Tiga hari lalu, tepatnya tanggal 1 Januari 2016, jutaan masyarakat di seluruh dunia telah merayakan tahun baru dengan semangat dan suka cita. di balik semangat dan suka cita tersebut juga terselip harapan dan doa, semoga di tahun baru 2016, akan ada perubuhan lebih baik bagi kehidupan setiap mereka yang merayakan, serta cita - cita dan impian bisa tercapai
Doa, harapan dan impian itu juga yang didambakan puluhan kepala keluarga Jamaah Amadiyah yang sampai saat ini hidup di lokasi pengungsian, asrama Transito Kota Mataram, tanpa kepastian. Terusir dari kampung halaman, tinggal dan menjalani hidup dalam pengungsian
dengan segala keterbatasan, bagi setiap orang tentu
merupakan mimpi buruk yang tidak akan pernah diharapkan selama menjalani
kehidupan dan pergaulan sosial di tengah masyarakat, karena hal tersebut tentu
sangat menyakitkan
Tapi situasi dan kondisi itulah yang dirasakan puluhan warga Jamaah
Ahmadiyah Lombok yang sampai sekarang hidup terkatung – katung di lokasi
pengungsian, Asrama Transito Kota Mataram, tanpa ada kepastian jelas dari pemerintah, sampai kapan harus tetap hidup
dan tinggal di lokasi pengungsian
Jamaah Ahmadiyah sendiri menempati asrama Transito, Kelurahan Monjok, Kota
Mataram sebagai tempat mengungsi sejak tahun 2008, pasca penyerangan dan pengerusakan permukiman JA di Dusun Mesanggok, Desa Ketapang,
Kaupaten Lomok Barat, tempat pengungsian yang dulu hanya berupa asrama dengan
bangunan tua dan kumuh, menggunakan
sekat dari kain sebagai tempat tinggal, di lokasi inilah puluhan warga Ahmadiyah tinggal sampai sekarang
Kini Desember 2015, keberadaan warga Ahmadiyah di lokasi pengungsian, asrama Transito Kota Mataram genap Sembilan tahun. Mimpi bisa kembali ke kampung halaman,
berkumpul bersama keluarga, bercocok tanam dan hidup layak, aman serta terbebas
dari rasa takut dari ancaman,
sampai sekarang masih tetap tersimpan dan menjadi harapan
Mendapatkan keadilan, agar para pelaku kekerasan dan pengerusakan permukiman mereka diberikan hukuman setimpal, meminta pemerintah
melakukan ganti rugi matriil dan non matrill akibat aksi berutal warga tanpa
rasa kasihan dan berprikemanusiaan melakukan pengerusakan serta penjarahan
terhadap asset peninggalan warga Ahmadiyah
Sebagaimana warga masyarakat lain, Jamaah Ahmadiyah juga menginginkan hidup
layak, aman terbebas dari ketakutan, ancaman, mendapatkan akses layanan publik
berkeadilan tanpa ada diskiminasi dan pembedaan dengan warga lain serta menjalani
kehidupan, pergaulan sosial tanpa harus dikucilkan
Namun sampai sekarang harapan tersebut nampaknya masih akan menjadi sebatas
mimpi dan entah sampai kapan akan terealisasikan, pasalnya keberadaan sekitar
70 kepala keluarga Jamaah Ahmadiyah di lokasi pengungsian oleh Pemerintah
Daerah NTB maupun Pemerintah Kabupaten Lombok Barat sampai sekarang seakan tidak pernah dipedulikan
Meski upaya penyelesaian yang difasilitasi Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Ombudsman dan sejumlah pegiat kemanusian seperti Komisi Untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Tapi langkah tersebut tidak
cukup mampu menuntaskan persoalan yang menimpa Jamaah Ahmadiyah
Berbagai diskusi, pertemuan dan kajian melibatkan berbagai kalangan, mulai
dari tokoh agama dan aktivis pegiat kemanusiaan dari Lembaga Swadaya Masyarakat serta
pemangku kebijakan juga tidak cukup menjadi jawaban.
Rekomendasi dihasilkan tetap saja sebatas rekomendasi tanpa ada
penyelesaian. Pemda NTB termasuk Pemkab Lombok Barat sendiri seakan lepas
tangan, saling melempar tanggung jawab kalau hal tersebut bukan merupakan
kewenangan mereka
Sisi Kemanusiaan
Ketika berbicara Ahmadiyah, sebagian orang atau
kelompok masyarakat terutama kelompok mayoritas di NTB seringkali melihat dan
memposisikan Ahmadiyah dari sisi keyakinan semata dengan pemberian label
negatif kelompok sesat dan menyesatkan dan atas dasar pandangan itulah menjadi
alas an pembenaran melakukan aksi dan tidak kekerasan
Sementara sisi kemanusiaan dan dampak social
terhadap Jamaah Ahmadiyah terutama perempuan dan anak – anak Ahmadiyah sebagai
manusia dan warga negara, mahluk ciptaan tuhan yang juga berhak menikmati penghidupan
layak kerap diabaikan
Negara dan pelaku kekerasan seringkali abai,
bahwa warga Ahmadiyah juga manusia, warga negara yang juga memiliki hak sama
dan dijamin undang – undang untuk hidup tenang dan menjalankan keyakinan,
terbebas dari berbagai bentuk tindak kekerasan
Dalam kasus aksi kekerasan dan
pengusiran terhadap Jamaah Ahmadiyah Ketapang, Kabupaten Lombok Barat, selain menimbulkan kerugian matriil berupa hilangnya tempat tinggal juga berdampak terhadap psikologis, meninggalkan trauma mendalam bagi Jamaah
Ahmadiyah sampai sekarang
Sudah pasti yang paling
merasakan imbas dari setiap aksi kekerasan dilakukan kelompok masyarakat yang mengatasnamakan keyakinan sebagai alas an pembenaran adalah anak - anak dan kaum
perempuan yang melihat dan mengalami secara lansung aksi kekerasan tersebut dan jelas akan menyisakan trauma mendalam dan berdampak buruk terhadap psikologis maupun
mental anak
Menutup catatan ini saya ingin mengutip bahasa Gusdur, “Tuhan tidak butuh dibela” atau
“kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak
Tanya apa agamamu”, ya perbedaan keyakinan tidak seharusnya dijadikan sebagai
alas an melakukan tindak kekerasan, tapi justru untuk saling menguatkan
Posting Komentar