Secara spontan teman di samping mahasiswa tersebut yang ternyata satu kelompok dengan dia mengatakan, ente ini serius sekali mikirin makalah, ntar malam juga sudah jadi, jangan hawati, ada mbah googel, ayo ngopi dulu, kata mahasiswa tersebut sambil menghisap dalam -dalam sebatang rokok surya yang dipegangnya
Perbincangan mahasiswa tersebut memang hanya satu perbincangan warung sampingan yang kebetulan saja secara tidak sengaja saya dengar dan kalau dalam konsep penelitian akademisi bergelar master, doktor dan profesor perguruan tinggi, perbincangan tersebut tidak bernilai apa - apa dan tidak cukup mewakili untuk dijadikan sampel dan mengatakan bahwa semua mahasiswa memiliki budaya seperti itu
Tapi saya membayangkan kalau sebagian di antara pelajar dan mahasiswa memiliki kebiasaan tersebut, terlebih di era perkembangan dan kemajuan industri teknologi seperti sekarang ini, bagaiman budaya baca buku semakin kurang digandrungi, bagaimana pulu ratusan ribu bahkan jutaan deretan buku perpustakaan hanya akan menjadi bahan pajangan berdebu
Perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dalam perjalanannya memang telah memberikan warna baru dalam kehidupan manusia di berbagai bidang kehidupan, mulai bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pendidikan. Era digital sekarang terutama dengan adanya media sosial tidak ada terasa sulit dan mustahil dilakukan
Dalam
dunia pendidikan misalkan, sekarang masyarakat, pelajar dan mahasiswa bisa dengan
mudah mengakses informasi, tanpa harus dibatasi ruang, waktu dan tempat. Sumber
informasi dan pembelajaran bisa diperoleh dari berbagai sumber dengan demikian
mudah dan cepat hanya dalam hitungan detik, menit maupun jam, semua bisa
dengan mudah diproleh dengan adanya media sosial
Sumber informasi dan pengetahuan tidak lagi terfokus pada buku pelajaran, perpustakaan dan guru sebagai subjek dan pembaca, masyarakat, pelajar dan mahasiswa sebagai objek. Dengan adanya media sosial masyarakat bisa lebih cepat dan dengan mudah mendapatkan pengetahuan dan informasi apapun yang sedang berlansung di tengah masyarakat
Berbeda sekali misalkan ketika media sosial internet belum berkembang seperti sekarang. Kalau mau sedikit bernostalgia dengan masa tempo dulu di kampus, ketika saya menjadi mahasiswa, mengerjakan tugas makalah, bagaima harus berbagi tugas dengan teman mahasiswa kelompok, membolak balik deretan buku mata kuliah yang dipajang di rak perpustakaan, hanya untuk mencari buku materi materi perkuliahan yang akan dijadikan sebagai rujukan membuat makalah untuk hendak diperesentasikan
Sekarang
dengan adanya media sosial seperti googel, website, blog, wordpres maupun
sejumlah media sosial lain, masyarakat, pelajar dan mahasiswa bisa dengan
mudah mendapatkan semua hal dibutuhkan, cukup hanya dengan satu klik saja
berbagai pristiwa di dunia dan informasi dibutuhkan bisa didapatkan
Tapi di balik perkembangan, kemajuan teknologi dan kemudahan didapatkan dari adanya media sosial, sebagian masyarakat, pelajar dan mahasiswa cendrung menjadi lebih manja dan menggandrungi budaya serba instan, main copy paste materi pelajaran melalui internet, mengabaikan buku bacaan dan perpustakaan sebagai sumber bacaan yang lebih mampu memberikan pengetahuan mendalam dan komprehensif
Saya terkadang membayangkan, dengan adanya media sosial, akankan gelar kutu buku yang selam ini disematkan bagi masyarakat penikmat dan suka melahap buku - buku bacaan, rajin mengunjungi perpustakaan hanya akan menjadi kenangan dan cerita dalam dongeng - dongeng. Mungkinkah istilah baru “virus media social” akan lahir dari kecendrungan masyarakat yang mulai banyak menggandrungi dan mendewakan media sosial sebagai sumber bacaan dan pengetahuan
Beberapa kali saya mendengar cerita dosen mata kuliah yang memberikan mahasiswanya nilai C gara - gara mendapatkan mahasiswa melakukan copy paste terhadap makalah yang diperesentasikan dari media sosial googel dengan sistim kebut semalam (SKS) atau cerita mahasiswa yang menggerutu, gara - gara diwajibkan program catat buku sampai habis (CBSA) dari dosen karena alasan supaya mahasiswa mau membaca dan menulis
Kemiskinan Intelektual
Ulasan di
atas tidak hendak mengatakan atau mengartikulasikan, bahwa menjadikan media
sosial sebagai sumber bacaan, rujukan pengetahuan tidak mencerdaskan, tapi coba
kita lihat dan bandingkan kemauan, minat dan keinginan membaca buku dengan
membaca suatu informasi atau bacaan lain melalui media sosial jelas sangat jauh
berbeda
Kecendrungan sebagian orang mau membaca suatu pengetahuan, informasi atau peristiwa melalu media sosial, paling lama hanya berkisar antara lima sampai sepuluh menit, setelah itu akan berpindah membuka laman media sosial lain, atau bahkan menutup sama sekali prangkat elektronik yang digunakan, sehingga jeda waktu untuk memahami dan meresapi informasi dibaca juga tidak terkonsentrasi
Belum lagi godaan untuk membuka media sosial seperti facebook, twitter, instagram danbeberapa media sosial lain yang secara lansung, selain merusak konsentrasi membaca, juga membuat sebagian orang menjadi malas untuk membaca lebih lama, apalagi pelajar dan mahasiswa dengan trend perkembangan teknologi sekarang yang semakin canggih dan menggoda, ahirnya yang ada hanya rasa malas dan asal main copy paste ketika ada tugas sekolah atau mata kuliah
Bandingkan
dengan membaca buku, apalagi buku bacaan menarik, dari sisi kedalaman ulasan
analisis dan nilai didapatkan jelas jauh lebih bagus termasuk konsentrasi untuk
membaca, meresapi dan memahami lembar demi lembar setiap buku yang dibaca
menjadi lebih terfokus dan lebih mudah dicerna
Meminjam bahasanya penulis buku "andaikan buku sepotong pizza", Hernowo, nilai membaca di media sosial internet jelas berbeda dengan dengan membaca buku, baik dari sisi kedalaman, akurasi dan analisis tentang suatu pengetahuan atau informasi didapatkan
Posting Komentar