pemerintah memberlakukan kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) (pengurangan subsisidi), selain disambut penolakan dan aksi demonstrasi di berbagai daerah.
Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM juga telah menyisakan berbagai kisah pilu ditengah masyarakat. Mengingat bagaimanapun, kebijakan ini telah menimbulkan dampak cukup memprihatinkan bagi kelangsungan prekonomian masyarakat. Sehari setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM melalui para Menterinya, harga sejumlah barang kebutuhan pokok mulain melonjak naik.
Terang saja, kebijakan tersebut, bagi sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi kelas bawah dirasa sangat menyusahkan. Terlebih hampir sebagian besar masyarakat Indonesia masih hidup dan berkubang dalam kemiskinan, dengan mata pencaharian dan pendapatan yang masih jauh dari kata layak serta berkecukupan. Makan makanan asal perut kenyak, dan tidur di bawah kolong jembatan.
Inaq (Ibu) Sainah, asal Bertais Cakranegara, Kota Mataram, yang sehari-hari hanya berkerja sebaga pemulung sampah pelastik mengaku semakin merasa kesulitan memenuhi kebutuhan hidup keluarga, terutama semenjak harga BBM dinaikkan. Mengandalkan pendapatan suami yang kerja serabutan, untuk memenuhi kebutuhan tentu tidak akan mencukupi.
“Ite ne saq jari rakyat kodeq, sere nani, sere solit bae idapte idup, boyak impan kaken penelen anak jarinte, kesusahk bae aran. ndeqne maraq jaman pak Harto laeq, ndeqte wah susah saq meni laloq, ape-ape impan kaken penelen ye muraq, lain saq tebengte endah isiq datu. Nani selapuq ape mahel, minyak gas, beras, sebie bawang kance acan ndaraq ndeq mahel, berembe bae yaq ntan idup”.
“Kita ini yang jadi rakayat kecil, semakin sekarang, semakin sulit saja rasanya hidup mencari rizki sandang dan pangan bagi anak-anak kami. Susah sekali rasanya. Tidak seperti zaman pak Harto, tidak pernah kita susah seperti sekarang. Apa-apa sandang pangan sangat murah, belum lagi yang dikasih secara lansung oleh pemerintah. Sekarang semua pada mahal, minyak tanah, beras, cabai bawang sama trasi tidak ada yang tidak mahal, bagaimana mungkin kita bisa bertahan untu hidup”.
Kisah pilu yang dialami ibu Sainah, juga dirasakan Rusandi, warga Ampenan, sehari-hari mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga, hanya mengandalkan profesi sebagai nelayan, dengan penghasilan tidak menentu. Kenaikan harga BBM bagi masyarakat kecil dan pinggiran seperti Rusandi tentu terasa sangat menyakitkan. Harga BBM mahal, dengan pendapatan tidak menentu tentu semakin menambah beban. Sementara kebutuhan hidup keluarga setiap harinya menuntut untuk tetap terpenuhi.
“dulu, sebelum harga BBM naik saja, pendapatan saya tidak menentu, bahkan tidak ada sama sekali, selain karena alat tangkapan ikan yang masih sederhana dan apa adanya, cuaca yang tidak menentu juga seringkali menjadi faktor hasil tangkapan ikan tidak menentu”, tutur Rusandi, duduk bersandar didinding belakang rumahnya yang sudah mulai lapuk dimakan usia, sambil sesekali menghisap rokok pilitannya.
Kisah Sainah dan Rusandi mungkin satu dari sekian juta masyarakat indonesia, wabilkhusus NTB yang saat ini masih hidup dibawah garis kemiskinan, merasakan dampak kurang menguntungkan dari kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Meski kebijakan menaikkan harga BBM dibarengi dengan pemberian Bantuan Lansung Sementara Masyarakat (BLSM), sebagai bentuk kompensasi atas kenaikan harga BBM, tidak akan terlalu banyak berarti dan memiliki substansi membantu masyarakat keluar dari persoalan.
BLSM Justru menimbulkan persoalan baru ditengah masyarakat, sebagaimana diprediksikan banyak kalangan. Dalam realisasi dilapangan, terhitung semenjak pertama kali disalurkan, sehari setelah kenaikan harga BBM diumumkan penyaluran BLSM, sudah mulai menemui persoalan, mulai masalah validitas data masyarakat miskin penerima BLSM, penyaluran salah sasaran hingga maraknya praktik kecurangan dalam penyaluran.
Ada masyarakat yang sebenarnya tidak layak menerima BLSM, tetapi karena faktor kedekatan dan unsur kerabat dan kekeluargaan, dengan begitu mudah melenggang mendapatkan bantuan. Sementara ada masyarakat dari kriteria kemiskinan ditetapkan memang layak dan berhak mendapatkan bantuan, karena adanya praktik kecurangan dan permainan pejabat penyalur bantuan, justru tidak mendapatkan haknya.
Bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi berkecukupan, terlebih pejabat pemerintahanan, kenaikan harga BBM tentu tidak akan terlalu berpengaruh signifikan mempengaruhi kekayaan dan tingkat kesejahteraan. Tetapi bagi masyarakat miskin, yang hidup serba kekurangan, tentu menjadi persoalan.
Alasan pemerintah menaikkan harga BBM, sebagai upaya menyelamatkan perekonomian negara memang cukup beralasan. Namun benarkah penyelamatan hanya bisa dilakukan dengan jalan menaikkan harga BBM semata. Kenapa tidak penyelamatan ekonomi dilakukan dengan jalan menghemat anggaran, mengurangi tunjangan termasuk biaya perjalanan dinas para Menteri, anggota Dewan termasuk Presiden, tanpa harus mengorbankan masyarakat miskin atas nama negara.
Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM juga telah menyisakan berbagai kisah pilu ditengah masyarakat. Mengingat bagaimanapun, kebijakan ini telah menimbulkan dampak cukup memprihatinkan bagi kelangsungan prekonomian masyarakat. Sehari setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM melalui para Menterinya, harga sejumlah barang kebutuhan pokok mulain melonjak naik.
Terang saja, kebijakan tersebut, bagi sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi kelas bawah dirasa sangat menyusahkan. Terlebih hampir sebagian besar masyarakat Indonesia masih hidup dan berkubang dalam kemiskinan, dengan mata pencaharian dan pendapatan yang masih jauh dari kata layak serta berkecukupan. Makan makanan asal perut kenyak, dan tidur di bawah kolong jembatan.
Inaq (Ibu) Sainah, asal Bertais Cakranegara, Kota Mataram, yang sehari-hari hanya berkerja sebaga pemulung sampah pelastik mengaku semakin merasa kesulitan memenuhi kebutuhan hidup keluarga, terutama semenjak harga BBM dinaikkan. Mengandalkan pendapatan suami yang kerja serabutan, untuk memenuhi kebutuhan tentu tidak akan mencukupi.
“Ite ne saq jari rakyat kodeq, sere nani, sere solit bae idapte idup, boyak impan kaken penelen anak jarinte, kesusahk bae aran. ndeqne maraq jaman pak Harto laeq, ndeqte wah susah saq meni laloq, ape-ape impan kaken penelen ye muraq, lain saq tebengte endah isiq datu. Nani selapuq ape mahel, minyak gas, beras, sebie bawang kance acan ndaraq ndeq mahel, berembe bae yaq ntan idup”.
“Kita ini yang jadi rakayat kecil, semakin sekarang, semakin sulit saja rasanya hidup mencari rizki sandang dan pangan bagi anak-anak kami. Susah sekali rasanya. Tidak seperti zaman pak Harto, tidak pernah kita susah seperti sekarang. Apa-apa sandang pangan sangat murah, belum lagi yang dikasih secara lansung oleh pemerintah. Sekarang semua pada mahal, minyak tanah, beras, cabai bawang sama trasi tidak ada yang tidak mahal, bagaimana mungkin kita bisa bertahan untu hidup”.
Kisah pilu yang dialami ibu Sainah, juga dirasakan Rusandi, warga Ampenan, sehari-hari mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga, hanya mengandalkan profesi sebagai nelayan, dengan penghasilan tidak menentu. Kenaikan harga BBM bagi masyarakat kecil dan pinggiran seperti Rusandi tentu terasa sangat menyakitkan. Harga BBM mahal, dengan pendapatan tidak menentu tentu semakin menambah beban. Sementara kebutuhan hidup keluarga setiap harinya menuntut untuk tetap terpenuhi.
“dulu, sebelum harga BBM naik saja, pendapatan saya tidak menentu, bahkan tidak ada sama sekali, selain karena alat tangkapan ikan yang masih sederhana dan apa adanya, cuaca yang tidak menentu juga seringkali menjadi faktor hasil tangkapan ikan tidak menentu”, tutur Rusandi, duduk bersandar didinding belakang rumahnya yang sudah mulai lapuk dimakan usia, sambil sesekali menghisap rokok pilitannya.
Kisah Sainah dan Rusandi mungkin satu dari sekian juta masyarakat indonesia, wabilkhusus NTB yang saat ini masih hidup dibawah garis kemiskinan, merasakan dampak kurang menguntungkan dari kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Meski kebijakan menaikkan harga BBM dibarengi dengan pemberian Bantuan Lansung Sementara Masyarakat (BLSM), sebagai bentuk kompensasi atas kenaikan harga BBM, tidak akan terlalu banyak berarti dan memiliki substansi membantu masyarakat keluar dari persoalan.
BLSM Justru menimbulkan persoalan baru ditengah masyarakat, sebagaimana diprediksikan banyak kalangan. Dalam realisasi dilapangan, terhitung semenjak pertama kali disalurkan, sehari setelah kenaikan harga BBM diumumkan penyaluran BLSM, sudah mulai menemui persoalan, mulai masalah validitas data masyarakat miskin penerima BLSM, penyaluran salah sasaran hingga maraknya praktik kecurangan dalam penyaluran.
Ada masyarakat yang sebenarnya tidak layak menerima BLSM, tetapi karena faktor kedekatan dan unsur kerabat dan kekeluargaan, dengan begitu mudah melenggang mendapatkan bantuan. Sementara ada masyarakat dari kriteria kemiskinan ditetapkan memang layak dan berhak mendapatkan bantuan, karena adanya praktik kecurangan dan permainan pejabat penyalur bantuan, justru tidak mendapatkan haknya.
Bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi berkecukupan, terlebih pejabat pemerintahanan, kenaikan harga BBM tentu tidak akan terlalu berpengaruh signifikan mempengaruhi kekayaan dan tingkat kesejahteraan. Tetapi bagi masyarakat miskin, yang hidup serba kekurangan, tentu menjadi persoalan.
Alasan pemerintah menaikkan harga BBM, sebagai upaya menyelamatkan perekonomian negara memang cukup beralasan. Namun benarkah penyelamatan hanya bisa dilakukan dengan jalan menaikkan harga BBM semata. Kenapa tidak penyelamatan ekonomi dilakukan dengan jalan menghemat anggaran, mengurangi tunjangan termasuk biaya perjalanan dinas para Menteri, anggota Dewan termasuk Presiden, tanpa harus mengorbankan masyarakat miskin atas nama negara.
1 komentar :
Memang harus naik :)
Posting Komentar