Tahun 2013 dan 2014 merupakan tahun politik, dimana hampir semua Daerah di seluruh Indonesia melangsungkan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Gubernur, Bupati dan walikota secara lansung oleh masyarakat. Sebagian diantaranya telah selesai melangsungkan pesta demokrasi Pemilukada dan telah menetapkan calon terpilih sebagai kepala daerah yang baru.
Sementara 2014 akan menjadi tahun politik tidak kalah penting. Selain akan dilansungkan agenda besar pesta demokrasi pemilihan umum (Pemilu) Preside oleh seluruh masyarakat Indonesia. Juga akan dilangsungkan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg), sebagai salah satu agenda besar yang tidak kalah menarik, seru dan menegangkan.
Penuh dengan persaingan melibatkan pertaruhan gengsi memperebutkan kursi jabatan kehormatan, yang selama ini menjadi dambaan, impian dan incaran banyak kalangan, mulai dari kalangan masyarakat berpendidikan, tokoh rohaniawan hingga masyarakat pinggiran pelosok kampungan.
Jaminan kesejahteraan dan kenyamanan hidup, jauh dari ancaman kemelaratan, kemiskinan finansial dengan segudang embel-embel tunjangan demikian menjanjikan, menjadikan setiap mereka (Caleg) siap jungkir balik, main sikut-sikutan sampai berani berdarah-darahan mendapatkan kursi jabatan menjadi anggota Dewan.
Sejumlah Caleg malahan rela mengeluarkan uang puluhan hingga ratusan juta pada partai yang digunakan sebagai kendaraan, sebagai bayaran mendapatkan nomor urut keberuntungan. Tidak berlebihan, hampir setiap lima tahun sekali menjelang Pileg dilangsungkan. Animo, semangat, keinginan dan hasrat sebagian masyarakat demikian besar tampil mencalonkan diri mengadu nasib dan peruntungan menjadi anggota Dewan, dengan mendaftar sebagai Caleg.
Tidak terkecuali pada Pileg 2014 mendatang demikian besar. Untuk NTB saja, dengan jumlah partai politik yang ada sebagai peserta Pemilu, persentase Caleg dipastikan mencapai ribuan kursi yang terbagi dalam Caleg di tingkatan Provinsi Kabupaten dan Kota. Belum lagi Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Kalau dikalkulasikan dengan keseluruhan Caleg yang tersebar di daerah lain termasuk Caleg pemerintah pusat, bisa dipastikan persentase keseluruhan Caleg di Indonesia mencapai puluhan hingga ratusan ribu. Sementara jumlah kursi yang diperebutkan tidak berbanding lurus dengan jumlah Caleg yang mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU). penulis terkadang membayangkan kalau momen Pileg tidak ubahnya seperti lapangan PNS, yang didalamnya dipenuhi dengan wajah harap penuh cemas bisa diterima.
Caleg Dijadikan Profesi
Kalau tempo hari persentase Caleg masih bisa dihitung dengan jari, dan mereka yang mencalonkan diri juga sebagian berasal dari kalangan dan dengan latar belakang tertentu. Belakangan terutama semenjak era reformasi. Trend sebagian masyarakat memilih ikut terjun ke dunia politik kelihatan mulai mengalami pergeseran. Pilihan berpolitik, terutama maju mencalonkan diri sebagai Caleg tidak lagi dijadikan pilihan atas dasar tuntutan hati nurani untu mengabdi, melainkan telah bergeser menjadi profesi dan memperkaya diri.
Saat ini hampir di setiap daerah Provinsi, Kabupaten Kota, Kecamatan dan pelosok perkampungan sekalipun, tidak ada satupun yang kosong dari Caleg. Menariknya, dalam satu Desa saja, orang yang maju mencalonkan diri sebagai Caleg jumlahnya bisa mencapai belasan orang, baik yang satu partai maupun dengan partai berbeda, dengan latar belakang beragam.
Tidak perduli apakah Caleg bersangkutan dirinya sudah memenuhi unsur kelayakan dan kepatutan secara intlektual maupun pengalaman. Prinsipnya asal memiliki kedekatan, bisa main kucing-kucingan dan memiliki banyak uang, soal kapasitas dan kualitas tidak menjadi persoalan. Tipikal Caleg semacan ini, saat menduduki kursi jabatan sebagai anggota Dewan, melakukan rapat pembahasan anggaran dan pebuatan sejumlah aturan, biasanya hanya bisa mengiyakan.
Tidak adanya pemahaman dan pengalaman, secara keilmuan maupun keorganisasian menjadikan mereka (Dewan) tidak mau tau apakah pembahasan anggaran dan aturan dibuat sudah memenuhi keterwakilan kepentingan masyarakat atau tidak. Mereka taunya memiliki jabatan sebagai anggota Dewan, menerima gaji setipa bulan dengan segala tunjangan dan fasilitas yang didapatkan. Sementara tugas utama yang diamanatkan masyarakat diabaikan.
Hanya sedikit Caleg yang memang benar-benar lahir dibentuk melalui proses panjang, memiliki komitmen kuat terjun mencalonkan diri murni dilakukan untuk mengabdi dan memperjuangkan kepentingan masyarakat, melalui pengalaman didapatkan dilapangan melakukan advokasi dan pemberdayaan sebagai aktivis sosial kemasyarakatan melalui Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) dan NGO.
Merubah pola pikir serta persepsi sebagian masyarakat, tentang pilihan politik mencalonkan diri sebagai Caleg, sebagai panggilan nurani untuk mengabdi, bukan sebagai profesi mencari pekerjaan dan jabatan semata, rasanya cukup sulit, sebab sudah demikian mengakar kuat. Terbuka lebarnya peluang berlangsungnya praktik transaksional didalam tubuh Patrai Politik (Parpol), juga turut serta telah melahirkan kader yang cendrung bermentalkan hedonis dan pragmatis, dan melakukan segala sesuatu berdasarkan pertimbangan untung rugi.
Pola rekrutman dan sleksi secara ketat kader partai, termasuk Caleg pada Pileg 2014 mendatang menjadi salah satu strategi penting mendapatkan Caleg berkualitas dan bisa diandalkan melakukan kerja-kerja untuk rakyat, mengawal setiap kebijakan pembangunan, memperjuangkan anggaran yang bisa mengakomodir dan merepresentasikan kepentingan masyarakat.
Terlebih Caleg yang memang lahir/dibesarkan dari kalangan aktivis sosial kemasyarakatan, dengngan berbekal pengalaman malang melintang melakukan kegitan advokasi pemberdayaan bidang sosial dan anggaran. Dalam menjalankan tugas dan fungsi jabatab sebagai anggota Dewan disandang, tentu tidak banyak mengalami kesulitan.
Sementara 2014 akan menjadi tahun politik tidak kalah penting. Selain akan dilansungkan agenda besar pesta demokrasi pemilihan umum (Pemilu) Preside oleh seluruh masyarakat Indonesia. Juga akan dilangsungkan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg), sebagai salah satu agenda besar yang tidak kalah menarik, seru dan menegangkan.
Penuh dengan persaingan melibatkan pertaruhan gengsi memperebutkan kursi jabatan kehormatan, yang selama ini menjadi dambaan, impian dan incaran banyak kalangan, mulai dari kalangan masyarakat berpendidikan, tokoh rohaniawan hingga masyarakat pinggiran pelosok kampungan.
Jaminan kesejahteraan dan kenyamanan hidup, jauh dari ancaman kemelaratan, kemiskinan finansial dengan segudang embel-embel tunjangan demikian menjanjikan, menjadikan setiap mereka (Caleg) siap jungkir balik, main sikut-sikutan sampai berani berdarah-darahan mendapatkan kursi jabatan menjadi anggota Dewan.
Sejumlah Caleg malahan rela mengeluarkan uang puluhan hingga ratusan juta pada partai yang digunakan sebagai kendaraan, sebagai bayaran mendapatkan nomor urut keberuntungan. Tidak berlebihan, hampir setiap lima tahun sekali menjelang Pileg dilangsungkan. Animo, semangat, keinginan dan hasrat sebagian masyarakat demikian besar tampil mencalonkan diri mengadu nasib dan peruntungan menjadi anggota Dewan, dengan mendaftar sebagai Caleg.
Tidak terkecuali pada Pileg 2014 mendatang demikian besar. Untuk NTB saja, dengan jumlah partai politik yang ada sebagai peserta Pemilu, persentase Caleg dipastikan mencapai ribuan kursi yang terbagi dalam Caleg di tingkatan Provinsi Kabupaten dan Kota. Belum lagi Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Kalau dikalkulasikan dengan keseluruhan Caleg yang tersebar di daerah lain termasuk Caleg pemerintah pusat, bisa dipastikan persentase keseluruhan Caleg di Indonesia mencapai puluhan hingga ratusan ribu. Sementara jumlah kursi yang diperebutkan tidak berbanding lurus dengan jumlah Caleg yang mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU). penulis terkadang membayangkan kalau momen Pileg tidak ubahnya seperti lapangan PNS, yang didalamnya dipenuhi dengan wajah harap penuh cemas bisa diterima.
Caleg Dijadikan Profesi
Kalau tempo hari persentase Caleg masih bisa dihitung dengan jari, dan mereka yang mencalonkan diri juga sebagian berasal dari kalangan dan dengan latar belakang tertentu. Belakangan terutama semenjak era reformasi. Trend sebagian masyarakat memilih ikut terjun ke dunia politik kelihatan mulai mengalami pergeseran. Pilihan berpolitik, terutama maju mencalonkan diri sebagai Caleg tidak lagi dijadikan pilihan atas dasar tuntutan hati nurani untu mengabdi, melainkan telah bergeser menjadi profesi dan memperkaya diri.
Saat ini hampir di setiap daerah Provinsi, Kabupaten Kota, Kecamatan dan pelosok perkampungan sekalipun, tidak ada satupun yang kosong dari Caleg. Menariknya, dalam satu Desa saja, orang yang maju mencalonkan diri sebagai Caleg jumlahnya bisa mencapai belasan orang, baik yang satu partai maupun dengan partai berbeda, dengan latar belakang beragam.
Tidak perduli apakah Caleg bersangkutan dirinya sudah memenuhi unsur kelayakan dan kepatutan secara intlektual maupun pengalaman. Prinsipnya asal memiliki kedekatan, bisa main kucing-kucingan dan memiliki banyak uang, soal kapasitas dan kualitas tidak menjadi persoalan. Tipikal Caleg semacan ini, saat menduduki kursi jabatan sebagai anggota Dewan, melakukan rapat pembahasan anggaran dan pebuatan sejumlah aturan, biasanya hanya bisa mengiyakan.
Tidak adanya pemahaman dan pengalaman, secara keilmuan maupun keorganisasian menjadikan mereka (Dewan) tidak mau tau apakah pembahasan anggaran dan aturan dibuat sudah memenuhi keterwakilan kepentingan masyarakat atau tidak. Mereka taunya memiliki jabatan sebagai anggota Dewan, menerima gaji setipa bulan dengan segala tunjangan dan fasilitas yang didapatkan. Sementara tugas utama yang diamanatkan masyarakat diabaikan.
Hanya sedikit Caleg yang memang benar-benar lahir dibentuk melalui proses panjang, memiliki komitmen kuat terjun mencalonkan diri murni dilakukan untuk mengabdi dan memperjuangkan kepentingan masyarakat, melalui pengalaman didapatkan dilapangan melakukan advokasi dan pemberdayaan sebagai aktivis sosial kemasyarakatan melalui Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) dan NGO.
Merubah pola pikir serta persepsi sebagian masyarakat, tentang pilihan politik mencalonkan diri sebagai Caleg, sebagai panggilan nurani untuk mengabdi, bukan sebagai profesi mencari pekerjaan dan jabatan semata, rasanya cukup sulit, sebab sudah demikian mengakar kuat. Terbuka lebarnya peluang berlangsungnya praktik transaksional didalam tubuh Patrai Politik (Parpol), juga turut serta telah melahirkan kader yang cendrung bermentalkan hedonis dan pragmatis, dan melakukan segala sesuatu berdasarkan pertimbangan untung rugi.
Pola rekrutman dan sleksi secara ketat kader partai, termasuk Caleg pada Pileg 2014 mendatang menjadi salah satu strategi penting mendapatkan Caleg berkualitas dan bisa diandalkan melakukan kerja-kerja untuk rakyat, mengawal setiap kebijakan pembangunan, memperjuangkan anggaran yang bisa mengakomodir dan merepresentasikan kepentingan masyarakat.
Terlebih Caleg yang memang lahir/dibesarkan dari kalangan aktivis sosial kemasyarakatan, dengngan berbekal pengalaman malang melintang melakukan kegitan advokasi pemberdayaan bidang sosial dan anggaran. Dalam menjalankan tugas dan fungsi jabatab sebagai anggota Dewan disandang, tentu tidak banyak mengalami kesulitan.
Posting Komentar