Ayomenulis. Tampilnya sejumlah nama dan tokoh alternatif, yang sebagian berasal dari non partai politik (Parpol) sebagai bakal calon presiden menjelang pemilu 2014 mendatang, berdasarkan hasil surve yang dilakukan sejumlah lembaga surve, menunjukkan adanya pergeseran trend minat dari masyarakat dalam menilai dan menentukan kriteria sosok pemimpin dinginkan.
Meski beberapa nama di antaranya saat ini tergabung dalam Parpol, seperti Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Palang Merah Indonesia (PMI), yang juga mantan wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. Meski begitu, kepopuleran mereka dipilih masyarakat sebagai bakal calon Presiden masih cukup tinggi, kalau dibandingkan dengan sejumlah petinggi parpol lain.
Ukuran dan kriteria alasan sebagian besar masyarakat memilih mereka berdua, juga hampir sama dengan beberapa calon Presiden alternatif diatas, yaitu lebih menyangkut soal intergritas, komitmen dan prestasi kerja melakukan perubahan selama dipercaya memegang tampuk kepemimpinan oleh masyarakat, dan bukan karena pengaruh parpol tempat tergabung semata.
Selain perubahan masalah trend, tingkat rasionalitas masyarakat dalam menetukan pilihan nampaknya juga sudah demikian tinggi, tidak saja di kalangan masyarakat berpendidikan, bahkan di lapisan masyarakat bawah sekalipun fenomena tersebut sudah mulai nampak, dan demikian menggejala. Meski sikap pragmatisme sebagian masyarakat dalam pemilu maupun pemilukada juga masih tetap ada.
Gejala yang sama nampaknya juga sudah mulai merambah ke sejumlah Daerah, termasuk di NTB. Meski intensitasnya belum terlalu besar seperti di Kota-kota besar sebutlah Jakarta. Lambat laun ada saatnya dimana fenomena yang sama akan terjadi, hanya soal waktu. Dimana masyarakat mulai melek politik dengan mengedepankan sikap rasinal.
Pemilukada Kabupaten Lombok Timur (Lotim) yang dimenangkan pasangan Ali Bin Dahlan dengan Khaerul Warisin (Alkhaer) pada 13 Juni 2013 bisa menjadi bukti kalau kesadaran masyarakat dalam menentukan pilihan lebih mengedepankan sikap rasionalitas, ketimbang faktor lain. Ali BD dipilih masyarakat bukan karena faktor ketokohan hasil warisan, pinjaman apalagi buatan.
Sebab Ali memang bukan lahir dari orang yang ditokohkan, melainkan lahir dari masyarakat biasa. Keterpilihan Ali lebih karena prestasi yang ditorehkan pada periode kepemimpinan sebelumnya. Meski maju kembali mencalonkan diri sebagai Bupati lewat jalur independen (perseorangan), buktinya Ali mampu mendulang suara besar dan mengalahkan pasangan calon incumben.
Faktor lain keterpilihan Ali kembali sebagai Bupati Lotim tentu bukan semata, kekecewaan masyarakat kepada pemerintahan pasangan calon incumben, ataupun karena faktor ketokohan semata, tetapi masyarakat lebih melihat Ali sebagai sosok yang pada masa kepemimpinan sebagai bupati Lotim periode sebelumnya telah mampu menciptakan banyak perubahan, yang kemudian menjadi alasan kuat masyarakat, menjatuhkan pilihan kembali kepada Ali dari pasangan lain, termasuk pasangan calon incumbent.
Strategi mendapatkan simpati masyarakat yang dilakukan kebanyakan Caleg, calon Kepala Daerah termasuk Parpol melalui tampilan kesing atau sisi permukaan calon,
kepandain beretorika dan bersilat lidah menebar janji, iklan pencitraan, dan pengaruh ketokohan hasil warisan/pinjaman, yang dalam beberapa suksesi pemilukada memang lumayan ampuh dijadikan sebagai senjata andalan politisi mendulang banyak suara, kedepan nampaknya tidak akan berarti besar mempengaruhi pilihan masyarakat.
Demikian halnya dengan adanya sejumlah Parpol yang memakai embel-embel agama, juga tidak akan terlalu berarti bagi masyarakat dalam menentukan pilihan. Sebab simbol agama yang melekat pada partai juga kerap dijadikan alat jual oleh oknum politisi tertentu, sebagai batu loncatan mendapatkan kekuasaan.
Sejumlah politisi dan kader Parpol bersimbolkan agama belakangan malahan sudah mulai ramai terseret kasus korupsi. Hal ini menjadi bukti sekaligus penegasan bahwasanya, latar belakang tempat sesorang lahir dan dibesarkan secara pribadi, organisasi, agama maupun Parpol dan faktor lain tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur menilai serta mendapatkan calon pemimpin berkualitas.
Integritas dan hasil kerja secara nyata akan menjadi pertimbangan paling besar bagi masyarakat dalam menentukan pilihan. Latar belakang menyangkut faktor kesukuan, ras dan keagamaan, sudah bukan lagi menjadi pertimbangan terlebih dipersoalkan untuk memilih sosok pemimpin didambakan, asalkan mampu menciptakan perbuhan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat, tetap akan menjadi pilihan.
Fenomena ini tentu menjadi tamparan sekaligus ancaman besar bagi eksistensi Parpol di tengah masyarakat. Kalau tempo hari Parpol bisa laris manis mendulang suara cukup hanya dengan menggandeng tokoh besar agama dan masyarakat. Mulai sekarang maupun di masa mendatang Parpol nampaknya harus siap mulai bekerja keras memeras keringat memulihkan citra partai, mendapatkan simpati dan mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Rajin turun lansung mendengarkan keinginan dan aspirasi masyarakat, kalau tidak ingin ditinggalkan konstituen dan menjadi partai yang berada di nomor buncit mendapatkan suara menjelang Pemilu maupun Pemilukada. Integritas Caleg maupun Calon Kepala Daerah yang diusung parti juga akan sangat menentukan. Karena itu pola rekrutmen kader partai yang transparan dan jauh dari pola transaksional tentu akan bisa menghasilkan kader berkualitas. Semoga
Meski beberapa nama di antaranya saat ini tergabung dalam Parpol, seperti Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Palang Merah Indonesia (PMI), yang juga mantan wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. Meski begitu, kepopuleran mereka dipilih masyarakat sebagai bakal calon Presiden masih cukup tinggi, kalau dibandingkan dengan sejumlah petinggi parpol lain.
Ukuran dan kriteria alasan sebagian besar masyarakat memilih mereka berdua, juga hampir sama dengan beberapa calon Presiden alternatif diatas, yaitu lebih menyangkut soal intergritas, komitmen dan prestasi kerja melakukan perubahan selama dipercaya memegang tampuk kepemimpinan oleh masyarakat, dan bukan karena pengaruh parpol tempat tergabung semata.
Selain perubahan masalah trend, tingkat rasionalitas masyarakat dalam menetukan pilihan nampaknya juga sudah demikian tinggi, tidak saja di kalangan masyarakat berpendidikan, bahkan di lapisan masyarakat bawah sekalipun fenomena tersebut sudah mulai nampak, dan demikian menggejala. Meski sikap pragmatisme sebagian masyarakat dalam pemilu maupun pemilukada juga masih tetap ada.
Gejala yang sama nampaknya juga sudah mulai merambah ke sejumlah Daerah, termasuk di NTB. Meski intensitasnya belum terlalu besar seperti di Kota-kota besar sebutlah Jakarta. Lambat laun ada saatnya dimana fenomena yang sama akan terjadi, hanya soal waktu. Dimana masyarakat mulai melek politik dengan mengedepankan sikap rasinal.
Pemilukada Kabupaten Lombok Timur (Lotim) yang dimenangkan pasangan Ali Bin Dahlan dengan Khaerul Warisin (Alkhaer) pada 13 Juni 2013 bisa menjadi bukti kalau kesadaran masyarakat dalam menentukan pilihan lebih mengedepankan sikap rasionalitas, ketimbang faktor lain. Ali BD dipilih masyarakat bukan karena faktor ketokohan hasil warisan, pinjaman apalagi buatan.
Sebab Ali memang bukan lahir dari orang yang ditokohkan, melainkan lahir dari masyarakat biasa. Keterpilihan Ali lebih karena prestasi yang ditorehkan pada periode kepemimpinan sebelumnya. Meski maju kembali mencalonkan diri sebagai Bupati lewat jalur independen (perseorangan), buktinya Ali mampu mendulang suara besar dan mengalahkan pasangan calon incumben.
Faktor lain keterpilihan Ali kembali sebagai Bupati Lotim tentu bukan semata, kekecewaan masyarakat kepada pemerintahan pasangan calon incumben, ataupun karena faktor ketokohan semata, tetapi masyarakat lebih melihat Ali sebagai sosok yang pada masa kepemimpinan sebagai bupati Lotim periode sebelumnya telah mampu menciptakan banyak perubahan, yang kemudian menjadi alasan kuat masyarakat, menjatuhkan pilihan kembali kepada Ali dari pasangan lain, termasuk pasangan calon incumbent.
Strategi mendapatkan simpati masyarakat yang dilakukan kebanyakan Caleg, calon Kepala Daerah termasuk Parpol melalui tampilan kesing atau sisi permukaan calon,
kepandain beretorika dan bersilat lidah menebar janji, iklan pencitraan, dan pengaruh ketokohan hasil warisan/pinjaman, yang dalam beberapa suksesi pemilukada memang lumayan ampuh dijadikan sebagai senjata andalan politisi mendulang banyak suara, kedepan nampaknya tidak akan berarti besar mempengaruhi pilihan masyarakat.
Demikian halnya dengan adanya sejumlah Parpol yang memakai embel-embel agama, juga tidak akan terlalu berarti bagi masyarakat dalam menentukan pilihan. Sebab simbol agama yang melekat pada partai juga kerap dijadikan alat jual oleh oknum politisi tertentu, sebagai batu loncatan mendapatkan kekuasaan.
Sejumlah politisi dan kader Parpol bersimbolkan agama belakangan malahan sudah mulai ramai terseret kasus korupsi. Hal ini menjadi bukti sekaligus penegasan bahwasanya, latar belakang tempat sesorang lahir dan dibesarkan secara pribadi, organisasi, agama maupun Parpol dan faktor lain tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur menilai serta mendapatkan calon pemimpin berkualitas.
Integritas dan hasil kerja secara nyata akan menjadi pertimbangan paling besar bagi masyarakat dalam menentukan pilihan. Latar belakang menyangkut faktor kesukuan, ras dan keagamaan, sudah bukan lagi menjadi pertimbangan terlebih dipersoalkan untuk memilih sosok pemimpin didambakan, asalkan mampu menciptakan perbuhan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat, tetap akan menjadi pilihan.
Fenomena ini tentu menjadi tamparan sekaligus ancaman besar bagi eksistensi Parpol di tengah masyarakat. Kalau tempo hari Parpol bisa laris manis mendulang suara cukup hanya dengan menggandeng tokoh besar agama dan masyarakat. Mulai sekarang maupun di masa mendatang Parpol nampaknya harus siap mulai bekerja keras memeras keringat memulihkan citra partai, mendapatkan simpati dan mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Rajin turun lansung mendengarkan keinginan dan aspirasi masyarakat, kalau tidak ingin ditinggalkan konstituen dan menjadi partai yang berada di nomor buncit mendapatkan suara menjelang Pemilu maupun Pemilukada. Integritas Caleg maupun Calon Kepala Daerah yang diusung parti juga akan sangat menentukan. Karena itu pola rekrutmen kader partai yang transparan dan jauh dari pola transaksional tentu akan bisa menghasilkan kader berkualitas. Semoga
Posting Komentar