Menulis Sebagai Aktifitas Menyenangankan, Bukan Keterpaksaan

Sampah, Memudarnya Berkah Kota Ibadah

Sesunggunya kebersihan itu merupakan bagian dari iman

Selain masalah pendidikan kesehatan dan kemiskinan, persoalan lain yang seringkali mengemuka dan banyak menjadi sorotan di beberapa Kabupaten Kota di NTB adalah masalah kebersihan. Masih kurangnya kesadaran masyarakat akan arti penting memelihara kebersihan, terkadang menjadikan sebagian mereka demikian, acuh dan tidak peduli dengan kondisi kebersihan lingkungan sekitar

Kota Mataram misalnya. Kalau di bandingkan dengan masa pemerintahan sebelumnya, Tanpa maksud melebihkan di bawah pemerintahan almarhum H. Muhammad Ruslan, terlepas dari kekurangannya selama memimpin Kota Mataram. Cerminan Kota Mataram sebagai Kota ibadah, dengan bermottokan “religius berbudaya” terasa lebih nyaman kedengaran, ketimbang kondisi Mataram belakangan ini.

Perhatian pemerintah akan kebersihan Kota Mataram dan pengelolaan sampah, dengan tingkat kesadaran masyarakat mengenai kebersihan lingkunga, di bawah pemerintahan M. Ruslan tergolong tercatat cukup baik. Ini terbukti dari sejumlah penghargaan yang didapatkan dalam beberapa kali lomba kebersihan. Di bandingkan dengan masa pemerintahan dua tahun terahir, keberkahan Kota Mataram sebagai Kota ibadah terasa semakin menjauh, tenggelam dan menghilang di tengah hiruk pikuk kesibukan pemerintah mengurus birokrasi dan bagi-bagi jatah kekuasaan.

Tingkat kesadaran masarakat Kota Mataram memelihara kebersihan mengalami kemunduran. Lokasi tempat pembuangan sampah yang terkadang cukup jauh, belum tersedianya tong penampung sampah secara memadai dan tingkat kepadatan penduduk, keengganan mengeluarkan sejumlah iuran membayar tukang sampah, menjadikan sebagian masyarakat, khususnya masyarakat kurang mampu menempuh jalan pintas, nekad membuang sampah secara sembarangan, di pinggir jalan maupun selokan drainase.

Puncaknya ketika musim hujan tiba, sampah-sampah tersebut seringkali menyumbat selokan drainase dan mengakibatkan banjir. Dalam dua tahun terahir, di beberapa titik badan jalan sekitar lingkungan Kota Mataram sudah beberapa kali terjadi banjir. Meski berlansung dalam skala kecil dan tidak sampai menggenangi rumah warga. Tetapi genangan air tersebut setidaknya mengganggu masyarakat pengguna jalan dan kendaraan bermotor yang melintas, akibat semua badan jalan tergenangi luapan air hujan dari selokan drainase.

Selain faktor keberadaan drainase mengalami penyempitan, akibat sebagianya ditutupi dan dijadikan beberapa warga sebagai lahan permukiman, juga akibat tersumbatnya selokan drainase oleh tanah, lumpur dan sisanya akibat tersumbat sampah rumah tangga. Di sejumlah sudut permukiman masyarakat Kota Mataram, terdapat sampah rumah tangga yang dibiarkan menumpuk dan berserakan.

Kondisi ini terkadang menjadikan Kota Mataram terkesan semerawut tidak terurus dan kurang elok untuk dipandang. Itu baru dilingkungan permukiman warga yang memang merupakan pemandangan yang tidak asing lagi disaksikan. Jangan lagi berbicara soal kebersihan pantai. Pantai Tanjung Karang misalnya. Di sebagian pinggir pantai, terutama yang menghubungkan lansung pantai dengan sungai dekat taman Tanjung Karang, tempat sebagian masyarakat Kota Mataram sering mangkal melakukan rekreasi atau sekedar jalan-jalan menikmati udara sore. Berbagai jenis sampah nampak berserakan dan tergenang.

Kesan kumuh dan tidak terawat terkadang menjadi pemandangan tidak mengenakkan. Sebagai taman Kota yang sering dikunjungi banyak orang. Pemerintah Kota Mataram semestinya memberikan perhatian serius, melakukan pemeliharaan kebersihan pantai sekitar kolam dan taman tersebut. Mengingat masyarakat yang berkunjung ke tempat tersebut, tidak saja dari masyarakat Kota Mataram semata. Masyarakat dari luar Mataram, bahkan masyarakat dari daerah lain di luar NTB bisa saja datang ke tempat ini.

Melihat serakan sampah, kebersihan skitar kolam dan taman tidak terawat bagus, tentu bisa menimbulkan kesan tidak baik terhadap wisata dan citra Kota Mataram sebagai Kota bermottokan religius berbudaya. Semestinya motto “religius berbudaya” mampu menjadi cerminan sekaligus spirit bagi pemerintah terpacu melakukan pembenahan dan perbaikan di bidang pengelolaan dan penanganan masalah sampah.

Peran serta pemerintah memberikan perhatian secara serius mengenai penanganan persoalan sampah sangat dibutuhkankan, dalam membangun kerjasama dan kesadaran masyarakat turut serta memelihara kebersihan. Mengingat persoalan kebersihan tidak saja sebatas menjaga pencitraan atau sekedar ajang mendapatkan penghargaan. Lebih dari itu, kebersihan, kenyamanan dan kesehatan masyarakat, mesti menjadi prioritas.

Sesuatu hal yang sangat memalukan mendapatkan penghargaan, manakala persoalan sampah masih ditemukan, apa guna pencananganan program kesehatan gratis, kalau persoalan kebersihan masih minim mendapatkan perhatian. Upaya penanganan persoalan sampah dalam hal ini juga bisa dilakukan pemerintah Kota Mataram dengan menggandeng sejumlah tokoh adat dengan membuat awik-awik yang dibarengi dengan sangsi tegas bagi masyarakat yang dinilai melakukan pelanggaran dan tidak patuh dalam memelihara kebersihan lingkungan.

Melibatkan tokoh agama dan kiyai, tuan guru melalui acara-acara keagamaan atau pengajian yang diselenggarakan. Atau bisa juga dengan menggandeng kelompok akademisi dari sejumlah PTAIN dan PTAIS yang ada di Kota Mataram, dari sekelas magister, doctor hingga guru besar bisa ditemukan, yang pemahaman keimuan agamanya cukup mumpuni. Semoga

Ironi Nasib Petani Tembakau

Bagi masyarakat petani tembakau NTB, khususnya di Pulau Lombok bagian selatan Ada istilah kata bijak “lamunte mele sugih mendadaq, talet mako, dait lamunte mele miskin mendadaq endah, talet mako” (kalau mau kaya mendadak tanam tembakau dan kalau mau kaya mendadak juga silahkan tanam tembakau. Tanaman tembakau terkadang memang bisa menjadikan sebagian petani menjadi konglomrat dadakan.

Kalau secara kebetulan sedang bernasib mujur pertumbuhan tanaman tembakau, cuaca bagus, tidak terjerumus jebakan rentenir dan yang paling penting transaksi penjualan terhindar dari tindak penipuan, termasuk pembayaran berlansung mulus. Sebaliknya kebanyakan petani tembakau juga bisa jatuh miskin dan bangkrut cuaca tidak bersahabat, pembayaran mengalami kemacetan, apalagi kalau sampai terkena penipuan bagi petani pengomprong. Mereka bisa jadi sangat gila gilaan karena terlilit banyak hutang.

Tanaman tembakau dalam beberapa tahun terahir memang menjadi tanaman primadona dari sekian banyak usaha pertanian, karena termasuk tanaman dengan prospek bernilai ekonomi paling menjanjikan bagi masyarakat petani Lombok, khususnya daerah bagian selatan. Kondisi geograpis daerah selatan yang hampir sebagian besar merupakan daerah tadah hujan/lahan kering sangat mendukung bagi pengembangan budidaya tanaman tembakau sebagai jenis tanaman yang tidak terlalu membutuhkah banyak air.

Minat petani mengembangkan budi daya tembakau dalam beberapa tahun terahir mengalami pertumbuhan cukup signipikan, kalau dibandingkan tahun sebelumnya. Pola tanam yang tergolong sederhana dengan penghasilan cukup menjanjikan, menjadikan tembakau sebagai tanaman paling banyak diminati masyrakat petani Lombok bagian selatan, ketimbang jenis tanaman lain seperti palawija dan beberapa jenis tanaman lain.

Sebagai perbandingan. Sebelum tanaman tembakau banyak dikenal petani, seperti sekarang, tanaman pengganti yang banyak ditanam petani, ketika musim kemarau tiba, sehabis memanen tanaman padi musim penghujan adalah jenis tanaman palawija berupa jagung dan kedelai, dengan tingkat penghasilan tidak seberapa. Selebihnya sebagian besar petani lebih banyak menghabiskan waktu di rumah menunggu musim hujan tiba.

Kalaupun ada di antara mereka mencoba menanan tanaman lain, jumlahnya bisa dihitung.Disisi lain meski hidup di pedesaan, dengan persedian pangan serba berkecukupan. Mereka juga memerlukan uang belanja memenuhi kebtuhan lain, termasuk biaya kebutuhan sekolah anak mereka.

Sementara mengharapkan penghasilan dari penjualan padi dan tanaman palawija jumlahnya tiddak seberapa. Kondisi ekonomi seperti ini lambat laun mengakibatkan sejumlah masyarakat memilih menambatkan harapan memperbaiki ekonomi sebagai TKI ke luar negeri. Setelah tanaman tembakau mulai dikenal, banyak ditanam dan diketahui bernilai ekonomi tinggi, gairah masyrakat menggeluti bidang pertanian petanian mulai bangkit.

Tidak bisa dipungkiri kehadiran tanaman tembakau sebagai tanaman yang paling banyak diminati, telah membawa pengaruh besar terhadap pola pikir maupun perubahan dan perbaikan kehidupan ekonomi masyarakat. Petani yang dulunya malas-malasan menggarap sawahnya setelah tau dan menikmati keuntungan menanm tembakau, belakangan menjadi rajin, dulunya hanya menanami sawah dengan tanaman palawija beralih menanam tembakau.

Petani yang tadinya berada dalam kehidupan ekonomi yang pas pasan, setelah menanam tembakau merangkak mengalami perbaikan menikmati keberkahan hasil tembakau, yang dulunya sering merantau sebagai buruh migran, belakangan sebagian malah memilih tetap tinggal di kampung halaman, menekuni pertanian.

Minim Perhatian

Meski demikian di balik berkah dan kesuksesan hasil tembakau tersebut tersimpan sejumlah persoalan yang kerap melanda sebagian petani tembakau, yang anehnya justru karena ktidak tauan atau memang kepura puraan pemerintah. masalah permodalan, biaya perawatan, berupa pupuk dan obat-obatan. Kemampuan memasarkan, bagi petani penjual tembakau basah dengan harga menjanjikan juga tergolong lemah, di tambah tidak adanya regulasi jelas dari pemerintah.

Ketidak berdayaan petani, lemahnya perhatian pemerintah setidaknya membuka ruang bagi sejumlah rentenir dan pemodal liar mempermainkan petani, dengan tawaran permodalan dan bantuan perawatan dan obat-obatan dengan sistim perjanjian mengikat, menjebak petani, tanpa mengenal kata kompromi yang terkadang sangat merugikan. karena tidak ada alternative pilihan, tidak sedikit sebagian mereka terpaksa melakukan pinjaman, terjebak mengikuti aturan main rentenir.

Terkadang ada juga sejumlah petani, dari sisi permodalan pupuk dan obat obatan terhitung mampu, tetapi dari sisi pemasaran lemah. Keterbatasan dalam hal jaringan, kemampuan memasrkan, mengakibatkan petani tembakau cendrung terjebak pada sistim penjualan tidak menguntungkan. akibatnya tidak ada pilihan lain, selain menjul pada pembeli yang sama, meski dengan harga penjualan terkadang tidak sebanding dengan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Ini menjadi persoalan yang hampir setiap tahunnya, masih tetap ditemukan.

Besarnya kontribusi masyarakat dan keuntungan yang dinikmati pemerintah dari petani tembakau melalui pajak cukai yang diterima pemerintah setiap tahunnya dari sejumlah perusahaan rokok, dengan nilai cukup pantastis, hingga mencapai miliaran rupiah, tidak berbanding lurus dengan perhatian yang diberikan terhadapa nasib petani tembakau mendapatkan haknya menikmati “kesejahteraan” masih jauh dari harapan.

Dana bagi hasil cukai hasil tembakau Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 2010, perolehan DBHCHT mencapai Rp 130 triliun dan meningkat menjadi Rp 162 triliun pada tahun 2011. Bahkan asumsi pada tahun 2012 akan menjadi Rp 172 triliun. hal ini dikemukakan Haedar Bafadal, pejabat Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi NTB dalam sosialisasi cukai rokok ilegal di Kantor Walikota Mataram, Kamis (5/7). http://www.sumbawanews.com

Bisa jadi, sebagian kebutuhan ongkos birokrasi kekuasaan, tunjangan, biaya kunjungan kerja anggota dewan dan perjalanan dinas pejabat pemerintahan Selain diambilkan dari pajak yang dibayarkan masyarakat, juga dari keberlimpahan berkah tembakau tersebut. Bandingkan dengan dana pengembalian yang diberikan pemerintah kepada masyarakat melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) setiap tahunnya, besarannya tidak seberapa, kalau dibandingkan keuntungan didapatkan, belum lagi proses pencairan yang terkesan birokratis dan berbelit-belit

Posisi tawar petani tembakau sebagai penyumbang PAD terbesar kedua setelah tambang semestinya menjadi pertimbangan kuat bagi Pemda NTB, memposisikan petani tembakau dalam skala program prioritas dari sekian program unggulan yang dicanangkan Pemda NTB, melalui regulasi yang jelas, mewujudkan NTB Bersaing. Keterbatasan anggaran, claim hasil data lapangan alasan kesehatan, Bahkan fatwa haram Majlis Ulama Indonesia pun tidak cukup menjadi alasan pemerintah NTB untuk tidak memberikan perhatian lebih kepada petani tembakau.

PT dan Praktek Korupsi

Andai apa yang saya tulis kerapkali mencoreng dunia pendidikan, maka saya hanya ingin berkata ”tanpa harus saya tulis, dunia pendidikan di negeri ini sudah tercoreng dengan sendirinya”. Tobatlah oknum pendidik dan berubahlah (Ahmadi Sofyan)

Sebagai lembaga tertinggi dalam dunia pendidikan, keberadaan Perguruan Tinggi (PT) setidaknya memiliki peran strategis dan tanggung jawab, turut mewarnai corak dan dinamika kehidupan yang berlansung di tengah masyarakat, khususnya di bidang pendidikan. Maju tidak, baik dan buruknya pradaban, karakter/prilaku suatu masyarakat, hampir sebagiannya merupakan representasi/cerminan dari lembaga pendidikan.

Kehadiran PT menjadi tumpuan harapan, bagi terciptanya perubahan kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik. Karena dari PT lah sebagian besar aktor-aktor perubahan itu dilahirkan. Wajar saja kalau sebagian besar tanggung jawan perubahan itu dinisbatkan di atas pundak PT. Perubahan yang diharapkan tidak saja menyangkut soal bagaimana PT mampu menciptakan sumber daya manusia yang cerdas dan mensejahterakan.

Lebih dari itu, diharapkan pada proses bagaimana melahirkan sosok manusia yang berkarakter, dan memiliki keperibadian yang baik, yang dalam konsep Ari Ginanjar perpaduan antara kecerdasan intlektual, emosional dan spiritual questions. Untuk melahirkan manusia yang memiliki keperibadian yang baik, maka dibutuhkan keteladanan yang baik pula dari mereka (guru), sebagai sosok manusia yang pantas ditiru dan digugu.

Penulis kira Kita semua akan setuju dengan istilah yang mengatakan, bahwa baik buruk prilaku suatu masyarakat merupakan cerminan dari lembaga pendidikan. Dan anggapan itu memang bukan sekedar peristilahan atau semboyan, kenyataan memang membuktikan, bagaimana sebagian PT, Institusi dan dan lembaga pendidikan memang gagal menghadirkan keteladanan.

Kampus lebih banyak dimanfaatkan sebagai sentral kegiatan berbau politis ketimbang aktifitas akademis, mengkotak-kotakkan diri atas nama kepentingan kelompok kesukuan dan golongan terkadang menjadi fenomena demikian memuakkan di lingkungan PT. Kewajiban melaksanakan Tri Dharma PT, berupa pengabdian, penelitian dan pengajaran tidak jarang diposisikan sebatas menggugurkan kewajiban, dan intens dilakukan manakala terbentur dengan keperluan kepangkatan, bukan atas motivasi dan tuntutan keilmuan.

Wewenang dan jabatan yang diamanahkan kerap disalahgunakan. Terkuaknya dugaan praktik korupsi terhadap dana pembangunan kampus baru, di salah satu PT ternama NTB yang santer diberitakan media dalam beberapa minggu terahir, membuktikan akan betapa tidak mudah mencari sosok keteladanan di lingkungan PT, yang selama ini dinilai sebagai tempat berkumpulnya para ilmuan, tokoh intlektual, pengamat dan praktisi pendidikan.

Parahnya aktor-aktor yang bermain justru lebih banyak melibatkan orang-orang dari internal PT, yang beberapa diantaranya selama ini selain cukup disegani dari sisi keilmuan dilingkungan kampus, juga oleh sebagian masyarakat sudah dipandang sebagai tokoh kharismatik. Kenyataan ini membuktikan betapa PT, sebagai lembaga pencetak dan sarangnya ilmuan yang makamnya sekelas tokoh rohaniawan sekalipun, tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur sebuah PT bisa terbebas dari praktik korupsi.

Keberadaan PT oleh banyak kalangan Justru dinilai berpotensi lebih besar berlansungnya praktik korupsi. Sebut saja mulai dari makup dana proyek pembangunan infrastruktur, anggaran dana penelitian, dolmut dan sederetan program lain. Belum lagi praktik nepotisme, atas nama kelompok, golongan, organisasi dan kesukuan, yang berlansung di lingkungan PT, bukan menjadi rahasia umum lagi.

Seorang pejabat di sebuah PT misalnya, bisa memasukkan keluarganya empat sampai lima orang, bahkan bisa lebih. Praktik semacam bisa ditemukan dalam setiap proses rekrutmen karyawan/stap pengajar yang berlansung. Sikap arogan dan sentimen organisasi terkadang lebih besar mendominasi ketimbang mengedepankan transparansi dan profesionalisme kerja, yang kemudian berdampat besar terhadap kualitas kerja dan lulusan yang dihasilkan PT.

Lihat saja dalam kurun waktu kepemimpinan yang berlansung, beberapa PT, terutama yang bermasalah sekarang ini, bukannya mengalami banyak perbaikan, justru semakin mengalami keterpurukan. Setipa agenda/program yang dicananagkan hampira tidak bisa terlepas dari muatan kepentingan. Lambat laun kampus pun tidak ubahnya arena perpolitikan tempat mencari jabatan dan menciptakan permusuhan.

Drama kekuasaan semacam inilah yang kemudian berpotensi menyebabkan terjadinya praktik korupsi, yang tidak saja dilakukan oleh satu dua orang, bahkan bisa lebih dan dilakukan secara bersamaan dengan kelompok/golongan lingkar kekuasaan. Adanya dugaan korupsi pada proyek pembangunan rumah sakit Unram, dan pembangunan kampus baru IAIN Mataram yang belum lama ini santer diberitakan media

Sejatinya bisa dijadikan sebagai momen melakukan pembenahan terhadap tata klola, pelayanan dan manajemen organisasi PT secara propesional, bukan emosional. Mengembalikan citra dan girah PT sebagai kampus yang lebih bernuansa akademis, bukan politis.

Kisah Miris Program Kesehatan Gratis

googel
Hajatan besar pemerintah mencanangkan program yang bisa menyentuh dan
membantu meringankan beban masyarakat kalangan bawah, khususnya masyarakat miskin
, di bidang kesehatan, melalui sederetan program yang dipandang murah dan bisa terjangkau seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), program kesehatan gratis dan sederetan program lain tidak selalu sejalan dan membuahkan hasil manis, semanis sikap optimisme dan klaim pemerintah kalau semua program kesehatan yang dicangkan berjalan sukses, mampu menyentuh dan dirasakan manfaatnya secara lansung oleh segenap lapisan masyarakat kurang mampu.
Prilaku dan sikap petugas medis, yang kerap memandang dan memposisikan masyarakat pengguna kartu Jamkesmas sebagai kelompok kelas tidak berduit, tidak jarang menyisakan rasa miris di hati masyarakat. Seolah menempatkan kelas ini sebagai kelompok yang termarjinalkan, selalu berada di urutan terbelakang mendapatkan pelayanan kesehatan dan tidak terlalu penting diprioritaskan.
Kalau tabiat buruk dan prilaku tidak menyenangkan segilintir petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan masih tetap dibiarkan, bukan tidak mungkin prilaku yang sama akan terulang lagi. Lemahnya pengawasan dan tidak adanya sangsi tegas membuka peluang terulangnya kembali prilaku yang sama.
Pengawasan yang dilakukan pemerintah selama ini cendrung masih lemah, tidak mampu mendeteksi prilaku kurang menyenangkan petugas kesehatan sewaktu memberikan pelayanan kepada masyarakat. Karena pengawasan dan pendekatan dilakukan cendrung masih bersifat formalistik. Terbukti prilaku tersebut masih saja ada ditemukan, dengan masih banyaknya pengaduan dan keluhan masyarakat mengenai perlakuan kurang menyenangkan beberapa petugas kesehatan rumah sakit dan puskesmas.
Kunjungan, pengawasan dan dialog secara lansung pengawas Dinas Kesehatan (Dikes) maupun DPR, dengan para pasien, khususnya masyarakat pengguna kartu Jamkesmas, tentang kualitas pelayanan yang didapatkan dari petugas puskesmas maupun rumah sakit, kerap dimanfaatkan pihak puskesmas dan rumah sakit tertentu main kucing-kucingan, mendekte dan meminta pasien, memberikan jawaban kalau pelayanan yang mereka dapatkan baik, demi menjaga pencitraan dan terhindar dari sangsi maupun teguran.
Meski sejatinya perlakuan, sikap dan kualitas pelayanan yang diberikan terkadang sering mengecewakan. Permintaan semacam ini sekaligus warning bagi setiap pasien mapun masyarakat pengunjung untuk tidak berani kritis dan mengadu kepada pengawas mengenai kekurangan dan kualitas pelayanan didapatkan. Kalau ada yang berani mengadu, perlakuak tidak menyenangkan, gerutuan, caci maki dan kurang mau dilayani sudah pasti sidapatkan.
Ibu Maryam, mungkin satu dari sekian juta masyarakat NTB pengguna Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau dalam bahasa kampungnya biasa disebut Kartu Tanda Miskin. Bagaimana dia pernah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari petugas salah satu Puskesmas di Kecamatan Praya Barat Lombok Tengah. Dengan mata berkaca-kaca sambil duduk bersandar ditembok rumahnya yang masih berdinding bata, Maryam menceritakan bagaimana pengalamanya menggunakan kartu tanda miskin sewaktu membawa anaknya yang hampir sekarat datang berobat ke Puskesmas tersebut sekita tahun 2010 lalu.
Masih terngiang dalam ingatan Maryam bagaimana perlakuan dan sikap para petugas puskesmas yang terkesan tidak mau tahu dengan keberadaan mereka. Memandang mereka dengan sebelah mata sebagai pasien yang tidak terlalu penting untuk segera dilayani karena hanya bermodalkan kartu tanda miskin. Dan yang paling terasa masih pedas terngiang di telinga dan menyakitkan hati Ibu Maryam waktu itu adalah kata-kata salah seorang petugas puskesmas, yang demikian sekenanya tanpa beban berkata,
“ah lamun tie jaq dendeq runguq laloqn, sejuaq dateng beroat endeqne araq kepengne” (ah kalau pasien yang itu, tidak usah terlalu dilayani, soalnya datang berobat tidak bawa uang) grutu petugas tersebut sambil berlalu, kenang ibu Maryam menirukan petugas puskesmas tersebut. Dan semenjak kejadian itu membuat Ibu Maryam trauma untuk datang kembali berobat ke puskesmas tersebut.
Kisah ibu Maryam membuktikan betapa kebijakan program kesehatan gratis maupun Jamkesmas yang dicanangkan Pemda NTB selama ini terkesan masih setengah hati dan tidak di barengi dengan regulasi dan sangsi tegas terhadapa pelaku kebijakan di bidang kesehatan, dalam hal ini Dikes, rumah sakit dan Puskesmas, ketika ada pengaduan dari masyarakat. Tidak heran dalam beberapa kasus perlakuan tidak menyenangkan dari petugas kesehatan masyarakat bisanya engga melakukan pengaduan dan lebih memilih berdiam diri, karena jarang ditanggapi.
Demikian halnya dengan pemerintah dan Dikes sendiri, kalaupun ada pengaduan dari masyarakat jarang ditindaklanjuti secara serius. Ketika media ramai-ramai menurunkan laporan dan kritikan datang bertubi-tubi, pemerintah selalu mencari dalih untuk melindungi diri dan saling lempar tanggung jawab. Lambat laun masyarakatpun merasakan diri bukan lagi sebagai kelompok yang mesti harus dilindungi, karena seringnya disakiti.
Disisi lain pemerintah nampaknya lebih senang bersembunyi dan melindungi diri di balik klaim dan capaian melalui angka-angka ketimbang terjun secara lansung melihat kondisi masyarakat. Kalau kondisi masih tetap dibiarkan, tanpa melakukan pembenahan. Bukan tidak mungkin program kesehatan gratis hanya tinggal mimpi yang dianggap tidak memiliki banyak arti.
Reformasi secara menyulurh sektor kesehatan yang melibatkan semua unsur dan elemen masyarakat, membuat regulasi atau terobosan lain, semisal melakuan investigasi, kerjasama secara serius dengan aktivis, organisasi social kemasyarakatan, LSM, NGO dan melibatkan partisipasi dan peran serta masyarakat, meski dilakukan Pemda NTB dari tingkatan Propinsi, Kabupaten Kota di NTB. Sebagai upaya meminimalisir ulah beberapa gelintir petugas kesehatan, dan memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan terhadap masyarakat kurang mampu.

Ayo Menulis