Ayomenulis. Pagi itu
suasana nampak begitu cerah, mengiringi terbitnya sang mentari dari ufuk timur.
Sayup-sayup terdengar suara kicauan burung begitu merdu, dari dahan pohon satu
ke dahan pohon yang lain seakan ikut
bernyanyi menyambut indahnya suasa pagi.
Di sebuah desa terpencil di
bagian Medan Sumatra Selatan, nampak seorang gadis keluar dari rumah ciri khas
adat Batak, berbentuk sebuah panggung tinggi yang terbuat dari kayu-kayu jati
yang kokoh.
Rumondang nama
gadis tersebut. Seorang gadis desa keturunan Tionghoa yang semasa kecilnya
terpaksa harus di tempuh seorang diri, tanpa ayah dan ibu. Sebab Rumondang
sudah di tinggalkan oleh ibunya semenjak masih berumur satu tahun. Bukan di
tinggal ke alam baka, akan tetapi di tinggal entah ke mana. Dengan kondisi
seperti ini Rumondang seringkali mengalami pergolakan batin menghadapi
kenyataan hidupnya sendiri, yang tidak pernah bisa dia pahami, apa sesungguhnya
makna dari semua ini.
Terkadang kalau
mengingat kembali perjalanan hidupnya sewaktu masih kecil, Rumondang tidak akan
melupakan hari-harinya ketika masih kanak-kanak. Prilaku nenek dan
saudara-saudara ayahnya yang seringkali menyakiti perasaannya. Bahkan bukan
saja secara batiniah, yang di kaitkan dengan ibunya sebagai wanita tidak
bertanggung jawab terhadap keluarga dan anaknya, demi mengejar ambisi harta
semata, akan tetapi juga penganiyayan terhadap Rumondang tidak jarang di
lakukan dalam bentuk fisik.
Secara singkat,
buku ini mengisahkan tentang pergolakan batin seorang gadis keturunan Tionghoa,yang
semasa kecilnya harus menerima kenyataan pahit menimpa dirinya sebagai anak
yang tidak pernah bisa menikmati kebahagiaan dan menerima kasih sayang dari
orang tuanya seperti kebanyakan anak-anak lainnya. Orang tua yang semestinya
patut di jadikan teladan, malah berbeda haluan, dan terhanyut mempetahankan
kemauan, dan egoisme masing-masing. Hingga pada ahirnya keluarga pun jadi
berantakan.
Ini dapat
terlihat dari ketidak sepahaman pandangan di antara kedua orang tua Rumondang
yang sama-sama keras kepala mempertahankan prinsip hidup masing-masing, yang
mereka klaim akan lebih baik dan menguntungkan. Dengan kondisi semacam ini,
seringkali membuat Rumondang merasa jenuh, sedih dan kecewa sekali dengan kedua
orang tuanya yang sama-sama egois. Tidak patut di jadikan oleh anaknya, bahkan
oleh siapapun. Apalagi di beri penghargaan segala.
Di satu sisi sosok sang ayah Sitor Siregar terhanyut
menikmati hidupnya sebagai seorang seniman, yang belum lama ini begitu
berbahagia dan sangat bangga, di anugrahi Poetri Award. Kumpulan
puisinya sering mendapat banyak penghargaan, baik dari dalam negeri maupun
mancanegara. Sanggarnya yang terletak di pesisir Depok semakin banyak di
kunjungi oleh banyak seniman dan budayawan. Baik para seniornya, seangkatan
maupun para pemula yang mengaguminya.
Sementara sang
ibu Siao Lien asyik berjuang bisnisnya yang sempat terpuruk dilanda krismon. Di
Paris dia berhasil mendapatkan kontrak penting dari beberapa investor asing.
Para lelaki bule sangat mengagumi kecantikan dan kelembutan kulitnya yang baksusu. Suatu perpaduan antara keindahan sempurna dengan kejeniusan seorang
wanita timur. Sosok Wu Siao Lien alias
Maharani Sanjaya adalah lambang keberhasilan seorang pembisnis wanita di tanah
air. Kejeniusanya mengembangkan bisnis, mulai dari usaha kecil-kecilan di rumah
hingga berkembang pesat, hingga kini memiliki jaringan luas ke mancanegara.
Wu Siao
Lien terus melenjit, terbang ke awan
menyentuh langit, meningalkan akar dan tanah yang sering di akuinya sebai
sesuatu yang tak pernah bisa dimilikinya. Berangkat dari kondisi semacam inilah
Rumondang benar-benar merasakan kondisi keluarganya benar-benar sudah berada di
ambang kehancuran.
Secara singkat
buku yang berjudul “Lukisan Rembulan” ini ingin memberikan sebuah
gambaran kepada kita bagaimana kisah tentang seorang gadis yang begitu tabah
menghadapi bahtera yang melanda kehidupannya. Di tengah-tengah kondisi
keluarganya (ibu dan ayah) yang sedang tercerai berai mempertahankan idealisme
dan pendirian masing-masing. Rumondang tetap sabar menghadapi kenyataan hidup
yang di rasakan begitu pahit untuk di alami seorang diri.
Ini terbukti
dari tekad dan kemauanya yang begitu besar untuk melanjutkan pendidikan sampai
jenjang lebih tinggi, dengan bermodalkan prestasi yang di miliki, demi
menggapai cita-citanya. Di samping terus berusaha untuk mempersatukan kembali
orang tuanya yang sedang tercerai berai. Hingga pada suatu masa ketika
Rumondang mencapai puncak kariernya yang gilang gemilang berawal dari Seorang
yang ingin selalu menegakkan keadilan (Pengacara)” sampai menjadi
seorang jaksa terkemuka dan di kenal banyak orang, Rumondang mampu menyatukan
kembali orang tuanya, setelah mengalami pristiwa naas yang hampir merenggut
nyawanya, sewaktu mengungkap sebuah isu besar tentang penjualan manusia.
Dalam pemaparan
buku ini, pada dasarnya tidak terlalu sesuai dengan judulnya, yaitu “Lukisan rembulan”, karena
melihat dari jalan cerita yang ada, buku ini sesungguhnya lebih banyak
bercerita tentang bagaimana perjalanan kehidupan seorang gadis yang begitu
tegar menghadapi gejolak hidupnya sampai menjadi orang besar. Karena semenjak
kecil tidak pernah mendaptkan kebahagiaan dan kasih sayang dari orang tuanya
yang bercerai berai karena ketidak sepahaman.
Posting Komentar