Ayomenulis. Dalam setiap kesempatan pelatihan, seminar, workshop, diskusi kecilan warung
sampingan, bahkan melalui group wartawan di sosial media black berry masage dan WhatsApp,
diskusi tentang jurnalis berintegritas selalu menjadi materi perbincangan
hangat, terutama dari kalangan jurnalis, wartawan maupun reporter media cetak
dan elektronik
Diskusi dan perdebatan melalui group wartawan sosial media whatsApp paling sering berlansung, bahkan tidak jarang dari diskusi ringan bisa berahir menjadi perdebatan memuakkan di antara jurnalis, wartawan dan reporter, karena saling menghujat hujat dengan diskusi tidak sehat, karena adanya perbedaan pandangan ketika pembicaraan sudah membahas masalah Kode Etik Jurnalis (KEJ), integritas dan kesejahteraan
Diskusi dan perdebatan melalui group wartawan sosial media whatsApp paling sering berlansung, bahkan tidak jarang dari diskusi ringan bisa berahir menjadi perdebatan memuakkan di antara jurnalis, wartawan dan reporter, karena saling menghujat hujat dengan diskusi tidak sehat, karena adanya perbedaan pandangan ketika pembicaraan sudah membahas masalah Kode Etik Jurnalis (KEJ), integritas dan kesejahteraan
Baca juga, Media Sosial, Mahasiswa dan Budaya Copypaste
Beda orang, berbeda pula cara pandang dan pemikiran dalam melihat suatu
persoalan termasuk dalam memberikan pandangan terkait jurnalis berintegritas
sudah pasti berseliweran, mulai dari jurnalis yang menekankan pentingnya integritas
dengan menjadikan KEJ sebagai harga mati untuk dipedomani, sampai jurnalis yang
menyangsikan dan pesimistis KEJ bisa dijalankan sepenuh hati oleh semua
jurnalis, kalau perusahaan media masih abai dengan nasib dan kesejahteraan
pekerja pers
Kalau boleh saya sedikit berargumentasi, ada ketimpangan yang terjadi memang antara kewajiban menjalankan KEJ dengan hak jurnalis mendapatkan kesejahteraan. Di satu sisi dalam setiap kesempatan, Organisasi wartawan, perusahaan media, pakar, pemerintah, DPR dan kalangan jurnalis sendiri demikian kencang menyuarakan supaya jurnalis dalam menjalankan kerja jurnalistik tetap profesional sesuai KEJ
Sebagian KEJ bahkan sudah dicantumkan perusahaan media melalui ID Card yang diberikan kepada jurnalis semenjak pertamakali bekerja di perusahaan media bersangkutan, tapi giliran bicara masalah kesejahteraan, mulai dari gaji, tunjangan dan jaminan sosial lain, perusahaan media, organisasi pers termasuk jurnalis sendiri seperti mati kutu,tidak berdaya dan nyaris tidak terdengar bersuara. Jurnalis dan pekerja pers lain terkadang tidak ubahnya seperti sapi perahan dipaksa bekerja di bawah tekanan dan target perusahaan, sementara kesejahteraan jurnalis terabaikan
Kalau boleh saya sedikit berargumentasi, ada ketimpangan yang terjadi memang antara kewajiban menjalankan KEJ dengan hak jurnalis mendapatkan kesejahteraan. Di satu sisi dalam setiap kesempatan, Organisasi wartawan, perusahaan media, pakar, pemerintah, DPR dan kalangan jurnalis sendiri demikian kencang menyuarakan supaya jurnalis dalam menjalankan kerja jurnalistik tetap profesional sesuai KEJ
Sebagian KEJ bahkan sudah dicantumkan perusahaan media melalui ID Card yang diberikan kepada jurnalis semenjak pertamakali bekerja di perusahaan media bersangkutan, tapi giliran bicara masalah kesejahteraan, mulai dari gaji, tunjangan dan jaminan sosial lain, perusahaan media, organisasi pers termasuk jurnalis sendiri seperti mati kutu,tidak berdaya dan nyaris tidak terdengar bersuara. Jurnalis dan pekerja pers lain terkadang tidak ubahnya seperti sapi perahan dipaksa bekerja di bawah tekanan dan target perusahaan, sementara kesejahteraan jurnalis terabaikan
Dengan kondisi tersebut, rasanya tidak adil kalau kesalahan sepenuhnya ditumpahkan kepada jurnalis atau wartawan ketika melakukan proses peliputan, kemudian (mohon maaf) 'menerima hadiah' dari narasumber, meski semua tau menerima pemberian dalam bentuk apapun dari narasumber tidak dibenarkan
Saya berharap tulisan ini tidak ditafsirkan negatif, catatan ini saya tulis dan muat juga bukan sebagai bentuk curhatan, tapi sekedar ingin sharing bahwa seperti itulah pekerjaan jurnalis, pekerjaan mulia penuh tantangan, tapi minim perhatian dan kesejahteraan. Sebagian jurnalis hanya dijadikan sapi perahan oleh sebagian perusahaan media tempat bekerja, mencari dan mendatangkan keuntungan besar secara finansial
Momentum Hari Pers Nasional (HPN) atau ada yang sebut sebagai Hari PWI Nasional di Lombok NTB beberapa waktu lalu semestinya tidak sekedar acara seremonial, tapi diharapkan bisa menjadi momentum, bagaiman merumuskan kesepakatan bersama dari organisasi pers, aktivis dan para jurnalis memperjuangkan bersama masalah kesejahteraan jurnalis, mengingat pada puncak HPN juga banyak dihadiri pengusaha media
Karena kalau kesejahteraan jurnalis sudah terjamin, masalah integritas dengan sendirinya akan bisa dibentuk dari para jurnalis dan pekerja media lain serta patuh pada KEJ juga akan bisa dengan mudah dilaksanakan, mengingat persoalan integritas bagaimanapun tidak bisa dipungkiri memiliki keterkaitan erat dengan masalah kesejahteraan jurnalis dalam menjalankan kerja meliput dan menulis berita
Selebihnya puncak HPN diisi dengan aksi spontan Ketua PWI pusat, Margiono yang menyindir pengusaha media yang hadir dengan bahasa lelucon dan membuat semua peserta HPN, Presiden, Menteri termasuk pasukan pengamanan presiden (Paspampres) yang biasa dengan wajah tegang dan sangar memantau keamanan lokasi sekitar presiden mengikuti acara, ikut tertawa terpingkal
Bagaimana tidak, Margiono secara spontan dan blak - blakan menyemprot dan mengkritik semua pemilik sekaligus pengusaha media nasional dengan bahasa pedes namun dibalut lelucon, membuat siapapun yang mendengar akan tertawa, misalkan saat memplintir nama Pengusaha dan pemilik media cetak Jawa Post Group, Dahlan Iskan (DI) menjadi Demi Iklan, kemudian pengusaha dan pemilik media televisi MNC Group, Hari Tano (HT) dipelesetkan Harus Tajir, Surya Paloh pemilik stasiun televisi MetroTV dan Aburizal Bakri sebagai pemilik stasiun televisi TVone
Foto : Turmuzi |
Bahkan ada perusahaan media yang menggaji wartawan jumlahnya bagi saya sangat
tidak 'manusiawi', 300 sampai 500 ribu perbulan, dan terkadang tidak menentu,
tidak sebanding dengan beban kerja diberikan, sementara KEJ yang menempel pada
kartu pers atau ID Card selalu dibawa kemana langkah wartawan dan jurnalis
memburu berita, meski pada ahirnya ditaati atau tidak
Pembahasan mengenai bagaimana mendorong perusahaan media
meningkatkan kesejahteraan jurnalis dan wartawan berintegritas, dengan
mendorong pemerintah segera mengesahkan UU yang mengatur dan memaksa perusahaan
media meningkatkan kesejahteraan wartawan nyaris tidak ada, mengingat Kalau
kesejahteraan wartawan sudah terjamin melalui UU yang harus dijalankan
perusahaan media, maka mewujudkan pemberitaan berkualitas dengan jurnalis
berintegritas saya kira akan lebihmudah diwujudkan
Menutup catatan ini, saya ingin mengutif perkataan Gubernur
NTB pada acara pameran media HPN di Lombok City Center, Kabupaten Lombok Barat
beberapa waktu lalu, bahwa pekerjaan jurnalis itu merupakan pekerjaan
intelektual yang tidak saja menguras tenaga, tapi juga melalui proses
pergulatan pemikiran guna menghasilkan prodak jurnalistik berkualitas untuk
disampaikan kepada masyarakat sebagai informasi mencerahkan, jadi sudah
selayaknya dihargai, baik dari sisi penghormatan dan kesejahteraan. Semoga
Posting Komentar